Buka-buka flasdisk lama dan menemukan foto 6 tahun lalu, tepatnya Desember 2014. Foto pas backpaker ke Tanah Suci. Masya Allah, Tabarakallah,
Hingga detik ini, aku masih belum bisa benar-benar percaya perjalanan itu nyata, saking ajaibnya. Sebagai Muslim, tentu saja perjalanan ke Tanah Suci untuk Haji maupun Umroh adalah impian. Namun bagiku yang ilmu agama masih sangat dangkal, Umroh adalah list yang belum ingin aku tulis saat itu. Dana juga belum ada. Namun, jika Allah sudah mengundang, semua menjadi mungkin.
Berawal dari seorang teman kantor lama yang tiba-tiba chat ngajakin Umroh backpaker bareng Menara Wisata. Baru pertama kali dengar istilah Umroh Backpacker, tapi aku langsung tertarik. Saat itu aku punya tabungan 6 jutaan dan sedang hunting tiket ke Jepang, akhirnya pindah haluan.

Deg-degan luar biasa, lebih pada pertanyaan-pertanyaan apa aku sudah layak ? apa aku sudah siap menjadi tamu Allah ? Urusan budget yang saat itu belum terencana, malah tidak membuatku pusing. Aku tanpa pikir-pikir lagi, langsung booking tiket Bangkok- Mumbai – Jeddah, seharga sekitar 4jt an PP, saat itu sekitar bulan Juni, kami akan berangkat tanggal 23 December 2014. Sementara tiket Jakarta-Bangkok, aku booking belakangan karena relatif banyak pilihan dan harga cukup terjangkau. Rute Jakarta-Bangkok-Mumbai-Jeddah dipilih karena rute ini paling murah.
Umroh backpacker berbeda dengan umroh regular. Kami tetap menggunakan jasa travel agent resmi penyelenggara Umroh, untuk pengurusan visa dan akomodasi. Namun, untuk tiket peserta bebas bisa booking sendiri atau minta tolong dibookingkan oleh travel agent. Sementara untuk makan, hanya tersedia 1x catering saat kedatangan. Selebihnya, kami bebas beli sendiri atau masak. Dari pengalamanku, cara ini bisa menghemat hingga 40%. Saat itu, total pengeluaraanku selama 10 hari, sekitar 13jt, all in termasuk oleh-oleh sederhana.
Untuk gabung Umroh Backpacker, bisa dengan menghubungi admin Menara Wisata, kemudian pilih jadwal keberangkatan. Selanjutnya Menara Wisata akan membuatkan grup Whatsapp untuk koordinasi peserta, nah karena ini sistem sharing, makin banyak peserta akan makin murah. Para peserta bisa mengajak siapa saja untuk ikutan join berangkat bareng. Biasanya kuota sebanyak 30-40an orang. Sharing disini adalah untuk akomodasi dan transportasi darat saat di Tanah Suci.

Selain lebih hemat, menurutku umroh backpacker lebih aman juga dari segi pembayaran. Pada umumnya, budget terbesar adalah untuk tiket, dengan membeli tiket sendiri, kita bisa membatalkan atau refund tanpa melalui travel agent.
Saat itu aku sedang sibuk bekerja plus kuliah, sama sekali tidak ada persiapan sampai H-7, baru baca-baca buku tuntunan Umroh seadanya. Totally modal nekat lahir batin. Tidak ada acara syukuran sebelum berangkat seperti orang-orang pada umumnya.

Drama dimulai sekitar seminggu sebelum date of travel, visa kami belum di approve. Saat itu, pemerintah mulai menertibkan program Umroh mandiri, termasuk backpacker. Bahkan sampai H-3, hari itu Jumát, belum juga ada kabar. Aku pasrah dan sudah siap dengan resiko terburuk. Manusia hanya berencana, aku berfikir saat itu memang masih belum layak ke Tanah Suci. Aku belum berani cerita ke orang tua, kuatir bikin mereka kepikiran juga.
Alhamdulillah, visa kami disetujui esok harinya, baru kemudian aku cerita dan minta ijin ke Bapak Ibu. Bahkan aku baru beli baju Ihrom sehari sebelum berangkat. Mampir Kuncit sekalian ambil passport di tempat ketua rombongan di Benhil.
Romongan kami berangkat masing-masing dari Jakarta ke Bangkok. Meeting point sebelum penerbangan ke Jeddah. Rencana menginap semalam di Bangkok. Hari H, pesawat untuk Jakarta – Bangkok, aku janjian dengan teman kantorku yang berangkat dari Surabaya bersama Istrinya, passport mereka di tanganku. Jadwal penerbangan jam 6.15 sore, aku berangkat dari Jababeka naik Damri yang biasanya hanya perlu waktu sejam. Bus berangkat jam 1 siang,
Karena kelelahan, aku tertidur di bus. Kaget saat terbangun melihat jam sudah jam set 3, aku binggung sudah sampai mana, dan…. ternyata masih di toll sekitaran MT Haryono. Jalanan macet ga gerak. Singkat cerita, hari itu macet luar biasa karena ada kecelakaan. Aku sudah pasrah antara tidak berangkat atau beli tiket baru, termasuk untuk 2 temanku. Padahal, aku hanya punya uang saku sekitar 3jt an, jatah makan seminggu di sana. Kebayang untuk 3 tiket itu bisa saja tidak cukup. Hanya bisa pasrah.
30 menit sebelum waktu boarding aku baru sampai di Terminal 2, temanku dan istrinya sudah hampir putus harapan. Alhamdulillah, kami masih sempat mengejar penerbangan.
Hari pertama, sesampainya di Madinah, kami langsung ke hotel, saat itu masih subuh jadi beberapa orang ingin langsung sholat jamaah di Masjid Nabawi. Aku tidak ikut karena masih kelelahan. Baru keluar kamar di waktu Dhuha, kaget mendengar kabar salah satu anggota kami hilang di Masjid Nabawi. Ibu-ibu sepuh.
Kami pun berusaha mencari bersama-sama, namun nihil hingga waktu Dhuhur. Luar biasa panik, apalagi teman-teman yang berangkat Sholat bareng. Semua merasa bersalah. Lesson to learn, sangat penting untuk membawa kartu nama hotel dan nomer HP pimpinan rombongan kemana saja, agar jika kita tersesat, mudah untuk minta bantuan untuk diantar kembali ke hotel.

Hari pertama kami sudah diuji. Alhamdulillah sehabis Ashar, akhirnya Ibu ditemukan. Kata-kata beliau sesaat setelah ditemukan, “tersesat di dunia saja begitu menakutkan, apalagi di akhirat”. Ngena banget.
3 Hari di Madinah sungguh menyenangkan. Kota ini teduh dan memberi perasaan aman. Aku merasa seperti di rumah, santai jalan sendiri kemana-mana, meski diingatkan kalau itu berbahaya di Arab. Alhamdulillah aman.
Perjalanan dari Madinah ke Mekkah, kami menggunakan bus. Pertama kali samar-samar melihat puncak Makkah Royal Clock Tower, hatiku bergetar. Mekkah sungguh punya kekuatan tersendiri. Air mata tiba-tiba menetes. Bahkan, bermimpi saja aku takut, namun hari itu, aku benar-benar mendapat kesempatan luar biasa untuk menjadi tamu Allah.
Bersambung….