Design a site like this with WordPress.com
Get started

PERJALANAN BACKPACKER TERINDAH : UMROH

Buka-buka flasdisk lama dan menemukan foto 6 tahun lalu, tepatnya Desember 2014. Foto pas backpaker ke Tanah Suci. Masya AllahTabarakallah,

Hingga detik ini, aku masih belum bisa benar-benar percaya perjalanan itu nyata, saking ajaibnya. Sebagai Muslim, tentu saja perjalanan ke Tanah Suci untuk Haji maupun Umroh adalah impian. Namun bagiku yang ilmu agama masih sangat dangkal, Umroh adalah list yang belum ingin aku tulis saat itu. Dana juga belum ada. Namun, jika Allah sudah mengundang, semua menjadi mungkin.

Berawal dari seorang teman kantor lama yang tiba-tiba chat ngajakin Umroh backpaker bareng Menara Wisata. Baru pertama kali dengar istilah Umroh Backpacker, tapi aku langsung tertarik. Saat itu aku punya tabungan 6 jutaan dan sedang hunting tiket ke Jepang, akhirnya pindah haluan.

Deg-degan luar biasa, lebih pada pertanyaan-pertanyaan apa aku sudah layak ? apa aku sudah siap menjadi tamu Allah ? Urusan budget yang saat itu belum terencana, malah tidak membuatku pusing. Aku tanpa pikir-pikir lagi, langsung booking tiket Bangkok- Mumbai – Jeddah, seharga sekitar 4jt an PP, saat itu sekitar bulan Juni, kami akan berangkat tanggal 23 December 2014. Sementara tiket Jakarta-Bangkok, aku booking belakangan karena relatif banyak pilihan dan harga cukup terjangkau. Rute Jakarta-Bangkok-Mumbai-Jeddah dipilih karena rute ini paling murah.

Umroh backpacker berbeda dengan umroh regular. Kami tetap menggunakan jasa travel agent resmi penyelenggara Umroh, untuk pengurusan visa dan akomodasi. Namun, untuk tiket peserta bebas bisa booking sendiri atau minta tolong dibookingkan oleh travel agent. Sementara untuk makan, hanya tersedia 1x catering saat kedatangan. Selebihnya, kami bebas beli sendiri atau masak. Dari pengalamanku, cara ini bisa menghemat hingga 40%. Saat itu, total pengeluaraanku selama 10 hari, sekitar 13jt, all in termasuk oleh-oleh sederhana.

Untuk gabung Umroh Backpacker, bisa dengan menghubungi admin Menara Wisata, kemudian pilih jadwal keberangkatan. Selanjutnya Menara Wisata akan membuatkan grup Whatsapp untuk koordinasi peserta, nah karena ini sistem sharing, makin banyak peserta akan makin murah. Para peserta bisa mengajak siapa saja untuk ikutan join berangkat bareng. Biasanya kuota sebanyak 30-40an orang. Sharing disini adalah untuk akomodasi dan transportasi darat saat di Tanah Suci.

Selain lebih hemat, menurutku umroh backpacker lebih aman juga dari segi pembayaran. Pada umumnya, budget terbesar adalah untuk tiket, dengan membeli tiket sendiri, kita bisa membatalkan atau refund tanpa melalui travel agent.

Saat itu aku sedang sibuk bekerja plus kuliah, sama sekali tidak ada persiapan sampai H-7, baru baca-baca buku tuntunan Umroh seadanya. Totally modal nekat lahir batin. Tidak ada acara syukuran sebelum berangkat seperti orang-orang pada umumnya.

Drama dimulai sekitar seminggu sebelum date of travel, visa kami belum di approve. Saat itu, pemerintah mulai menertibkan program Umroh mandiri, termasuk backpacker. Bahkan sampai H-3, hari itu Jumát, belum juga ada kabar. Aku pasrah dan sudah siap dengan resiko terburuk. Manusia hanya berencana, aku berfikir saat itu memang masih belum layak ke Tanah Suci. Aku belum berani cerita ke orang tua, kuatir bikin mereka kepikiran juga.

Alhamdulillah, visa kami disetujui esok harinya, baru kemudian aku cerita dan minta ijin ke Bapak Ibu. Bahkan aku baru beli baju Ihrom sehari sebelum berangkat. Mampir Kuncit sekalian ambil passport di tempat ketua rombongan di Benhil.

Romongan kami berangkat masing-masing dari Jakarta ke Bangkok. Meeting point sebelum penerbangan ke Jeddah. Rencana menginap semalam di Bangkok. Hari H, pesawat untuk Jakarta – Bangkok, aku janjian dengan teman kantorku yang berangkat dari Surabaya bersama Istrinya, passport mereka di tanganku. Jadwal penerbangan jam 6.15 sore, aku berangkat dari Jababeka naik Damri yang biasanya hanya perlu waktu sejam. Bus berangkat jam 1 siang,

Karena kelelahan, aku tertidur di bus. Kaget saat terbangun melihat jam sudah jam set 3, aku binggung sudah sampai mana, dan…. ternyata masih di toll sekitaran MT Haryono. Jalanan macet ga gerak. Singkat cerita, hari itu macet luar biasa karena ada kecelakaan. Aku sudah pasrah antara tidak berangkat atau beli tiket baru, termasuk untuk 2 temanku. Padahal, aku hanya punya uang saku sekitar 3jt an, jatah makan seminggu di sana. Kebayang untuk 3 tiket itu bisa saja tidak cukup. Hanya bisa pasrah.

30 menit sebelum waktu boarding aku baru sampai di Terminal 2, temanku dan istrinya sudah hampir putus harapan. Alhamdulillah, kami masih sempat mengejar penerbangan.

Hari pertama, sesampainya di Madinah, kami langsung ke hotel, saat itu masih subuh jadi beberapa orang ingin langsung sholat jamaah di Masjid Nabawi. Aku tidak ikut karena masih kelelahan. Baru keluar kamar di waktu Dhuha, kaget mendengar kabar salah satu anggota kami hilang di Masjid Nabawi. Ibu-ibu sepuh.

Kami pun berusaha mencari bersama-sama, namun nihil hingga waktu Dhuhur. Luar biasa panik, apalagi teman-teman yang berangkat Sholat bareng. Semua merasa bersalah. Lesson to learn, sangat penting untuk membawa kartu nama hotel dan nomer HP pimpinan rombongan kemana saja, agar jika kita tersesat, mudah untuk minta bantuan untuk diantar kembali ke hotel.

Hari pertama kami sudah diuji. Alhamdulillah sehabis Ashar, akhirnya Ibu ditemukan. Kata-kata beliau sesaat setelah ditemukan, “tersesat di dunia saja begitu menakutkan, apalagi di akhirat”. Ngena banget.

3 Hari di Madinah sungguh menyenangkan. Kota ini teduh dan memberi perasaan aman. Aku merasa seperti di rumah, santai jalan sendiri kemana-mana, meski diingatkan kalau itu berbahaya di Arab. Alhamdulillah aman.

Perjalanan dari Madinah ke Mekkah, kami menggunakan bus. Pertama kali samar-samar melihat puncak Makkah Royal Clock Tower, hatiku bergetar. Mekkah sungguh punya kekuatan tersendiri. Air mata tiba-tiba menetes. Bahkan, bermimpi saja aku takut, namun hari itu, aku benar-benar mendapat kesempatan luar biasa untuk menjadi tamu Allah.

Bersambung….

Advertisement

DELF A1 TEST

Assalamualaikum, apa kabar ?

Sudah siap-siap kalendar baru? atau resolusi tahun baru?

Aku bukan termasuk yang suka menyiapkan resolusi tahun baru, malah lebih suka flashback dan mencatat apa saja yang terjadi tahun ini untuk belajar dan bersyukur.

Salah satu moment yang ingin aku kenang tahun ini adalah tentang keberanianku ikut ujian DELF Perancis November lalu. Sudah kenal Bahasa Perancis sejak SMA, terus pas kuliah juga, kemudian sampai lupa, berusaha belajar lagi dan akhirnya baru berani mengukur kemampuan dengan ujian resmi. Meskipun baru di level basic A1, bisa lulus dengan angka 80an itu something banget.

Nah, bagi kalian yang mungkin juga pingin nyobain ujian DELF for fun atau untuk kepentingan spesifik, semoga tulisan ini memberi inspirasi. Ça vaut la peine d’essayer (It’s worth a try).

Informasi berikut aku ambil dari website IFI Jakarta https://www.ifi-id.com/id/delf-dalf

DELF (Ijazah Kemampuan Bahasa Prancis) dan DALF (Ijazah Kemampuan Bahasa Prancis Tingkat Lanjut) adalah ijazah resmi yang diterbitkan dan dijamin oleh CIEP (Pusat Internasional Studi Pedagogi), lembaga sertifikasi kompetensi bahasa Prancis untuk orang asing non frankofon yang diberikan kewenangan oleh Kementerian Pendidikan Nasional Republik Prancis. Ijazah ini berlaku seumur hidup lo, dan diakui di 165 negara.

Berikut level-level ujian DELF/DALF.

DELF-DALF Tout Public Ditujukan untuk publik umum non frankofon yang ingin mengesahkan kemampuan bahasa Prancis untuk keperluan pribadi, profesional, maupun akademis. 6 level: A1, A2, B1, B2, C1, C2. 3 sesi ujian per tahun.

DELF Junior untuk menguji kemampuan bahasa Prancis pelajar SMP-SMA usia 12-17 tahun dengan tema-tema yang disesuaikan dengan ketertarikan mereka. Ijazah ini menguatkan motivasi dan persiapan untuk menggapai jenjang pendidikan tinggi di Prancis.

DELF Scolaire juga ditujukan bagi para pelajar SMP-SMA. Namun, penyelenggaraannya dilakukan dalam kerangka kerja sama antara Institut Français atau Alliance Française dengan institusi pendidikan di Indonesia, serta menawarkan tarif yang lebih murah dibandingkan DELF Junior. 4 level: A1, A2, B1, B2. 3 sesi ujian per tahun

DELF PRIM diperuntukan bagi anak-anak usia 7-12 tahun yang termasuk dalam kategori penutur asing level pemula. 3 level: A1.1, A1, A2. 2 sesi ujian per tahun.

Berikut ini cara mendaftar :

1. Unduh formulir ujian DELF atau DALF sesuai jenis ujian yang Anda pilih: Tout publicJuniorScolairePrim. Bisa dengan mengisi form online
2. Isi dan kembalikan formulir ke Sekretariat Kursus sesuai IFI yang Anda pilih, berserta fotokopi KTP.
3. Bayar biaya ujian. Biasanya mesti langsung ke tempat, tapi karena tahun ini special, bisa dengan transfer.

Ada 4 kompotensi yang diujikan masing-masing bernilai 25 poin dengan nilai terendah kelulusan 5/25 per kompetensi. Angka minimal kelulusan adalah 50/100 untuk keseluruhan kompetensi. Pas ujian kemarin, aku tidak sempat fokus belajar karena berbarengan dengan jadwal audit di kantor. Ga mau muluk-muluk, target lulus aja. Minimal dapat 60, maximal 70.

Berdasarkan pengalamanku kemarin, level A1 relatif mudah bagi pemula. Kalau sudah pernah kursus atau belajar basic, In Shaa Allah lulus. Aku hanya belajar dari soal-soal tahun sebelumnya dan bisa dibilang typical. Berkaitan dengan angka, nama, nationality, harga, jadwal perjalanan, dan sejenisnya.

Kemarin, aku ikut jadwal ujian tanggal 16 November 2020. 30 menit sebelum ujian dimulai, peserta sudah diharuskan hadir di ruang ujian. Saat itu satu ruangan hanya ada 6 peserta. Kami diinformasikan sebelumnya, untuk memakai face shield dan masker.

Ujian terbagi 4 sesi. Pertama listening. Dialog sederhana tentang undangan makan dan iklan di supermarket. Tiap Dialog diputar 2 kali, jadi sangat membantu. Kemudian ada 5 dialog sederhana yang mesti kita cocokan dengan gambar pada soal. Untuk melatih pendengaran, search aja video latihan Delf di Youtube.

Bagian ke dua membaca. Ada beberapa bacaan singkat dan sederhana tentang lowongan pekerjaan, sebuah catatan liburan dan sebuah informasi mengenai Bandara. Kemudian 1 soal tentang menggambar rute untuk menemukan sebuah ruangan berdasarkan petunjuk pada bacaan.

Bagian ke tiga adalah menulis. Ini yang paling berat buatku karena aku punya penyakit susah mengeja. Bahasa Inggris yang sering digunakan aja sulit banget kalau mesti nulis. Well, kebanyakan dibantu auto correct sih. Kabar baiknya, di level A1 & A2, typo masih dimaafkan.

Kemarin, soal di bagian writing ada 2, pertama mengisi form pendaftaran sport club. Mengisi nama depan, nama belakang, nationality, umur, tanggal lahir, alamat, email, pilihan olahraga dan hari. Sepertinya form model ini hampir selalu keluar. Soal ke 2 adalah menulis postcard mengenai liburan di kota besar, minimal 50 kata. Hmmm, aku beruntung di bagian ini karena sudah latihan bikin karangan dibantu native. Usaha menghafal Alhamdulillah sukses. Melihat contoh-contoh soal, tipikal tema bagian ini antara lain menulis post card tentang liburan, surat undangan pesta, ajakan liburan, atau menolak undangan.

Bagian terakhir adalah speaking. pada bagian ini ada 3 sesi. Sebelum ujian dimulai, peserta dipersilakan memilih kertas berisi tema yang akan diujikan dan mempersiapkan diri selama 10 menit. Sesi pertama memperkenalkan diri. Pada sesi kedua, peserta mewawancarai penguji berdasarkan tulisan pada kertas yang sudah dipilih. Saat itu kertas yang aku pilih berisi kota, saudara, teman, pekerjaan, 2 lainnya lupa. Tips : pelajari kalimat-kalimat tanya. Sesi terakhir, peserta dan penguji bermain peran sebagai penjual dan pembeli. Aku memilih kertas bergambar agenda, laptop, lampu dan pensil. Sempat panik pas menyebutkan harga, well, apapun bahasanya, angka adalah kelemahanku. Bagian ini aku dapat nilai terendah.

Akhirnya, setelah 3 minggu menunggu, hasil ujianpun diumumkan. Aku lulus dengan nilai 84.5. J’hallucine !!!

Alors, ce n’est que le debut. OTW A2 tahun depan !!!!

Cerita dari Toulouse : Camping di Gunung, Jajan di Pasar & Mampir di Carcassonne

Memiliki teman orang lokal di tempat asing itu selalu menjadi nilai plus. Guide lokal yang lebih tau dimana menemukan sesuatu yang unik. 3 tahun lalu aku kenal seorang penpal yang berdomisili di Toulouse, Perancis. Aku memanggilnya Q. Kami sering berkirim kartu pos dan kado-kado kecil. Saat aku memulai trip WWOOF ke Eropa, mengunjungi Q adalah salah satu agenda utama.

3 tahun lalu saat pertama kenal, Q sedang menabung untuk membeli sebuah campar van, karena dia suka camping dan night photography. Saat itu aku mendoakan semoga van impiannya segera terwujud dan dia berjanji jika aku ke Perancis, dia akan mengajakku camping dengan mobilnya.

Siapa sangka, guyonan itu jadi kenyataan. Setahun lalu, aku benar-benar diajaknya camping dengan mobil van-nya di pegunungan Pyrenees sesuai janjinya.

Kami berangkat Jum’ at sore. Hari itu cerah menyenangkan. Kami perlu waktu sekitar 3 jam untuk sampai di gunung. Tiba pas menjelang senja karena sengaja mampir-mampir untuk jajan.

Untuk makan malam, Q masak bebek goreng crispy yang rasanya seenak Bebek Slamet. Serius seenak itu. Kalah sambel aja. Ini adalah bebek kalengan yang digoreng dengan lemaknya.

Malam itu langit lumayan cerah, bahkan nampak milky way, tapi karena sangat dingin, aku memilih mendekam di dalam mobil.

Keesokan paginya, kami turun gunung menuju sebuah desa kecil cantik yang bernama Saint Girons. Disini, pas Sabtu pagi ada pasar kaget yang menjual produk lokal, utamanya keju, aneka sayur mayur dan beragam jajanan enak. Kami jajan pie apel, grilled chicken, melon dan tentu saja keju.

Setelah kenyang jajan, kami selanjutnya menuju ke tujuan utama yaitu BENTENG CARCASSONNE (Château et remparts de Carcassonne). Carcassonne adalah sebuah kota sekitar 90 km dari Toulouse, Perancis Selatan. Benteng ini adalah situs budaya UNESCO. Bangunannya seluas 2,5 km, berbentuk segi empat, dan memiliki 53 menara pengawas. Merupakan benteng terbesar di Eropa peninggalan abad pertengahan (medieval) .

taken from lifepart2.com Pinterest.

Untuk masuk area benteng, tidak dikenakan biaya masuk, di dalam ada beragam cafe dan toko souvenir. Tempat parkir di luar cukup luas, namun lumayan penuh.

Kami meninggalkan Carcassonne menjelang sore, mampir sekalian di pusat kota Toulouse karena besok aku sudah harus menuju Paris.

Toulouse adalah markas besar Boeing. Kota ini dijuluki “kota Pink” karena pusat kotanya didominasi batu bata yang melukis kota dengan warna pink. Pusat kota lumayan rame, pusat perbelanjaan lengkap dengan beragam cafe tempat nongkrong.

3 hari di Toulouse bersama Q berakhir di Minggu sore. Q mengantarku ke stasiun untuk melanjutkan perjalanan menuju Paris dengan Flix Bus.

Meskipun ini pertemuan pertama, kami seakrab saat online. Ya, berteman di dunia maya memang tidak selalu jadi cerita indah. Oleh karena itu, sebelum memutuskan menginap di tempat Q, aku telah menjelaskan dan memastikan dia menerima dan menghormati batasan-batasanku sebagai Muslim. Aku juga meminta poto ID card nya untuk data pribadiku.

Sebelum memulai solo tripku ke Eropa, aku memberikan semua jadwal perjalanan, alamat semua hotel dan host serta detail data orang-orang yang rencananya aku temui kepada teman baikku di Jakarta. Setidaknya, jika terjadi sesuatu padaku, ada orang terdekat yang tau kemana harus mencari informasi.

DELIVERY SERVICE ALA SWISS : HELICOPTER

Pertama kali melihat penampilan Lea (Shepherd dari German yang dipekerjakan oleh host WWOOF ku di Interlaken) pas berangkat mengembala kambing ke gunung, aku seperti melihat seorang Rey, The Last Jedi tapi versi rambut rasta. Keren plus tangguh. Waktu punya kesempatan ngobrol sama dia, aku kepo untuk bertanya apakah dia pernah punya rasa takut naik turun gunung, siang, sore, malam setiap saat jika dia diharuskan mencari kambing yang ilang? (Sebenarnya mah takut yang aku tanyakan itu soal takut ketemu hantu).

Lea bilang, iya dia takut, apalagi ternyata tepat sebulan lalu, temannya sesama shepherd (awalnya dia berdua melakukan tugas ini) mengalami kecelakaan fatal, kejatuhan batu dari atas gunung, segede kepala pas di tengkuknya. Beruntung, gadis itu selamat karena otaknya tidak terluka. Benar-benar sebuah keajaiban, setelah 3 hari koma, seminggu kemudian dia sudah kembali beraktifitas seperti biasa. 

Ya, meskipun pegunungan Alpen adalah tempat yang sangat indah, hutannya lebih kalem jauh berbeda dengan tipikal hutan tropis yang cenderung lebat dan gelap, tetap saja alam menyimpang kekuatannya dan bahaya tersembunyi. Claudia sebagai tuan rumah selalu menasehati kami untuk hati-hati, fokus, berusaha tidak berada di bawah tebing tempat kambing merumput, karena kambing bisa saja menjatuhkan bebatuan dari tebing, mengurangi ngobrol dan bercanda karena bisa mengganggu konsentrasi.

View Interlaken dari atas gunung

Saat aku bertanya apa yang Lea rasakan saat itu? Dia bilang panik, takut karena dia hampir yakin temannya meninggal di tempat. Kejadian itu masih selalu terbayang setiap kali dia naik gunung, dan itulah sebabnya setelah kejadian itu dia lebih sering kehilangan kambing. Binatang bisa merasakan ketakutan pada diri kita, sehingga mereka jadi lebih susah dikendalikan.

Bagaimana cara membawa seseorang yang mengalami kecelakaan ke rumah sakit di tempat seperti ini? Sementara untuk mencapai jalan raya terdekat butuh waktu setidaknya 40 menit jalan kaki. Ternyata penduduk di pegunungan Alpen biasa carter helicopter. Pada case Lea, selain faktor keberuntungan, juga karena penanganan dan kesigapan tim SAR dan medis yang super cepat. Saat kejadian, Lea segera menghubungi Claudia untuk meminta bantuan, kemudian Claudia menghubungi tim SAR yang segera mengevakuasi korban. Semua proses hanya butuh waktu sekitar 10 menit hingga sampai rumah sakit dan korban mendapat pertolongan. Yeah, that’s Swiss.

Jika hal itu terjadi pada orang yang kurang tanggap (sebut saja saya), bisa saja proses panik sendiri, binggung mo ngapain, nangis, moment blank bisa memakan beberapa puluh menit bahkan jam dan bisa saja mengakibatkan korban tak tertolong. Teringat beberapa kasus pendaki yang tersesat di beberapa gunung di tanah air belakangan ini. Proses pencarian bisa memakan waktu beberapa hari dan sering menemukan korban sudah meninggal. 

Heli Base di Lauterbrunnen, Swiss

Saat kami sedang ngobrol, terdengar deru suara helikopter, ternyata selain untuk rescue, penduduk Alpen juga biasa menyewa heli untuk delivery barang-barang kebutuhan sehari-hari, material untuk membangun rumah, furniture atau pakan ternak yang tidak memungkinkan untuk dibawa manual dari bawah. Hebatnya lagi, dari base heli di Interlaken ke atas Alpen rata-rata hanya perlu waktu 2 menit sekali jalan. Iya, 120 detik doang.

Untuk menghemat ongkos carter, ternyata juga boleh sharing. Asal lokasi berdekatan dan volume mencukupi. Jadi ngebayangin suatu hari nanti go-send atau go-food ngantar pakai Heli, 😆.

Carter Heli memang bukan hal baru di negara maju, juga bukan cuman di Swiss. Tapi bagi orang udik kaya aku, pengalaman menyaksikan delivery service pakai Helikopter itu bisa bikin moment melongo sesaat. 

Btw pas aku masih kecil, moment melihat pesawat melintas di atas langit kami adalah moment berharga. Kebiasaan anak-anak di kampungku pas dengar suara pesawat adalah langsung keluar rumah, da-da-da-da ke atas sambil teriak “Kapal, njaluk duite” (Kapal minta uang…🙊). Kami melakukannya dengan tawa bahagia seakan Mas Pilot sedang melongok ke bawah melihat kami. Kangen masa itu.

Aku sempat mampir ke Swiss Helicopter Base di Interlaken. Pilotnya ramah-ramah (cakep sudah pasti). Jadi pingin punya suami Pilot.

Fly me to the moon..

Let me play among the stars..😊 

WWOOF TRIP SWITZERLAND : KEBUN APEL ORGANIK DI BERN – PART 2

Mumpung belum terlanjur lupa, sekarang, saatnya melanjutkan cerita petik apel di Bern, Swiss. Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, Hostku bernama Philipp, seorang pria gaul berambut rasta. Aku tebak dia sekitar berusia 40an, berhubung anaknya yang pertama sudah berusia 18 tahun.

“Dont jugde a book from its cover” benar-benar cocok untuk Philipp. Di balik cover Bob Marley-nya, Philipp adalah pria penyayang dan seorang yang sangat berjiwa sosial. Dia adalah salah satu anggota Social Housing, sebuah program pemerintah Swiss untuk mengembalikan warga yang memiliki masalah social untuk kembali ke masyarakat. Masalah social itu antara lain kecanduan narkoba, kriminal atau masalah depresi. Philipp menerima orang-orang bermasalah itu untuk bekerja di perkebunannya, memberi konseling  dan membantu mereka memulai hidup baru di masyarakat.

Tahukah kamu, ternyata Swiss pernah mengalami krisis narkoba kelas berat. Bahkan Swiss dikenal sebagai “Europe’s biggest open drug scene”, tidak main-main karena narkoba yang dimaksud adalah  Heroin. Banyak warga meninggal karena candu. Di sebuah taman di Zurich yang bernama Zurich’s Platzspitz park, (dijuluki ‘needle park’ oleh The New York Times) pada tahun 1990an ribuan orang dengan terbuka menyuntikkan obat-obatan pada tubuh mereka hingga sekarat. Melihat kondisi yang semakin memprihatinkan, pemerintah berusaha mencari berbagai cara untuk mengatasi krisis narkoba hingga akhirnya menemukan cara efektif yang paling kontroversial. Swiss memerangi narkoba dengan narkoba. Swiss adalah negara pertama yang menjalankan Heroin on prescription untuk membantu para pecandu kembali ke kehidupan normal. Methadone legal diresepkan di Swiss untuk pengobatan pecandu heroin. Cara ini terbukti efektif mengurangi jumlah pecandu dan penyebaran HIV. Program ini ternyata sukses merubah image pecandu yang awalnya dikira keren jadi semacam penyakit. Kekhawatiran akan peningkatan pengguna karena pelegalan nyatanya tidak terjadi disini. Saat ini program tersebut telah diadaptasi oleh Canada dan Belanda. 

Nah, program lanjutan selain mengobati kecanduan tersebut adalah mengembalikan para mantan pecandu ke kehidupan social masyarakat, mengembalikan kepercayaan diri mereka. Itulah yang dilakukan oleh Philipp. Selain mantan pecandu, orang-orang dengan masa lalu criminal, masalah keluarga atau depresi personal juga diterima disini. Korban patah hati juga boleh daftar Saat aku bertanya kenapa dia mau melalukan itu? Dia bilang karena dia senang bisa menolong orang lain. Membantu orang lain membuatnya bahagia. Fortunatelly or unfortunatelly, pas aku disana, Philipp sedang libur dari pekerjaan sosialnya. Dia mengaku terkadang juga lelah. 

Aku beruntung (beneran beruntung) datang ke Matzwil di bulan October, saat apel-apel merah ranum siap panen. Tahun 2018 kemarin adalah tahun yang baik untuk apel, semua pohon apel di seluruh Swiss berbuah lebat berkat dukungan cuaca yang lebih hangat dari biasanya. Beberapa tahun sebelumnya, karena terlalu banyak hujan dan cuaca yang terlalu dingin, bunga apel banyak yang rontok. Jumlah panen turun drastis bahkan banyak petani yang memutuskan menebang pohon mereka karena merugi. Akibatnya, supply apel untuk konsumsi masyarakat menjadi jatuh. Melihat fenomena ini, pemerintah Swiss-pun memberi bantuan financial kepada petani apel agar mau mempertahankan tanaman mereka. Pemerintah Swiss baik ya..(ngiri😆)

Kebun Apel Philipp murni organik, dia hanya menggunakan pupuk kandang (dari sapi organik) untuk pupuk. Tidak ada pestisida sama-sekali. Bahagia melihat pohon apel yang penuh dengan buah berwarna merah ranum siap panen. 

Apel yang dipetik dipisahkan menjadi 3 grade dan ditaruh pada box berbeda, kualitas 1, apel dengan kondisi dan bentuk sempurna untuk konsumsi, kualitas 2 untuk buah konsumsi dengan harga lebih murah dan kualitas 3 adalah buah jatuh pohon atau dimakan ulat untuk bahan selai dan juice. Semua buah ini meskipun cacat, namun melalui proses pembersihan dan sterilisasi sebelum diolah. Jangan khawatir untuk keamanannya. Juice dari kebun apel Matzwil rasa dan aromanya…. the best i ever had.

Setiap Minggu, Philipp juga menyumbangkan beberapa box apel grade 3 untuk sebuah pabrik apel local yang mempekerjakan difficult people di daerah itu. Untuk pekerjaanku sendiri, hanya membantu Lukas and the gang (baca Post sebelumnya ) memetik apel dari jam 8 pagi sampai jam 3 sore. Senin-Jumat, Sabtu Minggu libur. Jam 10 pagi dan jam 3 sore adalah waktunya tea time. Kami istirahat 30 menit untuk minum teh dan ngemil roti.

Istirahat siang antara jam 12-1.30, makan siang dan istirahat. Philipp adalah koki yang hebat. Karena dia adalah seorang Vegan, Philipp tidak memasak daging dan telur tapi dia pandai mengkombinasikan kacang-kacangan dan biji-bijian sebagai sumber protein. Masakan Philipp adalah masakan terenak dan paling cocok dilidahku selama 6 minggu keliling Swiss Perancis. Selesai makan, kami  mencuci peralatan makan dan masak bersama-sama. 

Bagiku secara pribadi, pekerjaan ini menyenangkan namun cukup berat karena mesti angkat-angkat keranjang apel. Aku kagum pada Caroline dan Marlina yang sangat kuat dan cekatan mengangkat keranjang besar apel, naik turun tangga, nyetir traktor, dll. Padahal mereka lebih mirip barbie cantik bermata biru dari luar.

Awal October tahun lalu cuaca di Bern pas pagi bisa sangat dingin, sekitar 5 derajat celcius tapi mendadak terik perlahan saat matahari bangun. Jam 12 siang, suhu bisa mencapai 33 derajat. Nah jadinya, pakaian kamipun menyesuaikan. Pas pagi semua pakai jaket tebal, sarung tangan, masker, tapi tengah hari Marlina dan Marcela mendadak ganti kostum, hanya pakai BH dan celana pendek. Jadilah kebun apel rasa pantai.

Kebayang kalau mereka jadi buruh petik apel di Batu atau Bandung, bisa didatangi warga buat diajak selfie atau malah diprotes karena terlalu sexy 🤣. Meskipun kami tidak bisa ngobrol gegara roaming bahasa, Polish Gang memperlakukanku dengan sangat ramah.

SENSASI NGEMPER DI EROPA

Pertanyaan paling populer soal solo traveling selain kesepian adalah keamanan. Ini adalah pertanyaan tak terjawab, karena aku percaya tidak ada tempat di bumi ini yang totally safe. Jangankan pas jalan-jalan ke tempat asing, di rumah kita sendiri saja selalu ada kemungkinan bahaya. Jadi, selalu berhati-hati adalah kuncinya. 

Membahas tentang situasi-situasi yang agak berbahaya selama solo traveling, aku punya beberapa pengalaman ngemper di beberapa tempat. Istilah ngemper ini mengacu pada upaya penghematan dengan tidak menginap di hostel tetapi dengan menghabiskan malam di tempat umum. 

Pengalaman pertama ngemper international adalah di Changi. Waktu itu bareng teman, bertiga jadi aman-aman saja. Ngemper ke dua di Narita, waktu itu pas dari Sapporo balik ke Tokyo dengan flight malam. Beruntung ada teman mahasiswa Malaysia jadi ga sendirian. Waktu itu pas musim dingin. Aku dapat kursi di depan pintu masuk. Jadilah pas pintu terbuka langsung diserang dingin. Brrrrr….

Berbekal 2 pengalaman ngemper international di atas, aku sudah meniatkan acara ngemper di trip Swiss-Perancis kali ini.


Pertama, ngemper dini hari di jalanan Lyon

Yes, literally jalanan. Ceritanya aku dalam perjalanan ke Ales (Perancis) dari Interlaken (Swiss) menggunakan Flix Bus. Perjalanan itu lumayan panjang dengan 2 kali transit. Milan (Itali)- Lyon baru Nimes, stasiun terdekat dengan Ales. Interlaken-Milan hanya sekitar 5 jam, aku sampai di Milan sekitar jam 2 siang, perjalanan selanjutnya Milan-Lyon, sekitar 7 jam. Transit di Milan sekitar 4 jam.

Berangkat jam 6 sore dari Milan, prediksi sampai di Lyon jam 1 an dini hari. Karena trip selanjutnya Lyon ke Nimes jam 8 pagi, jadi aku sengaja tidak booking hotel, for the sake of penghematan aku niatkan bermalam di stasiun, dengan prasangka positif di Eropa pasti stasiun buka 24 jam, ataupun kalau tidak pasti ada halte yang layak untuk ngemper.

Perjalanan kami delay 1 jam karena pada saat pemeriksaan document di perbatasan Itali ke Perancis, ada seorang penumpang, cowok muda yang pas duduk depan bangkuku, tak memiliki document lengkap sehingga Polisi perbatasan Itali menahan bus kami. Setelah sejam dia dibawa ke kantor polisi dan tidak juga kembali, perjalananpun dilanjutkan. Sang cowokpun tertahan di perbatasan. Semoga dia baik baik saja.

Jam 2 malam, driver menyampaikan lewat pengeras suara kalau kami telah sampai di Lyon. Oh no, ternyata station Lyon hanya dibuka sampai jam 12 malam, sehingga bus hanya menurunkan penumpang di jalanan depan stasiun. Disana, tidak ada bangku, tidak ada halte bus, hanya ada seperator jalan dengan trotoar. Angin sepoi-sepoi menambah dingin udara, Alhamdulillah tidak hujan meski langit mendung. 

Aku dengan menenteng 2 backpack dan sebuah tas tangan, ndoprok di pinggiran jalan sendirian. Hmm, enggak sendirian juga sih, ada beberapa pria, yang juga sepertinya turun berbarengan denganku dan beberapa orang yang sepertinya menunggu bus, berdiri di pinggir jalan, ada yang ngobrol ada yang sedang merokok.

Udara makin dingin, beberapa orang telah naik bus yang mereka tunggu, menyisakan aku dan makin sedikit orang di jalanan itu. Tengok kanan kiri, di belakangku ternyata adalah sebuah restaurant dengan beberapa bangku di teras. Aku terpikir untuk berpindah duduk disana, namun enggan jika ternyata ada security dan kemudian aku diusir. Pengalaman diusir dari teras di resto Lyon bukan pengalaman indah yang bisa diceritakan pas pulang nanti, kan?

Beberapa saat kemudian ada 2 orang lelaki duduk disana. Akupun latah mengikuti mereka. Ternyata sudah ada beberapa orang yang tiduran di bangku pojok. Semua laki-laki. Horor, iyess.

Temanku yang asli Prancis sudah wanti-wanti agar aku hati-hati karena di setiap pinggiran stasiun adalah lokasi lokalisasi, tempat anak jalanan suka minum-minum dan sering kali jadi tempat transaksi narkoba. Iya, pas sebelah restoran ini adalah sebuah warung sex toys. Uhlalaaaaa… warna catnya pink dengan lampu neon kelap-kelip ungu. 

Masih jam 3, aku mencoba tidur di kursi, sambil memeluk harta bendaku, berselimut jaket dan berdzikir dalam hati. Aku terbangun saat seseorang menepuk punggungku, dia bilang stasiun sudah buka.

Station Lyon ternyata cukup gede, saat itu sudah ada beberapa bus yang mulai beroperasi tapi kereta pertama baru akan mulai jalan jam 5:30. Aku menemukan bangku di sebelah vanding machine depan pintu utama, ah ada sinyal wifi. Senangnya,

Sayang sekali, mampir di Lyon hanya untuk numpang tidur beberapa jam, di jalanan pula. Lain kali aku ingin balik ke sini, booking hotel minimal bintang 3 lah ya (Balas dendam). Bersyukur melewatkan malam dengan aman meski ga nyaman di pinggir jalan station Lyon. Cukup sekali saja. 


Next, Ngemper di Bus Central Strasbourg

Ternyata pengalaman ngemper di Lyon ga bikin aku jera, malah makin berani. 

Kali ini adalah perjalanan pendek, masih dengan Flix Bus, dari Strasbourg ke Bern untuk WWOOFing ke 3. Perjalanan cuman 3 jam, tapi dimulai jam 3 pagi. Sudah aku niatkan untuk jalan kaki dari hotel ke terminal, toh cuman 30 menit, sekalian mampir masjid gede Strasbourg untuk sholat Magrib dan Isya. Akupun berjalan kaki sambil mengeret-geret koper dan menggendong ransel.

Karena ga pingin jalan dalam kegelapan nan sepi, aku memilih berangkat lebih awal, tepatnya sampe stasiun masih jam 9an, jadilah ngemper hampir 6 jam. Padahal naik trem cuman 2 Euro lo, tapi aku milih jalan kaki😝

Terminal Bus Strasbourg cukup nyaman, ada bangku dan penerangan cukup, relatif ramai. Hampir tiap 15 menit ada saja bus datang yang sharing wifi sebentar-sebentar. Lumayanlah, cukup buat chating ngusir bosan.

Saat itu aku duduk di bangku depan sebuah pusat informasi yang seatap dengan toilet umum, yang baru aku sadari sebenarnya adalah Smoking Area. Aku baru ngeh pas kali ke tiga ditanyai soal korek api. Sempat heran, kenapa mau pinjam korek ke aku? Pas noleh belakang baru ngeh tulisan Smoking Area.

Karena tidak mau disapa orang buat minjam korek lagi, aku pindah duduk di area bangku taman. Berhubung area terbuka… werrrrrrrr…. saat angin semriwing datang, dinginnya sampai ke tulang. Bersyukur malam itu cerah, bintang kelap kelip di langit dan busku pun datang on-time. Ngemper di Strasbourg bukanlah cerita horor.

Kali ini di Stasiun Central Zurich, Zurich HB

Masih ada cerita ngemper selanjutnya. Kali ini di Stasiun Central Zurich, Zurich HB, sehari sebelum balik ke Jakarta. Apalagi kalau bukan untuk alasan penghematan. Berhubung sudah kenal stasiun ini, maka aku relatif PD (apalagi berpengalaman di 2 lokasi ngemper sebelumnya).

Setelah puas keliling kota Bern, jam 8 sore aku naik bus menuju Zurich, cuman sejam. Awalnya mo nyari tumpangan di Couchsurfing, udah dapat 2 host, tapi akhirnya aku memutuskan ngemper di stasiun saja. Dari jam 9 malam aku mulai nongkrong di Zurich HB, baca buku, chatting, update instastory sampai kelaparan akhirnya ngantuk juga. Sekitar jam 1 malam aku rebahan di bangku panjang depan tempat ibadah. Bangku itu cukup panjang untuk 2 orang. Di bangku itu sudah ada seorang ibu-ibu yang yang rebahan juga. Beliau tersenyum ramah, tapi kami tak sempat ngobrol.

Aku terbangun tiba-tiba karena mimpi aneh, lupa mimpi apa, tapi pas aku membuka mata, aku melihat sebuah tangan mencoba membuka resleting tas kecilku yang aku taruh diantara dinding dan tubuhku (seingatku semalam aku memeluk tas itu). Reflek aku mendongak dan ternyata ada 2 orang pria sedang duduk di sebelahku, reflek aku senyum ke arah mereka. Sang Ibu ternyata sudah bangun. Aku masih setengah sadar atau mengigau, saat melihat jam tangan masih jam 4 pagi. Aku menutup kembali resleting tasku, terus balik tidur lagi. Tak lama kemudian, aku terbangun lagi, dan masih sama, aku melihat sebuah tangan berusaha membuka resleting tasku. Kali ini aku baru sadar ada bahaya. Duh… Lola banget. Masih 2 orang tadi, namun mereka lekas beranjak pas aku benar-benar bangun.

Lagi-lagi bersyukur, tak ada barang hilang, isinya memang bukan uang sih, tapi barang-barang kecil, souvenir dan PASPOR!!!! Hadew, tinggal di Swiss memang menyenangkan. Tapi kalau berlama-lamaan disini gara-gara paspor ilang??? Amit-amit…. jangan sampai kejadian ya Allah….

Eh, masih ada lagi cerita ngemper…. well ini beneran yang terakhir !!!

Hari ini adalah hari terakhirku di Swiss, besok jadwal balik ke Jakarta. Rencana hari ini adalah numpang gosok gigi di toilet yang bayar 1,8Euro, nitipin tas di loker selama 10 jam, keliling kota Zurich kemudian ngemper di Bandara. Karena agak parno ngemper di stasiun lagi, aku memilih ngemper di bandara malam ini. Pertimbangan pertama adalah karena bandara pastinya lebih rame, 24 jam, lebih aman dan lebih mudah nyari toilet (gratis).

Jam 10 malam aku naik kereta ke bandara, cuman sekitar  20 menitan. Saat itu situasi ramai seperti bandara sewajarnya.

Akupun hunting posisi PW untuk tidur. Sempat tertidur sejam, aku terbangun sekitar jam 12 malam and bengong karena saat itu tidak ada lagi orang di sekitarku yang awalnya lumayan rame. Hanya ada sekitar 3-4 orang di bangku seberang. Well, dan keadaanpun semakin malam semakin sepi. Karena penasaran, aku mencoba keliling, mengharap situasi berbeda di sudut lain, but… di bandara segede itu beneran hampir tidak ada orang. Semua counter Duty Free, toko tutup. Entah jika ada area yang buka 24 jam di sebuah sudut yang tak terjamah. 

Setelah muter-muter ga jelas dengan rasa khawatir ketemu satpam terus diusir, aku menemukan 2 orang sedang tertidur di bangku dekat counter check in. Aku pun ikut ikutan buka lapak disana. Kelelahan, akhirnya tertidur pulas, baru terbangun jam 6 pagi.  Saat itu, bandara Zurich-pun normal lagi. Penting banget untuk cari tau dulu jam operasional tempat-tempat umum macam bandara atau stasiun. Ok, catet. Lesson to learn!! Merasakan bandara Zurich serasa milik sendiri semalaman adalah pengalaman yang tidak ingin aku ulangi.

Well, jujur, ngemper di tempat umum bukan pengalaman yang menyenangkan. Meski selalu ada sensasi puas pas melewati saat-saat genting (plus menyelamatkan budget), namun sebaiknya keamanan tetep jadi prioritas utama dimanapun berada. Kalaupun pingin nyobain pengalaman ngemper di tempat umum, sebaiknya survey tempatnya dulu, siapin bekal makan minum cukup, download film secukupnya atau bawa buku bacaan. Biar jadi ngemper rasa piknik.

Sering banget dapat komen, “Jalan-jalan ga ngajak-ngajak sih?”, “lain kali ajakin aku jalan bareng ya,..”. Setelah baca cerita ini, masih mau ikutan??

WWOOF TRIP SWITZERLAND : KEBUN APEL ORGANIK DI BERN – PART 1

Bahasa & English Version

Welcome Party ala Polska

Trip WWOOF ku yang terakhir adalah di kebun Apel organik di Bern. Philipp, sang tuan rumah adalah petani yang extraordinary banget. Awalnya aku mengira dia serupa Kolonel Sander KFC, Bapak-bapak tua dengan jenggot dan perut buncit. Selama ini aku menghubungi Philipp melalui WhatsApp dan email tapi tidak ada profile pic. yang bisa sedikit mengambarkan seperti apa dia sebenarnnya.

My last Europe WWOOF trip was at the organic Apple orchard in Bern. Philipp, the host is a very extraordinary farmer. At first I thought he was like Colonel Sander, an old gentlemen with a beard and belly. Typical farmer in my mind. I made contact with Philipp via WhatsApp and email but there is no profile pic. which could be a little describing what he really was.

Jadilah aku kaget banget pas dijemput di terminal bis jam 7 pagi yang masih berkabut oleh pria rasta paruh baya kembaran Bob Marley. Sempat salah paham juga karena dia salah sebut namaku dan aku sama sekali tidak mengira sang Kolonel ternyata berambut gimbal. Alhamdulillah setelah dia menyebutkan password Indonesia, semua jadi terang benderang. 

So I was really surprised when a middle-aged Rasta man, in Bob Marley look, came over me at Bern bus terminal in the fogged morning. Had a misunderstanding too because he mispronounced my name and I did not expect the Colonel to be an Rasta Guy. Alhamdulillah after he mentioned “Indonesian”, everything was clear. He was Philipp, my host.

Kebun Apel Philipp sekitar 30 menitan dari Bern Main Station dengan mobil. Sepanjang jalan dia bercerita tentang kondisi rumahnya. Ada 4 keluarga, 2 pasangan dari Polandia yang bekerja di kebun, 1 keluarga teman Philipp yang sedang berlibur dengan anak mereka yang masih umur 7 tahun dan satu lagi keluarga di lantai 3 dengan 2 anak kecil dan ibu hamil.

Philipp’s Apple Farm was about 30 minutes from Bern bus station by car. Along the way he told me about the condition of his house. There were 4 families, 2 couples from Poland who work in the farm, 1 family of Philipp’s friends who were on vacation with their 7-year-old child and another family on the 3rd floor with 2 children and a pregnant woman.

Philipp sendiri memiliki 3 anak, 1 cewek 19 tahun dan 2 anak lelaki, umur 9 dan 7 tahun. Dari ceritanya aku menyimpulkan dia tidak menikah. Saat itu hanya ada Malik yang paling kecil, sementara kakak-kakaknya sedang liburan ke Barcelona. Philipp sebenarnya tidak tinggal di rumah itu, hanya beberapa minggu sebulan dan selalu berakhir pekan di luar kota Bern. Sore ini dia bilang akan ke Zurich untuk menonton konser music DJ favoritnya.

Philipp himself has 3 children, 19 year old girl and 2 boys, ages 9 and 7. From his story I concluded he was not married. At that time there was only the youngest, Malik was home, while his brothers were on vacation to Barcelona. Philipp does not actually live in the house, only few weeks a month and always spent his weekend outside the city of Bern. This afternoon he going to Zurich to attend his favorite DJ music concert.

Typical rumah Swiss di pedesan terbuat dari kayu. Lumayan besar dengan 3 lantai. Sebelah rumah utama adalah rumah besar yang dijadikan gudang penyimpanan apel sekaligus pabrik pembuatan jus. Masih ingat wangi aroma apel dari dalam gudang.

The house was typical Swiss country side house made of wood. Fairly large with 3 floors. Next to the main house was a large house which was used as an apple storage as well as a juice-making factory. Still remember the fragrance of the apple from the warehouse.

Kamar untuk WWOOFer di rumah Philipp, sederhana namun nyaman dan bersih

Sesampainya di rumah, Philipp menujukkan kamarku, di lantai 2 rumah utama. Di lantai ini ada 3 kamar, 2 untuk pasangan Polandia, kamarku dan ruang TV. Ada juga kamar mandi dan ruang laundry. Lumayan besar dan sangat rapi. Setelah menaruh tas, Philipp menawariku minum teh sambil ngobrol ringan di ruang tamu lantai 1. Rumah masih sepi, semua penghuni masih tidur, di luar masih remang.

Philipp showed me my room, on the second floor of the main house. On this floor there were 4 rooms, 2 for Polish couples, my room and the TV room. There were also a bathroom and laundry room. Quite big and very neat. After placing my bag, Philipp offered me a cup of tea while chatting lightly in the living room on the 1st floor. The house was still quiet, everyone were still sleeping, outside was still dark.

Hello…

Sekitar sejam kemudian, pasangan Polandia di lantai 2 turun untuk sarapan. Philipp mengenalkan mereka 1 per 1 karena rupanya mereka tidak bisa Bahasa Inggris. Mereka adalah Lukas, sang Leader. Marlina istri Lukas, Filip dan istrinya Carolina, pasangan yang sepertinya lebih muda dari aku. Lukas bisa sedikit bahasa Inggris. (literally, sedikit banget). Mereka menggunakan Bahasa German untuk berbicara dengan Philipp dan menggunakan Bahasa Polandia untuk ngobrol dengan yang lain.

About an hour later, Polish couples on the 2nd floor went down for breakfast. Philipp introduced them 1 by 1 because unfortunatelly they could not speak English. They were Lukas, the Leader. Marlina, Lukas’s wife, Filip and his wife Carolina. Lukas could speak English little (literally, very little). They used German to talk to Philipp and Polish to chat with others. Both, i don’t understand.

Hari Sabtu biasanya mereka kerja setengah hari, tapi hari itu Philipp memberi mereka hari libur. Sorenya, Lucas mengundangku makan pizza bersama mereka, dia bilang untuk menyambut kedatanganku. Welcome party. Mereka rupanya membuat home made pizza. Topingnya salami (sejenis daging asap yang biasanya terbuat dari daging Keledai) yang ternyata di Swiss mostly terbuat dari babi. Beruntung belum sempat makan karena Philipp sempat memberi tahu jika itu adalah Pork Salami. Kemudian Marlina membuatkan aku pizza dengan topping jamur dan keju. Meski topingnya sederhana tapi rasanya lumayan enak. Philipp tidak ikut pesta karena dia buru-buru ke Zurich untuk nonton konser musik.

On Saturdays they usually worked half day, but that day Philipp gave them day off. In the afternoon, Lucas invited me to have pizza with them, he said to welcome me. A welcome party. They baked home made pizza. The topping was salami (a type of smoked meat which is usually made from donkey meat), unfortunately in Switzerland mostly made from pork. Luckily I haven’t had any because Philipp told us that it was Pork. Philipp himself was a vegetarian. Then Marlina made me a pizza topped with mushrooms and cheese. It tasted pretty good. Philipp did not join the party because he rushed to Zurich for music concert.

Pernah dengar kalau Polish adalah pecinta Vodka, tapi baru itu semeja (itupun terpaksa) dan menyaksikan betapa cintanya mereka dengan Vodka. 4 botol untuk 6 orang, oh iya ada 2 orang lagi Adam dan Dominic yang bekerja di perkebunan sebelah. Music disco Poland diputar lumayan keras, meskipun ga mudeng tapi lumayan enak juga didengar. Setelah 4 botol vodka, mereka masih punya sebotol whiskey. Well, mulanya mereka mengira aku menolak minum Vodka karena tidak suka Vodka, sempat ditawari Wine, Beer ampe Whiskey. Thanks to Google translate, paham juga akhirnya mereka kalau aku tidak minum alkohol jenis apapun. Aku memilih jus apel sahaja.

I have heard that Polish is Vodka lover, but it was something to witness how much they love it. 4 bottles for 6 people, oh yes there were 2 more people Adam and Dominic who worked on the farm next door. Poland’s disco music was playing quite loudly, i did not know the song but it’s pretty nice music. After 4 bottles of vodka, they still have a bottle of whiskey. Well, at first they thought I refused to drink Vodka because I didn’t like Vodka,then they offered me Wine, Beer and Whiskey. Thanks to Google translate, they finally understood that I don’t drink any type of alcohol. I took apple juice instead.

Mereka ngobrol ngalur ngidul sambil sesekali bernyanyi mengikuti musik yang mereka putar. Lagunya rata-rata house music jedag-jedug. Karena kepo, aku sengaja menggunakan Google translate untuk menterjemahkan perbincangan mereka. Namun gegara 6 orang ngomongnya saling nerocos berbarengan, Google translate-pun jadi error. Setidaknya aku sedikit bisa bertanya atau menjawab bertanyaan mereka. Lumayan, jadi mengurangi roaming.

They were chatting while singing occasionally following the music they were playing. The song was kinda house music for dancing. Curious, I tried to use Google translate to know their conversation. 6 people speaking to each other at the same time made Google translate gave up. But at least I could get little whats they were talking about, asking and answering little questions. Not bad.

3 jam berlalu, 4 loyang pizza tinggal bersisa sepotong, tapi mereka masih juga minum. Sekarang ganti campuran whiskey, cola dan jeruk nipis. Jangan tanyakan gimana rasanya, aku juga pingin tau. Hehehehe…

Landscape sekitar rumah Philipp

Pesta pun berlanjut sampe malam, aku pamit tidur jam 9, di lantai bawah masih terdengar music keras dan tawa mereka sampai jam 11-an. Yang bikin surprise paginya mereka bangun lebih awal dari aku, dengan wajah fresh tanpa sisa pesta semalam. Konon katanya, setelah mabuk itu bisa bikin pusing keesokannya.

I excused myself to sleep at 9PM. Downstairs were still loud of music and their laughter until almost midnight. Was surprised to know at the morning after, they woke up earlier than me, with a fresh face. It was said that after drinking it can make dizzy the next day. Maybe, alcohol worked differently to Polish.

Penasaran aku bertanya pada Carolina (tentu saja dengan Google translate) berapa banyak dia bisa minum Vodka, dia bilang normalnya per orang bisa minum 2 botol. Dia bilang, pesta semalam cuma main-main aja, bukan pesta beneran. Holaaaaa..??? minum 2 botal air putih saja bisa mabuk mah aku. Aje gile….

Curiously i ask to Carolina (of course with Google translate) how much she could drink Vodka. She said normally per person could drink 2 bottles. For me even bottle of water could get me drunk. As a Muslim, alcohol is kinda… mysterious liquid for me.

Lukas and the gang bekerja di kebun Apel milik Philipp beberapa bulan dalam setahun, biasanya hanya untuk musim panen. Orang Swiss lebih memilih memperkerjakan tetangga sebelah karena gaji untuk pekerja dari negara lain lebih murah. Lebih murah itupun masih jauh lebih tinggi dari standard gaji negara lain. Lea, gadis penggembala dari Jerman yang aku temui di Interlaken bilang kalau di Swiss dia bisa mendapat gaji 20-30% lebih tinggi. 

Lukas and the gang work in Philipp’s Apple garden several months a year, usually only for the harvest season. Swiss people prefer to employ their next door neighbors because of the salary can be lower, but even the lower salary are still far higher than the standard salary of other countries. Lea, the shepherd girl from Germany that I met in Interlaken said that in Switzerland she could get a 20-30% higher.

Bersambung

FRENCH DAILY TABLE MANNER : TEORI VS FAKTA

21 September 2018 adalah ulang tahun Cassion, putra pertama Host WWOOF ku di Perancis. Waktu itu adalah hari ke-3 ku di keluarga ini. Vincent dan Cecile sendiri tidak mengadakan acara apa-apa. Tidak ada acara tiup lilin juga. Kami hanya pergi ke taman kota untuk mengajak Cassion bermain.

taken from wikimedia.org

Keesokan harinya, Vincent bilang ayahnya mengadakan acara makan siang bersama untuk merayakan ulang tahun Cassion. Akupun diundang. 

Ayah Vincent tinggal bersama istrinya (Ibu tiri Vincent) di sebuah apartemen tepat di pusat kota Ales. Bangunan apartment berlantai 5 itu biasa saja dari luar namun ternyata di dalamnya keren banget. Lebih karena pemilik rumah berselera tinggi. Perabot serba putih bersih bersinar seperti di iklan obat pel. Jadi sungkan menginjak lantainya. Berbeda 180 derajat dengan kondisi rumah Vincent. Pantas saja Cecile pernah cerita kalau mertuanya berkunjung, dia mesti bersiap membereskan rumah minimal seminggu sebelumnya. Itupun kadang masih juga dikomentari kalau ada benih selada jatuh ke lantai, bisa tumbuh subur. Ternyata, “semonan”semacam itu ada juga di sono .😝Pada bae!!!

Makan siang itu dihadiri 6 orang, seorang saudara perempuan tiri Vincent yang juga hadir. Meskipun mereka tidak bisa berbahasa Inggris dengan lancar, kami bisa juga ngobrol lumayan seru. Seru-seru lucu karena sering salah paham. Mereka sangat ramah.

Acara makan itu dimulai dengan makanan pembuka yang berupa semacam bunga rebus. Ternyata namanya adalah Artichoke. Artichoke termasuk golongan sayuran yang merupakan tunas bunga Thistle. Bunga ini dipanen sebelum mekar jadi masih berupa kuncup bunga dengan kelopak berlapis-lapis. Cara makannya dengan mengambil bagian kelopak terluar. Bisa langsung dimakan atau dengan saus cuka. Rasanya, seperti daun. 😆. Bagian yang agak berlemak berasa seperti kentang atau ubi. Artichoke ternyata memiliki banyak khasiat, diantaranya untuk pencernaan, hati dan empedu.

Taken from wikipedia.org

Makanan utama yang dimasak hari itu sebenarnya berbahan babi, tapi dengan baik hati mereka menyiapkan makanan khusus untukku yaitu steak daging sapi muda yang juicy banget. Simple hanya dimasak dengan butter dan dibumbui garam merica. (Pingin moto, tapi sungkan).

Setelah makanan utama, menu selanjutnya adalah pencuci mulut berupa manisan buah peach yang rasanya asam agak pahit. Ternyata, masih juga ada makanan penutup lain berupa roti dan keju. Iya, mereka makan keju sebagai dessert. Keju nya jenis keju kambing yang cukup keras. Jadi, aku memilih tidak mencicipi.

Awalnya aku tidak PD ikut jamuan makan itu. Mitosnya table manner ala Prancis itu rempong. Penuh tata krama, sopan santun, kaku etc. Ternyata, pada praktek keseharian, tidak sama sekali. Mungkin iya, jika dilakukan di hotel mewah dalam acara formal. Acara makan siang itu biasa saja, akrab dan tidak cantik sama sekali. Normal seperti acara makan keluarga disini dengan cukup berantakan.

Setelah makan siang, semua ngobrol yang sepertinya membahas Cassion. Menurut Cecile, peraturan no.1 di meja makan keluarga Prancis adalah dilarang membahas politik. Topik yang paling aman adalah membahas makanan. Rupanya, Cecile sedang ada meeting, karena kantornya hanya beberapa puluh meter dari apartement ini, setelah selesai meeting dia menyusul.

Mereka ngobrol yang tak aku pahami 15 menitan, kemudian keluarlah blueberry cheese cake buatan ibu tiri Vincent dan beberapa jenis minuman beralkohol. Mereka bersulang untuk Cassion. Aku minum sirup kayu manis. Lucunya, pas setelah kue habis, Vincent langsung pamit. Tidak ada acara bantu cuci piring atau ngelap meja. Sungkan juga rasanya cuman datang, makan terus langsung pulang. Namun kata Cecile memang begitulah kebiasaan mereka.

Oiya, tentang mengucapkan kata “Bon Appetit”. Kalau di Perancis, bukanlah sebuah kebiasaan yang harus. Mereka mengucapkannya sebelum makan tetapi tidak selalu. Sementara di Swiss, mengucapkan “Bon Appetit” adalah sebuah sopan-santun. Ucapan ini lebih semacam menghormati orang yang sedang makan. Bahkan saat aku membuka bekalku di bangku taman, orang yang lewat di depanku mengucapkan “Bon Appetit”. 

WWOOF TRIP FRANCE : LADANG SAYUR ORGANIK DI BAGARD

Tujuan WWOOF ku selanjutnya adalah ladang sayur organik di Bagard, Perancis. 

Bagard adalah komune, semacam desa kecil di Departemen Gard, Occitanie, Prancis Selatan. Perjalanan dari Swiss lumayan panjang penuh cerita, termasuk drama ngemper dini hari di pinggiran stasiun Lyon. Kala itu aku menggunakan Flixbus dari Interlaken-Milan-Lyon-Nimes-Ales-Bagard. Perjalanan hampir 24 jam dengan 2 kali transit di Milan dan Lyon. Sekali lagi, atas nama penghematan budget.

Untuk alternatif transportasi yang lebih murah di Eropa, bus memang pilihan terbaik. Yang pernah aku coba adalah Flixbus dan Eurolines. Rute bus hampir menjangkau seluruh wilayah Eropa, antar kota, antar negara. Tiket bisa dipesan online, kita hanya perlu menunjukkan code QR untuk di-scan saat naik. Tersedia aplikasinya untuk di-download. 

Bus memang lebih murah, namun kurang ramah lingkungan. Sebagai kompensasi terhadap emisi CO2 yang dihasilkan oleh penggunaan bus, Flixbus mengenakan biaya tambahan sekitar 0,57Euro yang sifatnya optional. Hanya sekitar Rp. 10.000 kok.

Bus dari Lyon, hanya sampai di Nimes, aku harus menggunakan kereta untuk menuju Ales. Ternyata, bus central Nimes dan stasiun kereta agak berjauhan, sekitar 3Km. Karena tidak ada wifii aku tidak bisa menggunakan Google Map. 

Saat itu di terminal bus sangat sepi, hanya ada seorang bapak-bapak yang baru turun dari mobilnya. Aku sok akrab menyapa untuk bertanya rute jalan kaki ke stasiun. Sang Bapak kemudian membuka Google Map dan berusaha menjelaskan padaku dengan bahasa Inggris logat Prancis. Namun kemudian dia malah mengajakku naik mobil. Beliau mengantarku ke stasiun. Kesan pertama yang sangat manis di Nimes.

Aku sudah memesan tiket kereta ke Ales melalui internet. Nimes-Ales hanya 30 menit tiket seharga 5Euro. Harga tiket selalu berubah-ubah, kurang tau kenapa. Pas rute balik aku dapat tiket seharga 9Euro. Aku sudah mengirim SMS ke hostku, Vincent yang akan menjemputku di Stasiun Ales. 

Sampai di Ales jam 2 siang, namun aku tak melihat seorang lelaki dengan ciri-ciri yang disampaikan Vincent. Menunggu 15 menit, 30 menit, aku mulai khawatir jika ada yang salah. Namun kemudian sebuah mobil Van kuning (Van Kuning DHL) berhenti di parkiran stasiun. Seorang lelaki usia 40an turun dan berjalan ke arahku. Kami bersalaman, ngobrol sebentar, kemudian Vincent membantuku memaruh barang bawaan di mobil.

Dari stasiun Ales ke Bagard, rumah Vincent hanya sekitar 20 menit. Bentang alam Bagard berupa bukit dengan tumbuhan perdu. Berasa kaya di Mesir atau Arab. Banyak ladang Zaitun dan Anggur. Saat itu musim gugur, namun matahari masih terik, suhu masih sekitar 30an Celcius. Panas. Wilayah ini masuk area taman nasional Cavannes.

Vincent adalah seorang petani sayuran organik. Dia awalnya adalah seorang Quality Control Staff di perusahaan Farmasi di Montpellier, dengan latar belakang pendidikan medis dan farmasi. Dia memutuskan berhenti setelah 8 tahun bekerja. Tahun 2018 kemarin adalah tahun ke-9 nya menjadi petani setelah resign. Vincent tinggal bersama Cecile, pasangannya. Vincent memperkenalkan Cecile dengan penekanan sebagai partner, bukan Istri karena mereka tidak menikah. Pas setahun lalu, putra pertama mereka lahir. Namanya Cassion.

Cecile adalah seorang wanita karir yang sangat ramah dan cerdas. Dia memiliki latar belakang pendidikan ilmu komunikasi, sastra dan bahasa Arab. Cecile bekerja di kantor komune, semacam kantor kecamatan atau kantor desa. Tugasnya mengurusi isu sosial dan mengajukan proposal untuk pembangunan komune. Karena itu dia sering bertemu pejabat pemerintah dan sangat peka terhadap isu sosial politik. Ngobrol dengan Cecile tentang apa saja adalah bagian yang paling aku nikmati saat menjadi WWOOFer disini. 

Kebun organik Vincent memproduksi kentang, bit, wortel, tomat, berbagai jenis selada, bawang bombay berbagai jenis, labu, semangka, melon, paprika, terong. Hasil panen dijual di toko khusus produk organik dan juga melalui order online.

Aku tinggal di keluarga ini selama 7 hari, dengan 2 hari libur. Sabtu Minggu kebun tutup. Pekerjaan yang aku lakukan antara lain panen tomat, panen paprika, panen bit, menanam selada, memilah bawang bombay untuk dijual dan membersihkan labu panen bulan lalu yang berdebu. Jam kerja lumayan pendek, dari jam 8-12 setelah makan siang aku bebas mau ngapain aja. 

Keluarga kecil itu normal seperti keluarga-keluarga kecil disini. Aku tidak merasakan culture shock yang cukup berarti. Yang unik justru tentang posisi Vincent sebagai suami yang lebih banyak mengurusi pekerjaan rumah dari pada sang istri. Memasak, laundry, beres-beres maupun momong sepertinya sudah diambil alih Vincent. Awalnya itu adalah pemandangan yang aneh bagiku, melihat suami masak sementara istri ngobrol, terus pas anak kebangun juga suami yang nyamperin duluan. Tapi bagi Vincent sendiri, itu hal biasa dan tidak ada yang aneh.

Senang melihat pasangan ini yang saling support. Vincent bilang, Cecile sangat mendukung karirnya sebagai petani organik. Di tahun pertama menjadi petani, Vincent hanya memperoleh penghasilan sekitar 1000Euro (17 juta-an, selama setahun). Namun Cecile dan keluarga Vincent terus mendukungnya baik secara moral maupun financial, hingga sekarang dia cukup sukses dengan penghasilan cukup. 

Cassion adalah bayi lucu dengan mata teduh. Sadar diri tak punya pengalaman momong bayi, aku awalnya takut main dengan Cassion. Dia baru belajar berjalan saat itu. Namun ternyata, pas pertama ketemu dia langsung nyaman bersamaku. Waktu itu Cassion sedang menangis karena kepentok pintu. Ditenangkan oleh ayahnya gagal, namun pas aku coba menyapa dia langsung diam dan minta gendong. 

Rutinitas keluarga kecil itu dimulai jam 7 pagi, Vincent bangun lebih dulu kemudian menyiapkan sarapan. Setelah selesai sarapan kemudian menyiapkan keperluan Cassion untuk dititipkan ke nanny. Susu, makanan bayi dan baju. Disaat Vincent menyiapkan barang-barang Cassion, aku dan Cecile masih asyik sarapan sambil ngobrol. Jam 8 pagi, Cecile membawa Cassion bersamanya untuk dititipkan, karena kantor Cecil dekat dengan rumah nanny. Sementara Vincent mulai pergi ke kebun. 

Jam makan siang di Perancis adalah jam 12-2 siang. Di jam itu rata-rata toko atau kantor tutup. Biasanya Vincent menyiapakan makan siang jam 1 siang. Jam 5 sore, tugas menjemput Cassion adalah bagian Vincent. Sampai di rumah, Cassion punya waktu 2-3 jam untuk main sekaligus makan malam. Semua mainanya adalah mainan edukatif dari bahan organik

Vincent biasanya mengawasi Cassion bermain sambil menyiapkan makan malam. Berhubung nyambi momong, sering kali jam makan malam molor sampai jam 10. Krucuk krucuk.

Di keluarga ini aku lebih banyak belajar tentang ilmu rumah tangga dari pada ilmu pertanian. Ternyata tidak peduli kewarganegaraan, masalah keluarga masih sama saja. Suatu malam, aku menyaksikan mereka bertengkar. Saat itu seharusnya jam makan malam. Vincent sudah masak, makanan siap di meja. Aku sudah kelaparan tingkat akut, tapi sang tuan rumah sedang bertengkar di kamar mereka. Terjebak pada moment seperti itu rasanya sedih sekaligus konyol. Sampai jam 11 malam, pertengkaran mereka belum selesai, karena makin tidak nyaman dan ngantuk, aku memilih tidur. Sempat parno juga kalau-kalau pertengkaran itu jadi berlanjut ke KDRT saking serunya. Alhamdulillah, enggak. Keesokan harinya mereka sudah berbaikan bahkan meminta maaf padaku atas kejadian semalam. Lega,  

Di hari terakhirku bersama keluarga ini Cecile mengajakku mengunjungi sebuah desa cantik bernama Anduze yang ternyata hanya 15 menit dengan mobil dari rumah. Desa ini benar-benar indah dan memang menjadi tujuan wisata yang masuk wilayah taman nasional Cevennez. Disana banyak hotel dan restoran. OK, wish list untuk honeymoon

Taken from Flickr by Mantis of Destiny

Keluarga Vincent sangat ramah dan openminded, bahkan aku juga dikenalkan pada Ayah dan Ibu tirinya, sempat diundang makan siang bareng juga. Cecile adalah teman curhat yang menyenangkan dan bijak. Yang paling bikin kangen tentu saja senyum dan kecupan Cassion.

WWOOF TRIP JAPAN : KEBUN JERUK DI WAKAYAMA

Ini merupakan trip WWOOF ku yang pertama.

Request WWOOF ku disambut dengan sangat cepat dan ramah oleh Hiro San di Ibe Farm, kebun jeruk organik Keluarga Ibe di Prefecture Wakayama, Kansai Jepang. Dari Bandara Kansai sekitar 1 jam dengan mobil, saat itu aku dijemput oleh Hiro san dan istrinya di bandara Kansai. Kesan pertama yang sangat manis.

Keluarga Ibe terdiri dari Hiro San, Sachi-San istrinya dan Obaa-Chan. Obaa-Chan adalah Ibu Hiro San, sekaligus pemilik Ibe farm secara turun temurun. Saat itu, usia beliau sekitar 85 tahun, namun masih sehat dan kuat melakukan pekerjaan ringan.

Akomodasi bagi WWOOF yang mereka sediakan adalah kamar di lantai 2 rumah Obaa-Chan yang baru selesai direnovasi. Rumah bergaya Jepang Modern, material didominasi kayu dengan fasilitas modern. Full Wifii, Bathtub plus kursi pijat punya Obaa-chan yang sering dipinjamkan untukku. Aku akan tinggal bersama keluarga ini selama 7 hari.

Kala itu, awal Maret 2018, sedang peralihan musim dingin ke musim semi. Jeruk-jeruk sedang ranum-ranumnya. Aku sangat beruntung, pengalaman pertama WWOOF sendiri, dapat Host yang super baik, akomodasi yang super nyaman, dan makanan enak plus halal. Pekerjaan pun sangat simple, cuman petik jeruk.

Sesaat setelah sampai rumah, aku diberi semacam jadwal oleh Hiro San, Orang Jepang memang super disiplin.

  • 07:00 pagi sarapan, self service, ada roti dan susu
  • 07:30 mulai bekerja
  • 09:30 Coffee Break
  • 10:00-12:00 Kembali bekerja
  • 12:00-13:00 Makan siang dan istirahat. Setelahnya bebas

Setelah memberi briefing tentang jadwalku, Hiro San dan Sachi San menunjukkan kamarku, dan menjelaskan secara singkat tentang isi rumah. Kemudian memberiku APD (Alat Pengaman Diri) untuk bekerja yang terdiri dari sepatu boots, jaket dan celana anti air, sarung tangan, dan topi pelindung. Orang Jepang itu memang luar biasa. Budaya safety mendarah daging diterapkan sampai ke level-level paling sederhana dalam keseharian mereka. Salut!

Pagi pertama hari itu, aku diajari cara memetik jeruk. Cukup memotong tangkainya dengan gunting, masukkan ke keranjang pelan pelan agar tidak rusak. Sesimple itu. Kebun jeruk Ibe, berdekatan dengan kebun-kebun jeruk warga lain yang sebagian besar masih menggunakan obat-obatan. Oleh karena itu, yang murni organik hanya pohon-pohon yang berada di tengah kebun. Jeruk-jeruk itu dipisahkan dengan yang kemungkinan terpapar obat-obatan dari kebun sebelah. Kejujuran Jepang memang jaminan mutu.

Yang paling berkesan dari keluarga Ibe adalah keramahan, kehangatan dan makanan masakan Sachi-San yang luar biasa. Bukan Sushi atau ramen. A lot more than that. Sebelumnya, mereka sudah mengetahui kalau aku Muslim, jadi tidak menyajikan babi. Terharu. Coba tengok menu makananku selama disana:

Di keluarga ini, aku lebih banyak membantu makan dari pada membantu metik jeruk. Seriusan, kenyang, sehat, sejahtera.

Hiro San bilang, sangat senang ada WWOOFer yang mau mengunjungi kebunnya. Selain membantu pekerjaannya, juga untuk menemani Obaa-Chan, menjalin persaudaraan dan berbagi ilmu. Masalah klasik di Jepang, banyak lansia yang kesepian.

Dapur idaman

Wakayama adalah salah satu prefektur penghasil Jeruk terbesar di Jepang. Di sini, semua rumah punya pohon jeruk, kebun, gunung-gunung juga penuh tanaman jeruk. Di Ibe Farm sendiri, selain untuk buah segar, jeruk diolah menjadi jus dan selai. Aku mendapat pelajaran membuat selai dari Sachi-san, hasilnya diberikan padaku sebagai oleh-oleh. Baik sekali kan….

Selai Jeruk buatan Sachi San

Oktober 2019 kemarin, aku mendapat kabar bahwa Obaa-Chan telah berpulang. Aku masih ingat betapa baik beliau. Meminjamiku kursi pijatnya, meminjamkan jaketnya karena kuatir aku kedinginan. Senyum dan kehangatan sikapnya akan selalu hidup dalam kenanganku. Meskipun terbatas bahasa, kami masih bisa ngobrol dan tertawa bersama.

Terima kasih keluarga Ibe, pengalaman pertama WWOOF yang sangat melekat dalam hati. Mereka bener-benar menunjukan keaslian keramah-tamahan Jepang. Omotenashi. Bagi kalian yang baru mau nyobain #WWOOFJapan aku sangat merekomendasikan keluarga ini.