Memiliki teman orang lokal di tempat asing itu selalu menjadi nilai plus. Guide lokal yang lebih tau dimana menemukan sesuatu yang unik. 3 tahun lalu aku kenal seorang penpal yang berdomisili di Toulouse, Perancis. Aku memanggilnya Q. Kami sering berkirim kartu pos dan kado-kado kecil. Saat aku memulai trip WWOOF ke Eropa, mengunjungi Q adalah salah satu agenda utama.
3 tahun lalu saat pertama kenal, Q sedang menabung untuk membeli sebuah campar van, karena dia suka camping dan night photography. Saat itu aku mendoakan semoga van impiannya segera terwujud dan dia berjanji jika aku ke Perancis, dia akan mengajakku camping dengan mobilnya.
Siapa sangka, guyonan itu jadi kenyataan. Setahun lalu, aku benar-benar diajaknya camping dengan mobil van-nya di pegunungan Pyrenees sesuai janjinya.
Kami berangkat Jum’ at sore. Hari itu cerah menyenangkan. Kami perlu waktu sekitar 3 jam untuk sampai di gunung. Tiba pas menjelang senja karena sengaja mampir-mampir untuk jajan.
Untuk makan malam, Q masak bebek goreng crispy yang rasanya seenak Bebek Slamet. Serius seenak itu. Kalah sambel aja. Ini adalah bebek kalengan yang digoreng dengan lemaknya.
Malam itu langit lumayan cerah, bahkan nampak milky way, tapi karena sangat dingin, aku memilih mendekam di dalam mobil.
Keesokan paginya, kami turun gunung menuju sebuah desa kecil cantik yang bernama Saint Girons. Disini, pas Sabtu pagi ada pasar kaget yang menjual produk lokal, utamanya keju, aneka sayur mayur dan beragam jajanan enak. Kami jajan pie apel, grilled chicken, melon dan tentu saja keju.
Setelah kenyang jajan, kami selanjutnya menuju ke tujuan utama yaitu BENTENG CARCASSONNE (Château et remparts de Carcassonne). Carcassonne adalah sebuah kota sekitar 90 km dari Toulouse, Perancis Selatan. Benteng ini adalah situs budaya UNESCO. Bangunannya seluas 2,5 km, berbentuk segi empat, dan memiliki 53 menara pengawas. Merupakan benteng terbesar di Eropa peninggalan abad pertengahan (medieval) .
Untuk masuk area benteng, tidak dikenakan biaya masuk, di dalam ada beragam cafe dan toko souvenir. Tempat parkir di luar cukup luas, namun lumayan penuh.
Kami meninggalkan Carcassonne menjelang sore, mampir sekalian di pusat kota Toulouse karena besok aku sudah harus menuju Paris.
Toulouse adalah markas besar Boeing. Kota ini dijuluki “kota Pink” karena pusat kotanya didominasi batu bata yang melukis kota dengan warna pink. Pusat kota lumayan rame, pusat perbelanjaan lengkap dengan beragam cafe tempat nongkrong.
3 hari di Toulouse bersama Q berakhir di Minggu sore. Q mengantarku ke stasiun untuk melanjutkan perjalanan menuju Paris dengan Flix Bus.
Meskipun ini pertemuan pertama, kami seakrab saat online. Ya, berteman di dunia maya memang tidak selalu jadi cerita indah. Oleh karena itu, sebelum memutuskan menginap di tempat Q, aku telah menjelaskan dan memastikan dia menerima dan menghormati batasan-batasanku sebagai Muslim. Aku juga meminta poto ID card nya untuk data pribadiku.
Sebelum memulai solo tripku ke Eropa, aku memberikan semua jadwal perjalanan, alamat semua hotel dan host serta detail data orang-orang yang rencananya aku temui kepada teman baikku di Jakarta. Setidaknya, jika terjadi sesuatu padaku, ada orang terdekat yang tau kemana harus mencari informasi.
Pertanyaan paling populer soal solo traveling selain kesepian adalah keamanan. Ini adalah pertanyaan tak terjawab, karena aku percaya tidak ada tempat di bumi ini yang totally safe. Jangankan pas jalan-jalan ke tempat asing, di rumah kita sendiri saja selalu ada kemungkinan bahaya. Jadi, selalu berhati-hati adalah kuncinya.
Membahas tentang situasi-situasi yang agak berbahaya selama solo traveling, aku punya beberapa pengalaman ngemper di beberapa tempat. Istilah ngemper ini mengacu pada upaya penghematan dengan tidak menginap di hostel tetapi dengan menghabiskan malam di tempat umum.
Pengalaman pertama ngemper international adalah di Changi. Waktu itu bareng teman, bertiga jadi aman-aman saja. Ngemper ke dua di Narita, waktu itu pas dari Sapporo balik ke Tokyo dengan flight malam. Beruntung ada teman mahasiswa Malaysia jadi ga sendirian. Waktu itu pas musim dingin. Aku dapat kursi di depan pintu masuk. Jadilah pas pintu terbuka langsung diserang dingin. Brrrrr….
Berbekal 2 pengalaman ngemper international di atas, aku sudah meniatkan acara ngemper di trip Swiss-Perancis kali ini.
Pertama, ngemper dini hari di jalanan Lyon
Yes, literally jalanan. Ceritanya aku dalam perjalanan ke Ales (Perancis) dari Interlaken (Swiss) menggunakan Flix Bus. Perjalanan itu lumayan panjang dengan 2 kali transit. Milan (Itali)- Lyon baru Nimes, stasiun terdekat dengan Ales. Interlaken-Milan hanya sekitar 5 jam, aku sampai di Milan sekitar jam 2 siang, perjalanan selanjutnya Milan-Lyon, sekitar 7 jam. Transit di Milan sekitar 4 jam.
Berangkat jam 6 sore dari Milan, prediksi sampai di Lyon jam 1 an dini hari. Karena trip selanjutnya Lyon ke Nimes jam 8 pagi, jadi aku sengaja tidak booking hotel, for the sake of penghematan aku niatkan bermalam di stasiun, dengan prasangka positif di Eropa pasti stasiun buka 24 jam, ataupun kalau tidak pasti ada halte yang layak untuk ngemper.
Perjalanan kami delay 1 jam karena pada saat pemeriksaan document di perbatasan Itali ke Perancis, ada seorang penumpang, cowok muda yang pas duduk depan bangkuku, tak memiliki document lengkap sehingga Polisi perbatasan Itali menahan bus kami. Setelah sejam dia dibawa ke kantor polisi dan tidak juga kembali, perjalananpun dilanjutkan. Sang cowokpun tertahan di perbatasan. Semoga dia baik baik saja.
Jam 2 malam, driver menyampaikan lewat pengeras suara kalau kami telah sampai di Lyon. Oh no, ternyata station Lyon hanya dibuka sampai jam 12 malam, sehingga bus hanya menurunkan penumpang di jalanan depan stasiun. Disana, tidak ada bangku, tidak ada halte bus, hanya ada seperator jalan dengan trotoar. Angin sepoi-sepoi menambah dingin udara, Alhamdulillah tidak hujan meski langit mendung.
Aku dengan menenteng 2 backpack dan sebuah tas tangan, ndoprok di pinggiran jalan sendirian. Hmm, enggak sendirian juga sih, ada beberapa pria, yang juga sepertinya turun berbarengan denganku dan beberapa orang yang sepertinya menunggu bus, berdiri di pinggir jalan, ada yang ngobrol ada yang sedang merokok.
Udara makin dingin, beberapa orang telah naik bus yang mereka tunggu, menyisakan aku dan makin sedikit orang di jalanan itu. Tengok kanan kiri, di belakangku ternyata adalah sebuah restaurant dengan beberapa bangku di teras. Aku terpikir untuk berpindah duduk disana, namun enggan jika ternyata ada security dan kemudian aku diusir. Pengalaman diusir dari teras di resto Lyon bukan pengalaman indah yang bisa diceritakan pas pulang nanti, kan?
Beberapa saat kemudian ada 2 orang lelaki duduk disana. Akupun latah mengikuti mereka. Ternyata sudah ada beberapa orang yang tiduran di bangku pojok. Semua laki-laki. Horor, iyess.
Temanku yang asli Prancis sudah wanti-wanti agar aku hati-hati karena di setiap pinggiran stasiun adalah lokasi lokalisasi, tempat anak jalanan suka minum-minum dan sering kali jadi tempat transaksi narkoba. Iya, pas sebelah restoran ini adalah sebuah warung sex toys. Uhlalaaaaa… warna catnya pink dengan lampu neon kelap-kelip ungu.
Masih jam 3, aku mencoba tidur di kursi, sambil memeluk harta bendaku, berselimut jaket dan berdzikir dalam hati. Aku terbangun saat seseorang menepuk punggungku, dia bilang stasiun sudah buka.
Station Lyon ternyata cukup gede, saat itu sudah ada beberapa bus yang mulai beroperasi tapi kereta pertama baru akan mulai jalan jam 5:30. Aku menemukan bangku di sebelah vanding machine depan pintu utama, ah ada sinyal wifi. Senangnya,
Sayang sekali, mampir di Lyon hanya untuk numpang tidur beberapa jam, di jalanan pula. Lain kali aku ingin balik ke sini, booking hotel minimal bintang 3 lah ya (Balas dendam). Bersyukur melewatkan malam dengan aman meski ga nyaman di pinggir jalan station Lyon. Cukup sekali saja.
Next, Ngemper di Bus Central Strasbourg
Ternyata pengalaman ngemper di Lyon ga bikin aku jera, malah makin berani.
Kali ini adalah perjalanan pendek, masih dengan Flix Bus, dari Strasbourg ke Bern untuk WWOOFing ke 3. Perjalanan cuman 3 jam, tapi dimulai jam 3 pagi. Sudah aku niatkan untuk jalan kaki dari hotel ke terminal, toh cuman 30 menit, sekalian mampir masjid gede Strasbourg untuk sholat Magrib dan Isya. Akupun berjalan kaki sambil mengeret-geret koper dan menggendong ransel.
Karena ga pingin jalan dalam kegelapan nan sepi, aku memilih berangkat lebih awal, tepatnya sampe stasiun masih jam 9an, jadilah ngemper hampir 6 jam. Padahal naik trem cuman 2 Euro lo, tapi aku milih jalan kaki😝
Terminal Bus Strasbourg cukup nyaman, ada bangku dan penerangan cukup, relatif ramai. Hampir tiap 15 menit ada saja bus datang yang sharing wifi sebentar-sebentar. Lumayanlah, cukup buat chating ngusir bosan.
Saat itu aku duduk di bangku depan sebuah pusat informasi yang seatap dengan toilet umum, yang baru aku sadari sebenarnya adalah Smoking Area. Aku baru ngeh pas kali ke tiga ditanyai soal korek api. Sempat heran, kenapa mau pinjam korek ke aku? Pas noleh belakang baru ngeh tulisan Smoking Area.
Karena tidak mau disapa orang buat minjam korek lagi, aku pindah duduk di area bangku taman. Berhubung area terbuka… werrrrrrrr…. saat angin semriwing datang, dinginnya sampai ke tulang. Bersyukur malam itu cerah, bintang kelap kelip di langit dan busku pun datang on-time. Ngemper di Strasbourg bukanlah cerita horor.
Kali ini di Stasiun Central Zurich, Zurich HB
Masih ada cerita ngemper selanjutnya. Kali ini di Stasiun Central Zurich, Zurich HB, sehari sebelum balik ke Jakarta. Apalagi kalau bukan untuk alasan penghematan. Berhubung sudah kenal stasiun ini, maka aku relatif PD (apalagi berpengalaman di 2 lokasi ngemper sebelumnya).
Setelah puas keliling kota Bern, jam 8 sore aku naik bus menuju Zurich, cuman sejam. Awalnya mo nyari tumpangan di Couchsurfing, udah dapat 2 host, tapi akhirnya aku memutuskan ngemper di stasiun saja. Dari jam 9 malam aku mulai nongkrong di Zurich HB, baca buku, chatting, update instastory sampai kelaparan akhirnya ngantuk juga. Sekitar jam 1 malam aku rebahan di bangku panjang depan tempat ibadah. Bangku itu cukup panjang untuk 2 orang. Di bangku itu sudah ada seorang ibu-ibu yang yang rebahan juga. Beliau tersenyum ramah, tapi kami tak sempat ngobrol.
Aku terbangun tiba-tiba karena mimpi aneh, lupa mimpi apa, tapi pas aku membuka mata, aku melihat sebuah tangan mencoba membuka resleting tas kecilku yang aku taruh diantara dinding dan tubuhku (seingatku semalam aku memeluk tas itu). Reflek aku mendongak dan ternyata ada 2 orang pria sedang duduk di sebelahku, reflek aku senyum ke arah mereka. Sang Ibu ternyata sudah bangun. Aku masih setengah sadar atau mengigau, saat melihat jam tangan masih jam 4 pagi. Aku menutup kembali resleting tasku, terus balik tidur lagi. Tak lama kemudian, aku terbangun lagi, dan masih sama, aku melihat sebuah tangan berusaha membuka resleting tasku. Kali ini aku baru sadar ada bahaya. Duh… Lola banget. Masih 2 orang tadi, namun mereka lekas beranjak pas aku benar-benar bangun.
Lagi-lagi bersyukur, tak ada barang hilang, isinya memang bukan uang sih, tapi barang-barang kecil, souvenir dan PASPOR!!!! Hadew, tinggal di Swiss memang menyenangkan. Tapi kalau berlama-lamaan disini gara-gara paspor ilang??? Amit-amit…. jangan sampai kejadian ya Allah….
Eh, masih ada lagi cerita ngemper…. well ini beneran yang terakhir !!!
Hari ini adalah hari terakhirku di Swiss, besok jadwal balik ke Jakarta. Rencana hari ini adalah numpang gosok gigi di toilet yang bayar 1,8Euro, nitipin tas di loker selama 10 jam, keliling kota Zurich kemudian ngemper di Bandara. Karena agak parno ngemper di stasiun lagi, aku memilih ngemper di bandara malam ini. Pertimbangan pertama adalah karena bandara pastinya lebih rame, 24 jam, lebih aman dan lebih mudah nyari toilet (gratis).
Jam 10 malam aku naik kereta ke bandara, cuman sekitar 20 menitan. Saat itu situasi ramai seperti bandara sewajarnya.
Akupun hunting posisi PW untuk tidur. Sempat tertidur sejam, aku terbangun sekitar jam 12 malam and bengong karena saat itu tidak ada lagi orang di sekitarku yang awalnya lumayan rame. Hanya ada sekitar 3-4 orang di bangku seberang. Well, dan keadaanpun semakin malam semakin sepi. Karena penasaran, aku mencoba keliling, mengharap situasi berbeda di sudut lain, but… di bandara segede itu beneran hampir tidak ada orang. Semua counter Duty Free, toko tutup. Entah jika ada area yang buka 24 jam di sebuah sudut yang tak terjamah.
Setelah muter-muter ga jelas dengan rasa khawatir ketemu satpam terus diusir, aku menemukan 2 orang sedang tertidur di bangku dekat counter check in. Aku pun ikut ikutan buka lapak disana. Kelelahan, akhirnya tertidur pulas, baru terbangun jam 6 pagi. Saat itu, bandara Zurich-pun normal lagi. Penting banget untuk cari tau dulu jam operasional tempat-tempat umum macam bandara atau stasiun. Ok, catet. Lesson to learn!! Merasakan bandara Zurich serasa milik sendiri semalaman adalah pengalaman yang tidak ingin aku ulangi.
Well, jujur, ngemper di tempat umum bukan pengalaman yang menyenangkan. Meski selalu ada sensasi puas pas melewati saat-saat genting (plus menyelamatkan budget), namun sebaiknya keamanan tetep jadi prioritas utama dimanapun berada. Kalaupun pingin nyobain pengalaman ngemper di tempat umum, sebaiknya survey tempatnya dulu, siapin bekal makan minum cukup, download film secukupnya atau bawa buku bacaan. Biar jadi ngemper rasa piknik.
Sering banget dapat komen, “Jalan-jalan ga ngajak-ngajak sih?”, “lain kali ajakin aku jalan bareng ya,..”. Setelah baca cerita ini, masih mau ikutan??
Tujuan WWOOF ku selanjutnya adalah ladang sayur organik di Bagard, Perancis.
Bagard adalah komune, semacam desa kecil di Departemen Gard, Occitanie, Prancis Selatan. Perjalanan dari Swiss lumayan panjang penuh cerita, termasuk drama ngemper dini hari di pinggiran stasiun Lyon. Kala itu aku menggunakan Flixbus dari Interlaken-Milan-Lyon-Nimes-Ales-Bagard. Perjalanan hampir 24 jam dengan 2 kali transit di Milan dan Lyon. Sekali lagi, atas nama penghematan budget.
Untuk alternatif transportasi yang lebih murah di Eropa, bus memang pilihan terbaik. Yang pernah aku coba adalah Flixbus dan Eurolines. Rute bus hampir menjangkau seluruh wilayah Eropa, antar kota, antar negara. Tiket bisa dipesan online, kita hanya perlu menunjukkan code QR untuk di-scan saat naik. Tersedia aplikasinya untuk di-download.
Bus memang lebih murah, namun kurang ramah lingkungan. Sebagai kompensasi terhadap emisi CO2 yang dihasilkan oleh penggunaan bus, Flixbus mengenakan biaya tambahan sekitar 0,57Euro yang sifatnya optional. Hanya sekitar Rp. 10.000 kok.
Bus dari Lyon, hanya sampai di Nimes, aku harus menggunakan kereta untuk menuju Ales. Ternyata, bus central Nimes dan stasiun kereta agak berjauhan, sekitar 3Km. Karena tidak ada wifii aku tidak bisa menggunakan Google Map.
Saat itu di terminal bus sangat sepi, hanya ada seorang bapak-bapak yang baru turun dari mobilnya. Aku sok akrab menyapa untuk bertanya rute jalan kaki ke stasiun. Sang Bapak kemudian membuka Google Map dan berusaha menjelaskan padaku dengan bahasa Inggris logat Prancis. Namun kemudian dia malah mengajakku naik mobil. Beliau mengantarku ke stasiun. Kesan pertama yang sangat manis di Nimes.
Aku sudah memesan tiket kereta ke Ales melalui internet. Nimes-Ales hanya 30 menit tiket seharga 5Euro. Harga tiket selalu berubah-ubah, kurang tau kenapa. Pas rute balik aku dapat tiket seharga 9Euro. Aku sudah mengirim SMS ke hostku, Vincent yang akan menjemputku di Stasiun Ales.
Sampai di Ales jam 2 siang, namun aku tak melihat seorang lelaki dengan ciri-ciri yang disampaikan Vincent. Menunggu 15 menit, 30 menit, aku mulai khawatir jika ada yang salah. Namun kemudian sebuah mobil Van kuning (Van Kuning DHL) berhenti di parkiran stasiun. Seorang lelaki usia 40an turun dan berjalan ke arahku. Kami bersalaman, ngobrol sebentar, kemudian Vincent membantuku memaruh barang bawaan di mobil.
Dari stasiun Ales ke Bagard, rumah Vincent hanya sekitar 20 menit. Bentang alam Bagard berupa bukit dengan tumbuhan perdu. Berasa kaya di Mesir atau Arab. Banyak ladang Zaitun dan Anggur. Saat itu musim gugur, namun matahari masih terik, suhu masih sekitar 30an Celcius. Panas. Wilayah ini masuk area taman nasional Cavannes.
Vincent adalah seorang petani sayuran organik. Dia awalnya adalah seorang Quality Control Staff di perusahaan Farmasi di Montpellier, dengan latar belakang pendidikan medis dan farmasi. Dia memutuskan berhenti setelah 8 tahun bekerja. Tahun 2018 kemarin adalah tahun ke-9 nya menjadi petani setelah resign. Vincent tinggal bersama Cecile, pasangannya. Vincent memperkenalkan Cecile dengan penekanan sebagai partner, bukan Istri karena mereka tidak menikah. Pas setahun lalu, putra pertama mereka lahir. Namanya Cassion.
Cecile adalah seorang wanita karir yang sangat ramah dan cerdas. Dia memiliki latar belakang pendidikan ilmu komunikasi, sastra dan bahasa Arab. Cecile bekerja di kantor komune, semacam kantor kecamatan atau kantor desa. Tugasnya mengurusi isu sosial dan mengajukan proposal untuk pembangunan komune. Karena itu dia sering bertemu pejabat pemerintah dan sangat peka terhadap isu sosial politik. Ngobrol dengan Cecile tentang apa saja adalah bagian yang paling aku nikmati saat menjadi WWOOFer disini.
Kebun organik Vincent memproduksi kentang, bit, wortel, tomat, berbagai jenis selada, bawang bombay berbagai jenis, labu, semangka, melon, paprika, terong. Hasil panen dijual di toko khusus produk organik dan juga melalui order online.
Aku tinggal di keluarga ini selama 7 hari, dengan 2 hari libur. Sabtu Minggu kebun tutup. Pekerjaan yang aku lakukan antara lain panen tomat, panen paprika, panen bit, menanam selada, memilah bawang bombay untuk dijual dan membersihkan labu panen bulan lalu yang berdebu. Jam kerja lumayan pendek, dari jam 8-12 setelah makan siang aku bebas mau ngapain aja.
Keluarga kecil itu normal seperti keluarga-keluarga kecil disini. Aku tidak merasakan culture shock yang cukup berarti. Yang unik justru tentang posisi Vincent sebagai suami yang lebih banyak mengurusi pekerjaan rumah dari pada sang istri. Memasak, laundry, beres-beres maupun momong sepertinya sudah diambil alih Vincent. Awalnya itu adalah pemandangan yang aneh bagiku, melihat suami masak sementara istri ngobrol, terus pas anak kebangun juga suami yang nyamperin duluan. Tapi bagi Vincent sendiri, itu hal biasa dan tidak ada yang aneh.
Senang melihat pasangan ini yang saling support. Vincent bilang, Cecile sangat mendukung karirnya sebagai petani organik. Di tahun pertama menjadi petani, Vincent hanya memperoleh penghasilan sekitar 1000Euro (17 juta-an, selama setahun). Namun Cecile dan keluarga Vincent terus mendukungnya baik secara moral maupun financial, hingga sekarang dia cukup sukses dengan penghasilan cukup.
Cassion adalah bayi lucu dengan mata teduh. Sadar diri tak punya pengalaman momong bayi, aku awalnya takut main dengan Cassion. Dia baru belajar berjalan saat itu. Namun ternyata, pas pertama ketemu dia langsung nyaman bersamaku. Waktu itu Cassion sedang menangis karena kepentok pintu. Ditenangkan oleh ayahnya gagal, namun pas aku coba menyapa dia langsung diam dan minta gendong.
Rutinitas keluarga kecil itu dimulai jam 7 pagi, Vincent bangun lebih dulu kemudian menyiapkan sarapan. Setelah selesai sarapan kemudian menyiapkan keperluan Cassion untuk dititipkan ke nanny. Susu, makanan bayi dan baju. Disaat Vincent menyiapkan barang-barang Cassion, aku dan Cecile masih asyik sarapan sambil ngobrol. Jam 8 pagi, Cecile membawa Cassion bersamanya untuk dititipkan, karena kantor Cecil dekat dengan rumah nanny. Sementara Vincent mulai pergi ke kebun.
Jam makan siang di Perancis adalah jam 12-2 siang. Di jam itu rata-rata toko atau kantor tutup. Biasanya Vincent menyiapakan makan siang jam 1 siang. Jam 5 sore, tugas menjemput Cassion adalah bagian Vincent. Sampai di rumah, Cassion punya waktu 2-3 jam untuk main sekaligus makan malam. Semua mainanya adalah mainan edukatif dari bahan organik
Vincent biasanya mengawasi Cassion bermain sambil menyiapkan makan malam. Berhubung nyambi momong, sering kali jam makan malam molor sampai jam 10. Krucuk krucuk.
Di keluarga ini aku lebih banyak belajar tentang ilmu rumah tangga dari pada ilmu pertanian. Ternyata tidak peduli kewarganegaraan, masalah keluarga masih sama saja. Suatu malam, aku menyaksikan mereka bertengkar. Saat itu seharusnya jam makan malam. Vincent sudah masak, makanan siap di meja. Aku sudah kelaparan tingkat akut, tapi sang tuan rumah sedang bertengkar di kamar mereka. Terjebak pada moment seperti itu rasanya sedih sekaligus konyol. Sampai jam 11 malam, pertengkaran mereka belum selesai, karena makin tidak nyaman dan ngantuk, aku memilih tidur. Sempat parno juga kalau-kalau pertengkaran itu jadi berlanjut ke KDRT saking serunya. Alhamdulillah, enggak. Keesokan harinya mereka sudah berbaikan bahkan meminta maaf padaku atas kejadian semalam. Lega,
Di hari terakhirku bersama keluarga ini Cecile mengajakku mengunjungi sebuah desa cantik bernama Anduze yang ternyata hanya 15 menit dengan mobil dari rumah. Desa ini benar-benar indah dan memang menjadi tujuan wisata yang masuk wilayah taman nasional Cevennez. Disana banyak hotel dan restoran. OK, wish list untuk honeymoon
Taken from Flickr by Mantis of Destiny
Keluarga Vincent sangat ramah dan openminded, bahkan aku juga dikenalkan pada Ayah dan Ibu tirinya, sempat diundang makan siang bareng juga. Cecile adalah teman curhat yang menyenangkan dan bijak. Yang paling bikin kangen tentu saja senyum dan kecupan Cassion.
Strasbourg adalah kota kecil di wilayah Timur Perancis, dulunya di sebut Alsace. Letaknya berdekatan dengan negara Swiss, Luxembourg dan Jerman. Aku memilih kota ini sekedar untuk transit sebelum menuju Bern. Letaknya strategis, jika menuju negara-negara sebelahnya, relatif dekat. Dari sini menuju Bern, hanya sekitar 4 jam dengan bus. Saat itu, aku menuju Strasbourg dari Paris dengan Flixbus. Waktu tempuh sekita 6 jam, tiket seharga 12 Euro. Berangkat dari Paris, Bercy Seine Terminal jam 11 malam, sampai di terminal Flixbus Strasbourg jam 5 pagi.
Tujuan utamaku mampir sini adalah kota tuanya yang di sebut “La Petite France”. Wilayah Alsace, selain Strasbourg juga ada Colmar sangat dikenal dengan ciri khas bangunan dan rumah-rumah berbingkai kayu yang masih terjaga baik. Gaya bangunan ini dipengaruhi oleh arsitektur Jerman, yang memang berdekatan secara geografis.
Kecantikan bangunan di daerah Alsace, bahkan menginspirasi setting film Disney Beauty and The Beast. Pada December, kota ini terkenal dengan pasar Natalnya yang meriah. Mungkin ada yang pernah ingat, pada tahun 2018 kemarin, ada tragedi penembakan oleh teroris yang menewaskan beberapa orang di kota ini. Sedih ya, padahal kota ini kota yang damai. Aku menyaksikan beragaman masyarakatnya yang indah.
Pic. taken from internet
Kesan pertama saat sampai di kota ini, tenang dan bersih. Rasanya jetleg dengan keriuhan Paris. Jalanan sepi, rapi dan banyak pepohonan. Hotel yang aku booking melalui booking.com terletak di dekat stasiun central Strasbourg yang bisa ditempuh dengan jalan kaki. 4km, ok lah..
Kota ini dilalui sungai besar, yang bersumber dari Swiss, sungai Reine. Aku memilih mengikuti alur sungai. Aliran sungai cukup deras, air jernihnya memantulkan cahaya matahari pagi yang baru bangun. What a calm city. Post Paris Syndrome, setelah mengunjungi Paris semua kota serasa kecil dan sepi, saking ramenya disana. Baru setengah jalan, mataku menangkap sesuatu yang sangat familiar. Sebuah kubah Masjid gede berwarna hijau. Iya, benar itu sebuah masjid. Terletak di perempatan jalan besar, bangunan masjid ini megah dengan area parkir luas. Aku terkagum… bukan tipikal masjid di negara Non Muslim yang biasanya bangunan kecil atau nyempil. Masjid ini sebesar masjid Agung di Jakarta.
Cukup impressed dengan fakta bahwa ternyata di Strasbourg cukup banyak Muslim. Wilayah sekitar Masjid adalah semacam kampung Arab, banyak sekali resto Halal berjajar sepanjang jalan yang kulalui menuju hotel.
Aku cukup puas dengan kamar hotel, dengan harga 400rb semalam, dapat kamar single itu lumayan banget di Eropa. Biasanya mah cuman dapat dormitori. Kamar mandi sharing perlantai, ada 1 kamar mandi dan 2 toilet. Yang aku sayangkan hanya tidak ada fasilitas dapur umum, bahkan tidak ada kattle untuk sekedar merebus air. Huwaaa…… lesson to learn. Penting banget untuk teliti mengenai fasilitas hotel. Bagi budget traveler, dapur itu penting banget.
Strasbourg Central Station, hanya 10 menit jalan kaki dari hotel. Stasiun ini bergaya megah, futuristic. Keren dah pokoknya. Petite France ternyata tidak begitu jauh dari central station, 15 menitan lah. Seluruh wilayah wisata kota ini bisa dan memungkinkan untuk ditempuh dengan jalan kaki. Kalau ga pelit2 banget kaya aku, bisa naik tram yang beroperasi hingga jam 12 malam. Kota ini sangat simple and convenient.
Benar, bangunan-bangunan tua disini benar-benar cantik. Nuansa negeri dongeng banget. Sayang, kamera HP ku tak cukup cangih untuk membidik kecantikan kota ini. Sungai jernih dan bersih membelah kota, bunga-bunga dan cafe-cafe dimana-mana. Tersedia wisata cruising sepanjang sungai dengan speedboat dan kapal. Kebayang gimana romantisnya malam-malam pegangan tangan dengan suami menyusuri tiap sudut kota ini.
Strasbourg Cathedral adalah landmark yang wajib ditengok juga. Arsitekturnya mirip Notre Dome.
Setelah itu, jalan-jalan menyusuri pinggiran sungai yang asri aku menemukan banyak spot2 menarik sampai di gedung Perlemen Uni Eropa. Ya, ternyata (atau hanya aku yang baru tau), Strasbourg adalah ibu kota Uni Eropa. Disini berdiri megah kompleks gedung parlemen yang super keren dan futuristik. Sekitar gedung ini penuh taman luas dan rindang, Parc de Orange namanya. Ada juga taman yang cukup terkenal, Le Jardin des Deux Rives. Ada Jembatan super cantik disana. Sayang aku tak punya cukup waktu untuk kesana karena letaknya berada di luar area pusat kota.
Segala macam makanan ada disini. Ada resto Arab, Afrika, China juga. Resto Halal tak sulit ditemui. Jika ada waktu panjang di Strasbourg bisa sekalian mampir Colmar yang sama cantiknya, hanya sekitar 30an menit dengan kereta dari Central Station.
Bagi yang suka belanja, banyak sekali toko souvenir. Butik merk-merk baju terkenal bisa juga ditemui disini. Aku sempat tertarik untuk masuk sebuah toko buku, dan menemukan novel Pramoedya “Bumi Manusia” edisi Perancis disini. Bangga.
Strasbourg melebihi ekspektasiku. 2 hari yang berkesan di Strasbourg. Aku akan kembali bersama suamiku. Aamiin…