Pertama kali melihat penampilan Lea (Shepherd dari German yang dipekerjakan oleh host WWOOF ku di Interlaken) pas berangkat mengembala kambing ke gunung, aku seperti melihat seorang Rey, The Last Jedi tapi versi rambut rasta. Keren plus tangguh. Waktu punya kesempatan ngobrol sama dia, aku kepo untuk bertanya apakah dia pernah punya rasa takut naik turun gunung, siang, sore, malam setiap saat jika dia diharuskan mencari kambing yang ilang? (Sebenarnya mah takut yang aku tanyakan itu soal takut ketemu hantu).
Lea bilang, iya dia takut, apalagi ternyata tepat sebulan lalu, temannya sesama shepherd (awalnya dia berdua melakukan tugas ini) mengalami kecelakaan fatal, kejatuhan batu dari atas gunung, segede kepala pas di tengkuknya. Beruntung, gadis itu selamat karena otaknya tidak terluka. Benar-benar sebuah keajaiban, setelah 3 hari koma, seminggu kemudian dia sudah kembali beraktifitas seperti biasa.
Ya, meskipun pegunungan Alpen adalah tempat yang sangat indah, hutannya lebih kalem jauh berbeda dengan tipikal hutan tropis yang cenderung lebat dan gelap, tetap saja alam menyimpang kekuatannya dan bahaya tersembunyi. Claudia sebagai tuan rumah selalu menasehati kami untuk hati-hati, fokus, berusaha tidak berada di bawah tebing tempat kambing merumput, karena kambing bisa saja menjatuhkan bebatuan dari tebing, mengurangi ngobrol dan bercanda karena bisa mengganggu konsentrasi.
View Interlaken dari atas gunung
Saat aku bertanya apa yang Lea rasakan saat itu? Dia bilang panik, takut karena dia hampir yakin temannya meninggal di tempat. Kejadian itu masih selalu terbayang setiap kali dia naik gunung, dan itulah sebabnya setelah kejadian itu dia lebih sering kehilangan kambing. Binatang bisa merasakan ketakutan pada diri kita, sehingga mereka jadi lebih susah dikendalikan.
Bagaimana cara membawa seseorang yang mengalami kecelakaan ke rumah sakit di tempat seperti ini? Sementara untuk mencapai jalan raya terdekat butuh waktu setidaknya 40 menit jalan kaki. Ternyata penduduk di pegunungan Alpen biasa carter helicopter. Pada case Lea, selain faktor keberuntungan, juga karena penanganan dan kesigapan tim SAR dan medis yang super cepat. Saat kejadian, Lea segera menghubungi Claudia untuk meminta bantuan, kemudian Claudia menghubungi tim SAR yang segera mengevakuasi korban. Semua proses hanya butuh waktu sekitar 10 menit hingga sampai rumah sakit dan korban mendapat pertolongan. Yeah, that’s Swiss.
Jika hal itu terjadi pada orang yang kurang tanggap (sebut saja saya), bisa saja proses panik sendiri, binggung mo ngapain, nangis, moment blank bisa memakan beberapa puluh menit bahkan jam dan bisa saja mengakibatkan korban tak tertolong. Teringat beberapa kasus pendaki yang tersesat di beberapa gunung di tanah air belakangan ini. Proses pencarian bisa memakan waktu beberapa hari dan sering menemukan korban sudah meninggal.
Heli Base di Lauterbrunnen, Swiss
Saat kami sedang ngobrol, terdengar deru suara helikopter, ternyata selain untuk rescue, penduduk Alpen juga biasa menyewa heli untuk delivery barang-barang kebutuhan sehari-hari, material untuk membangun rumah, furniture atau pakan ternak yang tidak memungkinkan untuk dibawa manual dari bawah. Hebatnya lagi, dari base heli di Interlaken ke atas Alpen rata-rata hanya perlu waktu 2 menit sekali jalan. Iya, 120 detik doang.
Untuk menghemat ongkos carter, ternyata juga boleh sharing. Asal lokasi berdekatan dan volume mencukupi. Jadi ngebayangin suatu hari nanti go-send atau go-food ngantar pakai Heli, 😆.
Carter Heli memang bukan hal baru di negara maju, juga bukan cuman di Swiss. Tapi bagi orang udik kaya aku, pengalaman menyaksikan delivery service pakai Helikopter itu bisa bikin moment melongo sesaat.
Btw pas aku masih kecil, moment melihat pesawat melintas di atas langit kami adalah moment berharga. Kebiasaan anak-anak di kampungku pas dengar suara pesawat adalah langsung keluar rumah, da-da-da-da ke atas sambil teriak “Kapal, njaluk duite” (Kapal minta uang…🙊). Kami melakukannya dengan tawa bahagia seakan Mas Pilot sedang melongok ke bawah melihat kami. Kangen masa itu.
Aku sempat mampir ke Swiss Helicopter Base di Interlaken. Pilotnya ramah-ramah (cakep sudah pasti). Jadi pingin punya suami Pilot.
Pertanyaan paling populer soal solo traveling selain kesepian adalah keamanan. Ini adalah pertanyaan tak terjawab, karena aku percaya tidak ada tempat di bumi ini yang totally safe. Jangankan pas jalan-jalan ke tempat asing, di rumah kita sendiri saja selalu ada kemungkinan bahaya. Jadi, selalu berhati-hati adalah kuncinya.
Membahas tentang situasi-situasi yang agak berbahaya selama solo traveling, aku punya beberapa pengalaman ngemper di beberapa tempat. Istilah ngemper ini mengacu pada upaya penghematan dengan tidak menginap di hostel tetapi dengan menghabiskan malam di tempat umum.
Pengalaman pertama ngemper international adalah di Changi. Waktu itu bareng teman, bertiga jadi aman-aman saja. Ngemper ke dua di Narita, waktu itu pas dari Sapporo balik ke Tokyo dengan flight malam. Beruntung ada teman mahasiswa Malaysia jadi ga sendirian. Waktu itu pas musim dingin. Aku dapat kursi di depan pintu masuk. Jadilah pas pintu terbuka langsung diserang dingin. Brrrrr….
Berbekal 2 pengalaman ngemper international di atas, aku sudah meniatkan acara ngemper di trip Swiss-Perancis kali ini.
Pertama, ngemper dini hari di jalanan Lyon
Yes, literally jalanan. Ceritanya aku dalam perjalanan ke Ales (Perancis) dari Interlaken (Swiss) menggunakan Flix Bus. Perjalanan itu lumayan panjang dengan 2 kali transit. Milan (Itali)- Lyon baru Nimes, stasiun terdekat dengan Ales. Interlaken-Milan hanya sekitar 5 jam, aku sampai di Milan sekitar jam 2 siang, perjalanan selanjutnya Milan-Lyon, sekitar 7 jam. Transit di Milan sekitar 4 jam.
Berangkat jam 6 sore dari Milan, prediksi sampai di Lyon jam 1 an dini hari. Karena trip selanjutnya Lyon ke Nimes jam 8 pagi, jadi aku sengaja tidak booking hotel, for the sake of penghematan aku niatkan bermalam di stasiun, dengan prasangka positif di Eropa pasti stasiun buka 24 jam, ataupun kalau tidak pasti ada halte yang layak untuk ngemper.
Perjalanan kami delay 1 jam karena pada saat pemeriksaan document di perbatasan Itali ke Perancis, ada seorang penumpang, cowok muda yang pas duduk depan bangkuku, tak memiliki document lengkap sehingga Polisi perbatasan Itali menahan bus kami. Setelah sejam dia dibawa ke kantor polisi dan tidak juga kembali, perjalananpun dilanjutkan. Sang cowokpun tertahan di perbatasan. Semoga dia baik baik saja.
Jam 2 malam, driver menyampaikan lewat pengeras suara kalau kami telah sampai di Lyon. Oh no, ternyata station Lyon hanya dibuka sampai jam 12 malam, sehingga bus hanya menurunkan penumpang di jalanan depan stasiun. Disana, tidak ada bangku, tidak ada halte bus, hanya ada seperator jalan dengan trotoar. Angin sepoi-sepoi menambah dingin udara, Alhamdulillah tidak hujan meski langit mendung.
Aku dengan menenteng 2 backpack dan sebuah tas tangan, ndoprok di pinggiran jalan sendirian. Hmm, enggak sendirian juga sih, ada beberapa pria, yang juga sepertinya turun berbarengan denganku dan beberapa orang yang sepertinya menunggu bus, berdiri di pinggir jalan, ada yang ngobrol ada yang sedang merokok.
Udara makin dingin, beberapa orang telah naik bus yang mereka tunggu, menyisakan aku dan makin sedikit orang di jalanan itu. Tengok kanan kiri, di belakangku ternyata adalah sebuah restaurant dengan beberapa bangku di teras. Aku terpikir untuk berpindah duduk disana, namun enggan jika ternyata ada security dan kemudian aku diusir. Pengalaman diusir dari teras di resto Lyon bukan pengalaman indah yang bisa diceritakan pas pulang nanti, kan?
Beberapa saat kemudian ada 2 orang lelaki duduk disana. Akupun latah mengikuti mereka. Ternyata sudah ada beberapa orang yang tiduran di bangku pojok. Semua laki-laki. Horor, iyess.
Temanku yang asli Prancis sudah wanti-wanti agar aku hati-hati karena di setiap pinggiran stasiun adalah lokasi lokalisasi, tempat anak jalanan suka minum-minum dan sering kali jadi tempat transaksi narkoba. Iya, pas sebelah restoran ini adalah sebuah warung sex toys. Uhlalaaaaa… warna catnya pink dengan lampu neon kelap-kelip ungu.
Masih jam 3, aku mencoba tidur di kursi, sambil memeluk harta bendaku, berselimut jaket dan berdzikir dalam hati. Aku terbangun saat seseorang menepuk punggungku, dia bilang stasiun sudah buka.
Station Lyon ternyata cukup gede, saat itu sudah ada beberapa bus yang mulai beroperasi tapi kereta pertama baru akan mulai jalan jam 5:30. Aku menemukan bangku di sebelah vanding machine depan pintu utama, ah ada sinyal wifi. Senangnya,
Sayang sekali, mampir di Lyon hanya untuk numpang tidur beberapa jam, di jalanan pula. Lain kali aku ingin balik ke sini, booking hotel minimal bintang 3 lah ya (Balas dendam). Bersyukur melewatkan malam dengan aman meski ga nyaman di pinggir jalan station Lyon. Cukup sekali saja.
Next, Ngemper di Bus Central Strasbourg
Ternyata pengalaman ngemper di Lyon ga bikin aku jera, malah makin berani.
Kali ini adalah perjalanan pendek, masih dengan Flix Bus, dari Strasbourg ke Bern untuk WWOOFing ke 3. Perjalanan cuman 3 jam, tapi dimulai jam 3 pagi. Sudah aku niatkan untuk jalan kaki dari hotel ke terminal, toh cuman 30 menit, sekalian mampir masjid gede Strasbourg untuk sholat Magrib dan Isya. Akupun berjalan kaki sambil mengeret-geret koper dan menggendong ransel.
Karena ga pingin jalan dalam kegelapan nan sepi, aku memilih berangkat lebih awal, tepatnya sampe stasiun masih jam 9an, jadilah ngemper hampir 6 jam. Padahal naik trem cuman 2 Euro lo, tapi aku milih jalan kaki😝
Terminal Bus Strasbourg cukup nyaman, ada bangku dan penerangan cukup, relatif ramai. Hampir tiap 15 menit ada saja bus datang yang sharing wifi sebentar-sebentar. Lumayanlah, cukup buat chating ngusir bosan.
Saat itu aku duduk di bangku depan sebuah pusat informasi yang seatap dengan toilet umum, yang baru aku sadari sebenarnya adalah Smoking Area. Aku baru ngeh pas kali ke tiga ditanyai soal korek api. Sempat heran, kenapa mau pinjam korek ke aku? Pas noleh belakang baru ngeh tulisan Smoking Area.
Karena tidak mau disapa orang buat minjam korek lagi, aku pindah duduk di area bangku taman. Berhubung area terbuka… werrrrrrrr…. saat angin semriwing datang, dinginnya sampai ke tulang. Bersyukur malam itu cerah, bintang kelap kelip di langit dan busku pun datang on-time. Ngemper di Strasbourg bukanlah cerita horor.
Kali ini di Stasiun Central Zurich, Zurich HB
Masih ada cerita ngemper selanjutnya. Kali ini di Stasiun Central Zurich, Zurich HB, sehari sebelum balik ke Jakarta. Apalagi kalau bukan untuk alasan penghematan. Berhubung sudah kenal stasiun ini, maka aku relatif PD (apalagi berpengalaman di 2 lokasi ngemper sebelumnya).
Setelah puas keliling kota Bern, jam 8 sore aku naik bus menuju Zurich, cuman sejam. Awalnya mo nyari tumpangan di Couchsurfing, udah dapat 2 host, tapi akhirnya aku memutuskan ngemper di stasiun saja. Dari jam 9 malam aku mulai nongkrong di Zurich HB, baca buku, chatting, update instastory sampai kelaparan akhirnya ngantuk juga. Sekitar jam 1 malam aku rebahan di bangku panjang depan tempat ibadah. Bangku itu cukup panjang untuk 2 orang. Di bangku itu sudah ada seorang ibu-ibu yang yang rebahan juga. Beliau tersenyum ramah, tapi kami tak sempat ngobrol.
Aku terbangun tiba-tiba karena mimpi aneh, lupa mimpi apa, tapi pas aku membuka mata, aku melihat sebuah tangan mencoba membuka resleting tas kecilku yang aku taruh diantara dinding dan tubuhku (seingatku semalam aku memeluk tas itu). Reflek aku mendongak dan ternyata ada 2 orang pria sedang duduk di sebelahku, reflek aku senyum ke arah mereka. Sang Ibu ternyata sudah bangun. Aku masih setengah sadar atau mengigau, saat melihat jam tangan masih jam 4 pagi. Aku menutup kembali resleting tasku, terus balik tidur lagi. Tak lama kemudian, aku terbangun lagi, dan masih sama, aku melihat sebuah tangan berusaha membuka resleting tasku. Kali ini aku baru sadar ada bahaya. Duh… Lola banget. Masih 2 orang tadi, namun mereka lekas beranjak pas aku benar-benar bangun.
Lagi-lagi bersyukur, tak ada barang hilang, isinya memang bukan uang sih, tapi barang-barang kecil, souvenir dan PASPOR!!!! Hadew, tinggal di Swiss memang menyenangkan. Tapi kalau berlama-lamaan disini gara-gara paspor ilang??? Amit-amit…. jangan sampai kejadian ya Allah….
Eh, masih ada lagi cerita ngemper…. well ini beneran yang terakhir !!!
Hari ini adalah hari terakhirku di Swiss, besok jadwal balik ke Jakarta. Rencana hari ini adalah numpang gosok gigi di toilet yang bayar 1,8Euro, nitipin tas di loker selama 10 jam, keliling kota Zurich kemudian ngemper di Bandara. Karena agak parno ngemper di stasiun lagi, aku memilih ngemper di bandara malam ini. Pertimbangan pertama adalah karena bandara pastinya lebih rame, 24 jam, lebih aman dan lebih mudah nyari toilet (gratis).
Jam 10 malam aku naik kereta ke bandara, cuman sekitar 20 menitan. Saat itu situasi ramai seperti bandara sewajarnya.
Akupun hunting posisi PW untuk tidur. Sempat tertidur sejam, aku terbangun sekitar jam 12 malam and bengong karena saat itu tidak ada lagi orang di sekitarku yang awalnya lumayan rame. Hanya ada sekitar 3-4 orang di bangku seberang. Well, dan keadaanpun semakin malam semakin sepi. Karena penasaran, aku mencoba keliling, mengharap situasi berbeda di sudut lain, but… di bandara segede itu beneran hampir tidak ada orang. Semua counter Duty Free, toko tutup. Entah jika ada area yang buka 24 jam di sebuah sudut yang tak terjamah.
Setelah muter-muter ga jelas dengan rasa khawatir ketemu satpam terus diusir, aku menemukan 2 orang sedang tertidur di bangku dekat counter check in. Aku pun ikut ikutan buka lapak disana. Kelelahan, akhirnya tertidur pulas, baru terbangun jam 6 pagi. Saat itu, bandara Zurich-pun normal lagi. Penting banget untuk cari tau dulu jam operasional tempat-tempat umum macam bandara atau stasiun. Ok, catet. Lesson to learn!! Merasakan bandara Zurich serasa milik sendiri semalaman adalah pengalaman yang tidak ingin aku ulangi.
Well, jujur, ngemper di tempat umum bukan pengalaman yang menyenangkan. Meski selalu ada sensasi puas pas melewati saat-saat genting (plus menyelamatkan budget), namun sebaiknya keamanan tetep jadi prioritas utama dimanapun berada. Kalaupun pingin nyobain pengalaman ngemper di tempat umum, sebaiknya survey tempatnya dulu, siapin bekal makan minum cukup, download film secukupnya atau bawa buku bacaan. Biar jadi ngemper rasa piknik.
Sering banget dapat komen, “Jalan-jalan ga ngajak-ngajak sih?”, “lain kali ajakin aku jalan bareng ya,..”. Setelah baca cerita ini, masih mau ikutan??
Trip WWOOF ku yang terakhir adalah di kebun Apel organik di Bern. Philipp, sang tuan rumah adalah petani yang extraordinary banget. Awalnya aku mengira dia serupa Kolonel Sander KFC, Bapak-bapak tua dengan jenggot dan perut buncit. Selama ini aku menghubungi Philipp melalui WhatsApp dan email tapi tidak ada profile pic. yang bisa sedikit mengambarkan seperti apa dia sebenarnnya.
My last Europe WWOOF trip was at the organic Apple orchard in Bern. Philipp, the host is a very extraordinary farmer. At first I thought he was like Colonel Sander, an old gentlemen with a beard and belly. Typical farmer in my mind. I made contact with Philipp via WhatsApp and email but there is no profile pic. which could be a little describing what he really was.
Jadilah aku kaget banget pas dijemput di terminal bis jam 7 pagi yang masih berkabut oleh pria rasta paruh baya kembaran Bob Marley. Sempat salah paham juga karena dia salah sebut namaku dan aku sama sekali tidak mengira sang Kolonel ternyata berambut gimbal. Alhamdulillah setelah dia menyebutkan password Indonesia, semua jadi terang benderang.
So I was really surprised when a middle-aged Rasta man, in Bob Marley look, came over me at Bern bus terminal in the fogged morning. Had a misunderstanding too because he mispronounced my name and I did not expect the Colonel to be an Rasta Guy. Alhamdulillah after he mentioned “Indonesian”, everything was clear. He was Philipp, my host.
Kebun Apel Philipp sekitar 30 menitan dari Bern Main Station dengan mobil. Sepanjang jalan dia bercerita tentang kondisi rumahnya. Ada 4 keluarga, 2 pasangan dari Polandia yang bekerja di kebun, 1 keluarga teman Philipp yang sedang berlibur dengan anak mereka yang masih umur 7 tahun dan satu lagi keluarga di lantai 3 dengan 2 anak kecil dan ibu hamil.
Philipp’s Apple Farm was about 30 minutes from Bern bus station by car. Along the way he told me about the condition of his house. There were 4 families, 2 couples from Poland who work in the farm, 1 family of Philipp’s friends who were on vacation with their 7-year-old child and another family on the 3rd floor with 2 children and a pregnant woman.
Philipp sendiri memiliki 3 anak, 1 cewek 19 tahun dan 2 anak lelaki, umur 9 dan 7 tahun. Dari ceritanya aku menyimpulkan dia tidak menikah. Saat itu hanya ada Malik yang paling kecil, sementara kakak-kakaknya sedang liburan ke Barcelona. Philipp sebenarnya tidak tinggal di rumah itu, hanya beberapa minggu sebulan dan selalu berakhir pekan di luar kota Bern. Sore ini dia bilang akan ke Zurich untuk menonton konser music DJ favoritnya.
Philipp himself has 3 children, 19 year old girl and 2 boys, ages 9 and 7. From his story I concluded he was not married. At that time there was only the youngest, Malik was home, while his brothers were on vacation to Barcelona. Philipp does not actually live in the house, only few weeks a month and always spent his weekend outside the city of Bern. This afternoon he going to Zurich to attend his favorite DJ music concert.
Typical rumah Swiss di pedesan terbuat dari kayu. Lumayan besar dengan 3 lantai. Sebelah rumah utama adalah rumah besar yang dijadikan gudang penyimpanan apel sekaligus pabrik pembuatan jus. Masih ingat wangi aroma apel dari dalam gudang.
The house was typical Swiss country side house made of wood. Fairly large with 3 floors. Next to the main house was a large house which was used as an apple storage as well as a juice-making factory. Still remember the fragrance of the apple from the warehouse.
Kamar untuk WWOOFer di rumah Philipp, sederhana namun nyaman dan bersih
Sesampainya di rumah, Philipp menujukkan kamarku, di lantai 2 rumah utama. Di lantai ini ada 3 kamar, 2 untuk pasangan Polandia, kamarku dan ruang TV. Ada juga kamar mandi dan ruang laundry. Lumayan besar dan sangat rapi. Setelah menaruh tas, Philipp menawariku minum teh sambil ngobrol ringan di ruang tamu lantai 1. Rumah masih sepi, semua penghuni masih tidur, di luar masih remang.
Philipp showed me my room, on the second floor of the main house. On this floor there were 4 rooms, 2 for Polish couples, my room and the TV room. There were also a bathroom and laundry room. Quite big and very neat. After placing my bag, Philipp offered me a cup of tea while chatting lightly in the living room on the 1st floor. The house was still quiet, everyone were still sleeping, outside was still dark.
Hello…
Sekitar sejam kemudian, pasangan Polandia di lantai 2 turun untuk sarapan. Philipp mengenalkan mereka 1 per 1 karena rupanya mereka tidak bisa Bahasa Inggris. Mereka adalah Lukas, sang Leader. Marlina istri Lukas, Filip dan istrinya Carolina, pasangan yang sepertinya lebih muda dari aku. Lukas bisa sedikit bahasa Inggris. (literally, sedikit banget). Mereka menggunakan Bahasa German untuk berbicara dengan Philipp dan menggunakan Bahasa Polandia untuk ngobrol dengan yang lain.
About an hour later, Polish couples on the 2nd floor went down for breakfast. Philipp introduced them 1 by 1 because unfortunatelly they could not speak English. They were Lukas, the Leader. Marlina, Lukas’s wife, Filip and his wife Carolina. Lukas could speak English little (literally, very little). They used German to talk to Philipp and Polish to chat with others. Both, i don’t understand.
Hari Sabtu biasanya mereka kerja setengah hari, tapi hari itu Philipp memberi mereka hari libur. Sorenya, Lucas mengundangku makan pizza bersama mereka, dia bilang untuk menyambut kedatanganku. Welcome party. Mereka rupanya membuat home made pizza. Topingnya salami (sejenis daging asap yang biasanya terbuat dari daging Keledai) yang ternyata di Swiss mostly terbuat dari babi. Beruntung belum sempat makan karena Philipp sempat memberi tahu jika itu adalah Pork Salami. Kemudian Marlina membuatkan aku pizza dengan topping jamur dan keju. Meski topingnya sederhana tapi rasanya lumayan enak. Philipp tidak ikut pesta karena dia buru-buru ke Zurich untuk nonton konser musik.
On Saturdays they usually worked half day, but that day Philipp gave them day off. In the afternoon, Lucas invited me to have pizza with them, he said to welcome me. A welcome party. They baked home made pizza. The topping was salami (a type of smoked meat which is usually made from donkey meat), unfortunately in Switzerland mostly made from pork. Luckily I haven’t had any because Philipp told us that it was Pork. Philipp himself was a vegetarian. Then Marlina made me a pizza topped with mushrooms and cheese. It tasted pretty good. Philipp did not join the party because he rushed to Zurich for music concert.
Pernah dengar kalau Polish adalah pecinta Vodka, tapi baru itu semeja (itupun terpaksa) dan menyaksikan betapa cintanya mereka dengan Vodka. 4 botol untuk 6 orang, oh iya ada 2 orang lagi Adam dan Dominic yang bekerja di perkebunan sebelah. Music disco Poland diputar lumayan keras, meskipun ga mudeng tapi lumayan enak juga didengar. Setelah 4 botol vodka, mereka masih punya sebotol whiskey. Well, mulanya mereka mengira aku menolak minum Vodka karena tidak suka Vodka, sempat ditawari Wine, Beer ampe Whiskey. Thanks to Google translate, paham juga akhirnya mereka kalau aku tidak minum alkohol jenis apapun. Aku memilih jus apel sahaja.
I have heard that Polish is Vodka lover, but it was something to witness how much they love it. 4 bottles for 6 people, oh yes there were 2 more people Adam and Dominic who worked on the farm next door. Poland’s disco music was playing quite loudly, i did not know the song but it’s pretty nice music. After 4 bottles of vodka, they still have a bottle of whiskey. Well, at first they thought I refused to drink Vodka because I didn’t like Vodka,then they offered me Wine, Beer and Whiskey. Thanks to Google translate, they finally understood that I don’t drink any type of alcohol. I took apple juice instead.
Mereka ngobrol ngalur ngidul sambil sesekali bernyanyi mengikuti musik yang mereka putar. Lagunya rata-rata house music jedag-jedug. Karena kepo, aku sengaja menggunakan Google translate untuk menterjemahkan perbincangan mereka. Namun gegara 6 orang ngomongnya saling nerocos berbarengan, Google translate-pun jadi error. Setidaknya aku sedikit bisa bertanya atau menjawab bertanyaan mereka. Lumayan, jadi mengurangi roaming.
They were chatting while singing occasionally following the music they were playing. The song was kinda house music for dancing. Curious, I tried to use Google translate to know their conversation. 6 people speaking to each other at the same time made Google translate gave up. But at least I could get little whats they were talking about, asking and answering little questions. Not bad.
3 jam berlalu, 4 loyang pizza tinggal bersisa sepotong, tapi mereka masih juga minum. Sekarang ganti campuran whiskey, cola dan jeruk nipis. Jangan tanyakan gimana rasanya, aku juga pingin tau. Hehehehe…
Landscape sekitar rumah Philipp
Pesta pun berlanjut sampe malam, aku pamit tidur jam 9, di lantai bawah masih terdengar music keras dan tawa mereka sampai jam 11-an. Yang bikin surprise paginya mereka bangun lebih awal dari aku, dengan wajah fresh tanpa sisa pesta semalam. Konon katanya, setelah mabuk itu bisa bikin pusing keesokannya.
I excused myself to sleep at 9PM. Downstairs were still loud of music and their laughter until almost midnight. Was surprised to know at the morning after, they woke up earlier than me, with a fresh face. It was said that after drinking it can make dizzy the next day. Maybe, alcohol worked differently to Polish.
Penasaran aku bertanya pada Carolina (tentu saja dengan Google translate) berapa banyak dia bisa minum Vodka, dia bilang normalnya per orang bisa minum 2 botol. Dia bilang, pesta semalam cuma main-main aja, bukan pesta beneran. Holaaaaa..??? minum 2 botal air putih saja bisa mabuk mah aku. Aje gile….
Curiously i ask to Carolina (of course with Google translate) how much she could drink Vodka. She said normally per person could drink 2 bottles. For me even bottle of water could get me drunk. As a Muslim, alcohol is kinda… mysterious liquid for me.
Lukas and the gang bekerja di kebun Apel milik Philipp beberapa bulan dalam setahun, biasanya hanya untuk musim panen. Orang Swiss lebih memilih memperkerjakan tetangga sebelah karena gaji untuk pekerja dari negara lain lebih murah. Lebih murah itupun masih jauh lebih tinggi dari standard gaji negara lain. Lea, gadis penggembala dari Jerman yang aku temui di Interlaken bilang kalau di Swiss dia bisa mendapat gaji 20-30% lebih tinggi.
Lukas and the gang work in Philipp’s Apple garden several months a year, usually only for the harvest season. Swiss people prefer to employ their next door neighbors because of the salary can be lower, but even the lower salary are still far higher than the standard salary of other countries. Lea, the shepherd girl from Germany that I met in Interlaken said that in Switzerland she could get a 20-30% higher.
Lauterbrunnen adalah next stop-ku setelah WWOOFing pertama. Aku memilih Lauterbrunnen karena dekat dengan Interlaken, hemat ongkos. Naik kereta dari Interlaken Ost cuman 20 menit, tiket ketengan seharga 7.6 CHF (sekitar Rp 106.400 dengan rate 14.000).
Lauterbrunnen
Lauterbrunnen terkenal dengan pemandangan alam yang super kece. Diapit oleh tebing gunung dan memiliki banyak air terjun keren yang jatuh langsung dari tebing dipinggiran lembah. Kabarnya total ada 70-an air terjun. Pernah baca kalau desa ini adalah salah satu yang paling cantik di dunia. Landscape alamnya, kalau dilihat-lihat mirip Ngarai Sianok di Sumatra. Bedanya cuman Ngarai Sianok tidak punya gunung salju.
Wilayah ini berdekatan dengan Jungfrau yang merupakan primadona turis asing. Jungfrau adalah puncak tertinggi Swiss yang bisa dikunjungi. Pemandangan di atas spektakuler penuh salju (dari cover brosurnya). Ada akses cable car jadi tidak perlu cape-cape mendaki. Cuman perlu bayar tiket yang muahat banget. Lucunya, 2 orang asli Swiss yang aku kenal, belum pernah dan tidak berminat ke Jungfrau. Mahal!
Transportasi untuk menjangkau daerah lain dari Lauterbrunnen tersedia kereta, bus dan cable car. Recommended banget selain ke Jungfrau juga ke Grindelwald dan Wengen. View di Grindelwald juga keren banget.
Ini adalah sebuah lembah, desa jadi ga begitu ramai dan ga ada mall. Fasilitas cukup memadai. Restaurant, hotel, toko souvenir, minimarket gampang dijumpai. Sebagai lokasi wisata yang cukup terkenal, tarif hotel masih terbilang terjangkau. Waktu itu aku menginap di Valey Hostel yang lokasinya PW banget. Dekat stasiun, gampang dicari, super bersih dan memiliki fasilitas lengkap untuk backpacker. Tarif permalam untuk kamar dormitori sekitar Rp. 600.000.
Banyak juga hotel berbintang, camping ground dan rumah yang disewakan untuk turis. Semua rumah bergaya pedesaan Swiss, dari kayu dengan banyak bunga warna warni. Cantik.
Aku menginap 3 malam di Valey Hostel. Nah, biasanya tiap nginep di dormitori, aku selalu milih woman only. Tapi pas booking di Valey Hostel tidak tersedia kamar khusus cewek. Sempat parno juga pengalaman pertama nginep di dormitori campuran. Beruntungnya saat itu kamar yang berisi 8 bed hanya terisi 2 di malam pertama, aku dan seorang pelajar dari Singapore. Malam kedua datang 2 cewek dari Bangladesh. Yes, mayoritas cewek. Aman.
Malam terakhir, full house. 5 cowok rombongan datang, 2 dari USA 3 lainnya dari Australia, Itali dan Perancis. Cowok Singapore check out kemarin.
Ternyata semua roommate ku ramah dan sopan sekali. Kami sempat ngobrol dan berbagi cerita saat makan malam, berbagi alamat e-mail juga. Si cowok Itali malah sempat pamer keahlian masak pasta. Al dente..!!! Katanya, mitos cowok Perancis itu paling romantis adalah salah. Italians do it better!. Kalau menurutku sih bukan romantis, tapi nggombal. Yang paling aku syukuri adalah ternyata tidak ada penghuni yang ngorok. Padahal pas tidur di dormitori cewek, hampir selalu ada yang ngorok.
Valley Hostel
Di hostel ini juga aku ketemu Mba Yuni yang menghibahkan bekal makanan. Ketemu Mbak-Mbak ruame buanget dari Aceh yang sedang holiday trip. Dia lagi sekolah S2 di Belanda. Saking cintanya sama Belanda, jaket, jilbab sampe ranselnya warna orange (awalnya aku kira dia The Jak Mania).
Trakking, hiking, bersepeda, naik cable car, skydiving atau paradigling adalah beberapa pilihan aktivitas disini. Ngintip di Tripadvisor deh untuk info lengkapnya. Berhubung aku hanya menikmati wisata gratis, jadi hanya seputar jalan-jalan sampai gempor, naik turun lembah, menikmati air terjun, main di sungai, leyeh-leyeh di rumput, nggodain sapi dan itupun sudah lebih dari bahagia.
Dari buku The Geography of Bliss karya Eric Weiner, salah satu kunci kebahagiaan orang Swiss adalah alam mereka yang indah. Aku setuju!!!