Sejak kecil, aku punya bakat perfectionist. Selalu ingin jadi yang terbaik, ingin melakukan apapun dengan sempurna dan takut melakukan kesalahan. Iya, takut melakukan kesalahan, takut kalah. Bukan karena takut dimarahi, orang tuaku tidak pernah menuntut dan keluarga kami biasa-biasa saja. Namun aku memiliki ketakutan akan memori buruk tentang diri sendiri.
Sifat perfectionist itu menyiksa. Contoh saat aku melakukan kesalahan saat mengerjakan ulangan harian atau ujian semester, aku akan mengingat dan menyesali kesalahan itu hingga berbulan-bulan setelahnya, bahkan bisa sampai bertahun. Saat ada tugas menggambar, aku bisa menghabiskan berlembar-lembar kertas gambar hanya untuk 1 karya, dan masih juga merasa belum puas. Kedengaran konyol, tapi memang begitu adanya.
Hakone, Jepang
Perlahan, sifat perfectionist itu menjalar di dunia kerja. Kritik pernah jadi sangat menakutkan. Kesalahan kecil yang aku lakukan, meski dimaklumi oleh atasan dan rekan kerja, namun sulit aku maafkan. Benar, memaafkan diri sendiri itu lebih sulit. Saat itu, yang muncul adalah perasaan bodoh, tidak berguna dan ingin menyerah saja. Pernahkan kalian merasakan yang sama?”. Perasaan yang bahkan mengganggu tidur hingga datang dalam mimpi. Stress tanpa alasan yang jelas. Jika hari-hari itu datang, aku jadi melihat segala sesuatu pada diriku salah, tak berguna dan lupa mensyukuri apa yang aku miliki.
Saat aku melihat orang lain dengan mudahnya minta maaf dan melupakan kesalahan mereka, aku iri. Aku juga ingin begitu. Seiring pendewasaan, aku belajar untuk memahami bahwa kesalahan itu tidak selamanya buruk. Kesalahan adalah hal yang wajar, sesuatu yang perlu dipelajari dan diperbaiki, bukan hanya disesali. Menasehati diri sendiri mengenai 1 hal “kesalahan itu tak mengapa, asal bukan hal yang berdosa”.
Belajar menerima kekurangan, mengakui kesalahan, dan memperbaiki diri adalah proses pendewasaan sekaligus proses mencintai diri sendiri. Menyayangi diri sendiri, belajar untuk menghargai usaha dan kerja keras sendiri. Setiap orang memiliki waktu dan proses masing-masing pada tahap ini, kita memiliki jadwal yang berbeda-beda.
Saat aku mulai melepaskan sifat-sifat perfectionistku dan belajar untuk menerima diriku apa adanya, segala sesuatu jadi lebih mudah, lebih ringan. Lebih mudah memaafkan dan memahami kesalahan orang lain juga. Menyadari jika ketidaksempurnaan itu juga indah. I stopped being perfect and started being happy.
Memiliki teman orang lokal di tempat asing itu selalu menjadi nilai plus. Guide lokal yang lebih tau dimana menemukan sesuatu yang unik. 3 tahun lalu aku kenal seorang penpal yang berdomisili di Toulouse, Perancis. Aku memanggilnya Q. Kami sering berkirim kartu pos dan kado-kado kecil. Saat aku memulai trip WWOOF ke Eropa, mengunjungi Q adalah salah satu agenda utama.
3 tahun lalu saat pertama kenal, Q sedang menabung untuk membeli sebuah campar van, karena dia suka camping dan night photography. Saat itu aku mendoakan semoga van impiannya segera terwujud dan dia berjanji jika aku ke Perancis, dia akan mengajakku camping dengan mobilnya.
Siapa sangka, guyonan itu jadi kenyataan. Setahun lalu, aku benar-benar diajaknya camping dengan mobil van-nya di pegunungan Pyrenees sesuai janjinya.
Kami berangkat Jum’ at sore. Hari itu cerah menyenangkan. Kami perlu waktu sekitar 3 jam untuk sampai di gunung. Tiba pas menjelang senja karena sengaja mampir-mampir untuk jajan.
Untuk makan malam, Q masak bebek goreng crispy yang rasanya seenak Bebek Slamet. Serius seenak itu. Kalah sambel aja. Ini adalah bebek kalengan yang digoreng dengan lemaknya.
Malam itu langit lumayan cerah, bahkan nampak milky way, tapi karena sangat dingin, aku memilih mendekam di dalam mobil.
Keesokan paginya, kami turun gunung menuju sebuah desa kecil cantik yang bernama Saint Girons. Disini, pas Sabtu pagi ada pasar kaget yang menjual produk lokal, utamanya keju, aneka sayur mayur dan beragam jajanan enak. Kami jajan pie apel, grilled chicken, melon dan tentu saja keju.
Setelah kenyang jajan, kami selanjutnya menuju ke tujuan utama yaitu BENTENG CARCASSONNE (Château et remparts de Carcassonne). Carcassonne adalah sebuah kota sekitar 90 km dari Toulouse, Perancis Selatan. Benteng ini adalah situs budaya UNESCO. Bangunannya seluas 2,5 km, berbentuk segi empat, dan memiliki 53 menara pengawas. Merupakan benteng terbesar di Eropa peninggalan abad pertengahan (medieval) .
Untuk masuk area benteng, tidak dikenakan biaya masuk, di dalam ada beragam cafe dan toko souvenir. Tempat parkir di luar cukup luas, namun lumayan penuh.
Kami meninggalkan Carcassonne menjelang sore, mampir sekalian di pusat kota Toulouse karena besok aku sudah harus menuju Paris.
Toulouse adalah markas besar Boeing. Kota ini dijuluki “kota Pink” karena pusat kotanya didominasi batu bata yang melukis kota dengan warna pink. Pusat kota lumayan rame, pusat perbelanjaan lengkap dengan beragam cafe tempat nongkrong.
3 hari di Toulouse bersama Q berakhir di Minggu sore. Q mengantarku ke stasiun untuk melanjutkan perjalanan menuju Paris dengan Flix Bus.
Meskipun ini pertemuan pertama, kami seakrab saat online. Ya, berteman di dunia maya memang tidak selalu jadi cerita indah. Oleh karena itu, sebelum memutuskan menginap di tempat Q, aku telah menjelaskan dan memastikan dia menerima dan menghormati batasan-batasanku sebagai Muslim. Aku juga meminta poto ID card nya untuk data pribadiku.
Sebelum memulai solo tripku ke Eropa, aku memberikan semua jadwal perjalanan, alamat semua hotel dan host serta detail data orang-orang yang rencananya aku temui kepada teman baikku di Jakarta. Setidaknya, jika terjadi sesuatu padaku, ada orang terdekat yang tau kemana harus mencari informasi.
We have our own favorite season, but if its about Japan, Spring is always amazing season to enjoy when Sakura is everywhere. Turns Japan into a real literally “sakura land”.
It was kinda “serendipity” when i went to Izu Peninsula on mid Feb.2017. I did not expect to meet Sakura since it was too early and only wanted to visit the farthest area covered by Tokyo JR Pass. Expected to use it maximally since it was pretty expensive. On my way to Izu Peninsula i saw a lot of Sakura trees already blooming and even in one area, there were a river full of flower. Later, i knew this river called Kawazu-river.
The Kawazu Cherry Blossom Festival (Kawazuzakura Matsuri) located on the Izu Peninsula, about 2 and half hours from Tokyo Station by train. Here, Sakura blooms early on Mid February to Early March. Not so far from Tokyo, about 2 and half hours by train. The train route itself was pretty amazing, blue ocean. If the weather is good, we can see Mount Fuji along the way.
Here, there was kind of festival, a lot of food and souvenir sold by local people
Pertama kali melihat penampilan Lea (Shepherd dari German yang dipekerjakan oleh host WWOOF ku di Interlaken) pas berangkat mengembala kambing ke gunung, aku seperti melihat seorang Rey, The Last Jedi tapi versi rambut rasta. Keren plus tangguh. Waktu punya kesempatan ngobrol sama dia, aku kepo untuk bertanya apakah dia pernah punya rasa takut naik turun gunung, siang, sore, malam setiap saat jika dia diharuskan mencari kambing yang ilang? (Sebenarnya mah takut yang aku tanyakan itu soal takut ketemu hantu).
Lea bilang, iya dia takut, apalagi ternyata tepat sebulan lalu, temannya sesama shepherd (awalnya dia berdua melakukan tugas ini) mengalami kecelakaan fatal, kejatuhan batu dari atas gunung, segede kepala pas di tengkuknya. Beruntung, gadis itu selamat karena otaknya tidak terluka. Benar-benar sebuah keajaiban, setelah 3 hari koma, seminggu kemudian dia sudah kembali beraktifitas seperti biasa.
Ya, meskipun pegunungan Alpen adalah tempat yang sangat indah, hutannya lebih kalem jauh berbeda dengan tipikal hutan tropis yang cenderung lebat dan gelap, tetap saja alam menyimpang kekuatannya dan bahaya tersembunyi. Claudia sebagai tuan rumah selalu menasehati kami untuk hati-hati, fokus, berusaha tidak berada di bawah tebing tempat kambing merumput, karena kambing bisa saja menjatuhkan bebatuan dari tebing, mengurangi ngobrol dan bercanda karena bisa mengganggu konsentrasi.
View Interlaken dari atas gunung
Saat aku bertanya apa yang Lea rasakan saat itu? Dia bilang panik, takut karena dia hampir yakin temannya meninggal di tempat. Kejadian itu masih selalu terbayang setiap kali dia naik gunung, dan itulah sebabnya setelah kejadian itu dia lebih sering kehilangan kambing. Binatang bisa merasakan ketakutan pada diri kita, sehingga mereka jadi lebih susah dikendalikan.
Bagaimana cara membawa seseorang yang mengalami kecelakaan ke rumah sakit di tempat seperti ini? Sementara untuk mencapai jalan raya terdekat butuh waktu setidaknya 40 menit jalan kaki. Ternyata penduduk di pegunungan Alpen biasa carter helicopter. Pada case Lea, selain faktor keberuntungan, juga karena penanganan dan kesigapan tim SAR dan medis yang super cepat. Saat kejadian, Lea segera menghubungi Claudia untuk meminta bantuan, kemudian Claudia menghubungi tim SAR yang segera mengevakuasi korban. Semua proses hanya butuh waktu sekitar 10 menit hingga sampai rumah sakit dan korban mendapat pertolongan. Yeah, that’s Swiss.
Jika hal itu terjadi pada orang yang kurang tanggap (sebut saja saya), bisa saja proses panik sendiri, binggung mo ngapain, nangis, moment blank bisa memakan beberapa puluh menit bahkan jam dan bisa saja mengakibatkan korban tak tertolong. Teringat beberapa kasus pendaki yang tersesat di beberapa gunung di tanah air belakangan ini. Proses pencarian bisa memakan waktu beberapa hari dan sering menemukan korban sudah meninggal.
Heli Base di Lauterbrunnen, Swiss
Saat kami sedang ngobrol, terdengar deru suara helikopter, ternyata selain untuk rescue, penduduk Alpen juga biasa menyewa heli untuk delivery barang-barang kebutuhan sehari-hari, material untuk membangun rumah, furniture atau pakan ternak yang tidak memungkinkan untuk dibawa manual dari bawah. Hebatnya lagi, dari base heli di Interlaken ke atas Alpen rata-rata hanya perlu waktu 2 menit sekali jalan. Iya, 120 detik doang.
Untuk menghemat ongkos carter, ternyata juga boleh sharing. Asal lokasi berdekatan dan volume mencukupi. Jadi ngebayangin suatu hari nanti go-send atau go-food ngantar pakai Heli, 😆.
Carter Heli memang bukan hal baru di negara maju, juga bukan cuman di Swiss. Tapi bagi orang udik kaya aku, pengalaman menyaksikan delivery service pakai Helikopter itu bisa bikin moment melongo sesaat.
Btw pas aku masih kecil, moment melihat pesawat melintas di atas langit kami adalah moment berharga. Kebiasaan anak-anak di kampungku pas dengar suara pesawat adalah langsung keluar rumah, da-da-da-da ke atas sambil teriak “Kapal, njaluk duite” (Kapal minta uang…🙊). Kami melakukannya dengan tawa bahagia seakan Mas Pilot sedang melongok ke bawah melihat kami. Kangen masa itu.
Aku sempat mampir ke Swiss Helicopter Base di Interlaken. Pilotnya ramah-ramah (cakep sudah pasti). Jadi pingin punya suami Pilot.
Baking adalah hobi baruku sejak punya oven mini setahun lalu. Oven itu dibeli khusus untuk misi membuat macaroon.
Pencapaian terbaik so far…
Misi ini sudah aku uji coba berkali-kali, dan belum menunjukkan hasil mendekati berhasil. (mendekat aja belum lo… )
Aku bukan tipe pantang menyerah, kalau sudah bosan ya sudah aja.. beberapa kali mencoba resep cake lain dan sering gagal, aku tidak terlalu memaksakan diri. Wong takarannya juga pake naluri. Iya, aku tidak pernah menggunakan timbangan. Antara sayang uang mau beli dan masih menikmati metode kira-kira. Seru aja gitu
Namun, obsesiku terhadap macaroon ternyata lumayan awet. setidaknya masih bertahan hingga kini.
Entah apa yang salah (selain kalibrasi instinct kira kira) segala metode dan resep belum juga berhasil. Bahkan yang bertittle anti gagal sekalipun.
Macaroon itu simple tapi sulit. Itulah letak daya tariknya.
Hingga postingan ini publish, aku masih belum bisa membuat macaroon yang mendekati berhasil. Masih belum minat juga beli timbangan (ntar kl udah ditimbang sesuai resep n masih gagal apa dung yg mau disalahin lagi?)
Perjuanganku VS Macaroon masih akan berlanjut. Jika ada yang punya tips n trik, please help me…
Located pretty near from Shin Sapporo Station, this open air museum was pretty awesome when i visited it on winter, last year. There were almost no other visitor made this place like my own play ground.
After visiting other tourism spot which mostly crowded in Sapporo on February, i was so lucky to enjoy the this place calmness.
Snow was covering all the area, turned it into white magical land. There were around 52 building of historical village around Meiji and Taisho Periods. Inside the building, we can find illustration of the real house.
There were horse and snow cart riding services, cafe, toilet and souvenir store.
How to go there : Take JR Bus新22(№22) from JR Shin Sapporo Sta.(Shin-SapporoBus Terminal track No.10) (travel time:approx.18 min.) or JR Bus新22(№22) from JR Shinrin koen Sta.(travel time:approx.10 min.) and get off at the last stop “Kaitaku-no-mura.”
Open from 9 AM to 5PM, entrance fee 800Yen for adult and 600Yen for student.
Iya, benar. Jangan benci pasangan mantanmu. Maksudku disini, jangan membenci pacar baru atau istri yang dipilih mantan kita.
Jika ada di antara kamu yang juga pernah mengalami rasa ini,
Aku pernah patah hati, oleh cinta pertama yang pernah sangat aku yakini jodohku. Bersama beberapa tahun, suatu hari aku mengetahui dia memilih wanita lain. Aku pernah merasa kecewa, marah, benci dan tidak terima. Namun anehnya, kemarahan itu lebih kepada wanita pilihannya. Kenapa mesti ada wanita itu, kenapa mesti dia yang dipilih, kenapa dan kenapa lain.
Pernah mengalami masa suram yang panjang, saking panjangnya sampai tak yakin akan berakhir. Membanding-bandingkan diri sendiri dengan wanita itu, mendoakan yang buruk tentang mereka, stalking, dsb yang pada dasarnya menyakiti diri sendiri. Sementara kenal saja, tidak. Kami hanya mencintai lelaki yang sama, dan lelaki itu tidak memilih aku.
Kemarahan yang suatu hari kemudian aku tertawakan karena memang wanita itulah yang lebih pas mendampingi dia. Mereka cocok dari segi umur, agama, budaya, dan banyak hal lain. Aku yakin, tidak akan mudah bagiku jika akulah yang dia pilih. Belum tentu juga aku akan bahagia bersamanya dan dia bahagia bersamaku. Jika aku adalah dia, aku juga akan memilih wanita itu. Memilih yang terbaik dan paling cocok untuk pasangan hidup adalah hak semua orang, hak dia, hak kita.
Memang tidak mudah sampai pada level “menerima”. Apalagi saat cinta berubah menjadi ego. Perasaan tidak terima ditinggalkan, merasa lebih baik daripada wanita pilihannya, merasa kalah, merasa dikhianati… Berdamailah dengan segala rasa itu, puas-puaskan dan sudahi segera.
Tuhan tidak pernah salah, terutama soal jodoh. Jika dia memilih yang lain, itu karena dia bukan jodoh kita. Suatu hari nanti, bisa jadi kita berterima kasih kepada wanita pilihannya karena telah menyelamatkan kita dari lelaki yang salah.
Kita juga berhak bahagia, dan melepaskan yang tidak lagi mau digengam itu meringankan langkah, melapangkan dada, menerangi hati, menyembuhkan jerawat, mendekatkan jodoh dan mengurangi insomnia. Berhenti membenci, mulailah bahagia.
Mumpung belum terlanjur lupa, sekarang, saatnya melanjutkan cerita petik apel di Bern, Swiss. Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, Hostku bernama Philipp, seorang pria gaul berambut rasta. Aku tebak dia sekitar berusia 40an, berhubung anaknya yang pertama sudah berusia 18 tahun.
“Dont jugde a book from its cover” benar-benar cocok untuk Philipp. Di balik cover Bob Marley-nya, Philipp adalah pria penyayang dan seorang yang sangat berjiwa sosial. Dia adalah salah satu anggota Social Housing, sebuah program pemerintah Swiss untuk mengembalikan warga yang memiliki masalah social untuk kembali ke masyarakat. Masalah social itu antara lain kecanduan narkoba, kriminal atau masalah depresi. Philipp menerima orang-orang bermasalah itu untuk bekerja di perkebunannya, memberi konseling dan membantu mereka memulai hidup baru di masyarakat.
Tahukah kamu, ternyata Swiss pernah mengalami krisis narkoba kelas berat. Bahkan Swiss dikenal sebagai “Europe’s biggest open drug scene”, tidak main-main karena narkoba yang dimaksud adalah Heroin. Banyak warga meninggal karena candu. Di sebuah taman di Zurich yang bernama Zurich’s Platzspitz park, (dijuluki ‘needle park’ oleh The New York Times) pada tahun 1990an ribuan orang dengan terbuka menyuntikkan obat-obatan pada tubuh mereka hingga sekarat. Melihat kondisi yang semakin memprihatinkan, pemerintah berusaha mencari berbagai cara untuk mengatasi krisis narkoba hingga akhirnya menemukan cara efektif yang paling kontroversial. Swiss memerangi narkoba dengan narkoba. Swiss adalah negara pertama yang menjalankan Heroin on prescription untuk membantu para pecandu kembali ke kehidupan normal. Methadone legal diresepkan di Swiss untuk pengobatan pecandu heroin. Cara ini terbukti efektif mengurangi jumlah pecandu dan penyebaran HIV. Program ini ternyata sukses merubah image pecandu yang awalnya dikira keren jadi semacam penyakit. Kekhawatiran akan peningkatan pengguna karena pelegalan nyatanya tidak terjadi disini. Saat ini program tersebut telah diadaptasi oleh Canada dan Belanda.
Nah, program lanjutan selain mengobati kecanduan tersebut adalah mengembalikan para mantan pecandu ke kehidupan social masyarakat, mengembalikan kepercayaan diri mereka. Itulah yang dilakukan oleh Philipp. Selain mantan pecandu, orang-orang dengan masa lalu criminal, masalah keluarga atau depresi personal juga diterima disini. Korban patah hati juga boleh daftar Saat aku bertanya kenapa dia mau melalukan itu? Dia bilang karena dia senang bisa menolong orang lain. Membantu orang lain membuatnya bahagia. Fortunatelly or unfortunatelly, pas aku disana, Philipp sedang libur dari pekerjaan sosialnya. Dia mengaku terkadang juga lelah.
Aku beruntung (beneran beruntung) datang ke Matzwil di bulan October, saat apel-apel merah ranum siap panen. Tahun 2018 kemarin adalah tahun yang baik untuk apel, semua pohon apel di seluruh Swiss berbuah lebat berkat dukungan cuaca yang lebih hangat dari biasanya. Beberapa tahun sebelumnya, karena terlalu banyak hujan dan cuaca yang terlalu dingin, bunga apel banyak yang rontok. Jumlah panen turun drastis bahkan banyak petani yang memutuskan menebang pohon mereka karena merugi. Akibatnya, supply apel untuk konsumsi masyarakat menjadi jatuh. Melihat fenomena ini, pemerintah Swiss-pun memberi bantuan financial kepada petani apel agar mau mempertahankan tanaman mereka. Pemerintah Swiss baik ya..(ngiri😆)
Kebun Apel Philipp murni organik, dia hanya menggunakan pupuk kandang (dari sapi organik) untuk pupuk. Tidak ada pestisida sama-sekali. Bahagia melihat pohon apel yang penuh dengan buah berwarna merah ranum siap panen.
Apel yang dipetik dipisahkan menjadi 3 grade dan ditaruh pada box berbeda, kualitas 1, apel dengan kondisi dan bentuk sempurna untuk konsumsi, kualitas 2 untuk buah konsumsi dengan harga lebih murah dan kualitas 3 adalah buah jatuh pohon atau dimakan ulat untuk bahan selai dan juice. Semua buah ini meskipun cacat, namun melalui proses pembersihan dan sterilisasi sebelum diolah. Jangan khawatir untuk keamanannya. Juice dari kebun apel Matzwil rasa dan aromanya…. the best i ever had.
Setiap Minggu, Philipp juga menyumbangkan beberapa box apel grade 3 untuk sebuah pabrik apel local yang mempekerjakan difficult people di daerah itu. Untuk pekerjaanku sendiri, hanya membantu Lukas and the gang (baca Post sebelumnya ) memetik apel dari jam 8 pagi sampai jam 3 sore. Senin-Jumat, Sabtu Minggu libur. Jam 10 pagi dan jam 3 sore adalah waktunya tea time. Kami istirahat 30 menit untuk minum teh dan ngemil roti.
Istirahat siang antara jam 12-1.30, makan siang dan istirahat. Philipp adalah koki yang hebat. Karena dia adalah seorang Vegan, Philipp tidak memasak daging dan telur tapi dia pandai mengkombinasikan kacang-kacangan dan biji-bijian sebagai sumber protein. Masakan Philipp adalah masakan terenak dan paling cocok dilidahku selama 6 minggu keliling Swiss Perancis. Selesai makan, kami mencuci peralatan makan dan masak bersama-sama.
Bagiku secara pribadi, pekerjaan ini menyenangkan namun cukup berat karena mesti angkat-angkat keranjang apel. Aku kagum pada Caroline dan Marlina yang sangat kuat dan cekatan mengangkat keranjang besar apel, naik turun tangga, nyetir traktor, dll. Padahal mereka lebih mirip barbie cantik bermata biru dari luar.
Awal October tahun lalu cuaca di Bern pas pagi bisa sangat dingin, sekitar 5 derajat celcius tapi mendadak terik perlahan saat matahari bangun. Jam 12 siang, suhu bisa mencapai 33 derajat. Nah jadinya, pakaian kamipun menyesuaikan. Pas pagi semua pakai jaket tebal, sarung tangan, masker, tapi tengah hari Marlina dan Marcela mendadak ganti kostum, hanya pakai BH dan celana pendek. Jadilah kebun apel rasa pantai.
Kebayang kalau mereka jadi buruh petik apel di Batu atau Bandung, bisa didatangi warga buat diajak selfie atau malah diprotes karena terlalu sexy 🤣. Meskipun kami tidak bisa ngobrol gegara roaming bahasa, Polish Gang memperlakukanku dengan sangat ramah.
Pertanyaan paling populer soal solo traveling selain kesepian adalah keamanan. Ini adalah pertanyaan tak terjawab, karena aku percaya tidak ada tempat di bumi ini yang totally safe. Jangankan pas jalan-jalan ke tempat asing, di rumah kita sendiri saja selalu ada kemungkinan bahaya. Jadi, selalu berhati-hati adalah kuncinya.
Membahas tentang situasi-situasi yang agak berbahaya selama solo traveling, aku punya beberapa pengalaman ngemper di beberapa tempat. Istilah ngemper ini mengacu pada upaya penghematan dengan tidak menginap di hostel tetapi dengan menghabiskan malam di tempat umum.
Pengalaman pertama ngemper international adalah di Changi. Waktu itu bareng teman, bertiga jadi aman-aman saja. Ngemper ke dua di Narita, waktu itu pas dari Sapporo balik ke Tokyo dengan flight malam. Beruntung ada teman mahasiswa Malaysia jadi ga sendirian. Waktu itu pas musim dingin. Aku dapat kursi di depan pintu masuk. Jadilah pas pintu terbuka langsung diserang dingin. Brrrrr….
Berbekal 2 pengalaman ngemper international di atas, aku sudah meniatkan acara ngemper di trip Swiss-Perancis kali ini.
Pertama, ngemper dini hari di jalanan Lyon
Yes, literally jalanan. Ceritanya aku dalam perjalanan ke Ales (Perancis) dari Interlaken (Swiss) menggunakan Flix Bus. Perjalanan itu lumayan panjang dengan 2 kali transit. Milan (Itali)- Lyon baru Nimes, stasiun terdekat dengan Ales. Interlaken-Milan hanya sekitar 5 jam, aku sampai di Milan sekitar jam 2 siang, perjalanan selanjutnya Milan-Lyon, sekitar 7 jam. Transit di Milan sekitar 4 jam.
Berangkat jam 6 sore dari Milan, prediksi sampai di Lyon jam 1 an dini hari. Karena trip selanjutnya Lyon ke Nimes jam 8 pagi, jadi aku sengaja tidak booking hotel, for the sake of penghematan aku niatkan bermalam di stasiun, dengan prasangka positif di Eropa pasti stasiun buka 24 jam, ataupun kalau tidak pasti ada halte yang layak untuk ngemper.
Perjalanan kami delay 1 jam karena pada saat pemeriksaan document di perbatasan Itali ke Perancis, ada seorang penumpang, cowok muda yang pas duduk depan bangkuku, tak memiliki document lengkap sehingga Polisi perbatasan Itali menahan bus kami. Setelah sejam dia dibawa ke kantor polisi dan tidak juga kembali, perjalananpun dilanjutkan. Sang cowokpun tertahan di perbatasan. Semoga dia baik baik saja.
Jam 2 malam, driver menyampaikan lewat pengeras suara kalau kami telah sampai di Lyon. Oh no, ternyata station Lyon hanya dibuka sampai jam 12 malam, sehingga bus hanya menurunkan penumpang di jalanan depan stasiun. Disana, tidak ada bangku, tidak ada halte bus, hanya ada seperator jalan dengan trotoar. Angin sepoi-sepoi menambah dingin udara, Alhamdulillah tidak hujan meski langit mendung.
Aku dengan menenteng 2 backpack dan sebuah tas tangan, ndoprok di pinggiran jalan sendirian. Hmm, enggak sendirian juga sih, ada beberapa pria, yang juga sepertinya turun berbarengan denganku dan beberapa orang yang sepertinya menunggu bus, berdiri di pinggir jalan, ada yang ngobrol ada yang sedang merokok.
Udara makin dingin, beberapa orang telah naik bus yang mereka tunggu, menyisakan aku dan makin sedikit orang di jalanan itu. Tengok kanan kiri, di belakangku ternyata adalah sebuah restaurant dengan beberapa bangku di teras. Aku terpikir untuk berpindah duduk disana, namun enggan jika ternyata ada security dan kemudian aku diusir. Pengalaman diusir dari teras di resto Lyon bukan pengalaman indah yang bisa diceritakan pas pulang nanti, kan?
Beberapa saat kemudian ada 2 orang lelaki duduk disana. Akupun latah mengikuti mereka. Ternyata sudah ada beberapa orang yang tiduran di bangku pojok. Semua laki-laki. Horor, iyess.
Temanku yang asli Prancis sudah wanti-wanti agar aku hati-hati karena di setiap pinggiran stasiun adalah lokasi lokalisasi, tempat anak jalanan suka minum-minum dan sering kali jadi tempat transaksi narkoba. Iya, pas sebelah restoran ini adalah sebuah warung sex toys. Uhlalaaaaa… warna catnya pink dengan lampu neon kelap-kelip ungu.
Masih jam 3, aku mencoba tidur di kursi, sambil memeluk harta bendaku, berselimut jaket dan berdzikir dalam hati. Aku terbangun saat seseorang menepuk punggungku, dia bilang stasiun sudah buka.
Station Lyon ternyata cukup gede, saat itu sudah ada beberapa bus yang mulai beroperasi tapi kereta pertama baru akan mulai jalan jam 5:30. Aku menemukan bangku di sebelah vanding machine depan pintu utama, ah ada sinyal wifi. Senangnya,
Sayang sekali, mampir di Lyon hanya untuk numpang tidur beberapa jam, di jalanan pula. Lain kali aku ingin balik ke sini, booking hotel minimal bintang 3 lah ya (Balas dendam). Bersyukur melewatkan malam dengan aman meski ga nyaman di pinggir jalan station Lyon. Cukup sekali saja.
Next, Ngemper di Bus Central Strasbourg
Ternyata pengalaman ngemper di Lyon ga bikin aku jera, malah makin berani.
Kali ini adalah perjalanan pendek, masih dengan Flix Bus, dari Strasbourg ke Bern untuk WWOOFing ke 3. Perjalanan cuman 3 jam, tapi dimulai jam 3 pagi. Sudah aku niatkan untuk jalan kaki dari hotel ke terminal, toh cuman 30 menit, sekalian mampir masjid gede Strasbourg untuk sholat Magrib dan Isya. Akupun berjalan kaki sambil mengeret-geret koper dan menggendong ransel.
Karena ga pingin jalan dalam kegelapan nan sepi, aku memilih berangkat lebih awal, tepatnya sampe stasiun masih jam 9an, jadilah ngemper hampir 6 jam. Padahal naik trem cuman 2 Euro lo, tapi aku milih jalan kaki😝
Terminal Bus Strasbourg cukup nyaman, ada bangku dan penerangan cukup, relatif ramai. Hampir tiap 15 menit ada saja bus datang yang sharing wifi sebentar-sebentar. Lumayanlah, cukup buat chating ngusir bosan.
Saat itu aku duduk di bangku depan sebuah pusat informasi yang seatap dengan toilet umum, yang baru aku sadari sebenarnya adalah Smoking Area. Aku baru ngeh pas kali ke tiga ditanyai soal korek api. Sempat heran, kenapa mau pinjam korek ke aku? Pas noleh belakang baru ngeh tulisan Smoking Area.
Karena tidak mau disapa orang buat minjam korek lagi, aku pindah duduk di area bangku taman. Berhubung area terbuka… werrrrrrrr…. saat angin semriwing datang, dinginnya sampai ke tulang. Bersyukur malam itu cerah, bintang kelap kelip di langit dan busku pun datang on-time. Ngemper di Strasbourg bukanlah cerita horor.
Kali ini di Stasiun Central Zurich, Zurich HB
Masih ada cerita ngemper selanjutnya. Kali ini di Stasiun Central Zurich, Zurich HB, sehari sebelum balik ke Jakarta. Apalagi kalau bukan untuk alasan penghematan. Berhubung sudah kenal stasiun ini, maka aku relatif PD (apalagi berpengalaman di 2 lokasi ngemper sebelumnya).
Setelah puas keliling kota Bern, jam 8 sore aku naik bus menuju Zurich, cuman sejam. Awalnya mo nyari tumpangan di Couchsurfing, udah dapat 2 host, tapi akhirnya aku memutuskan ngemper di stasiun saja. Dari jam 9 malam aku mulai nongkrong di Zurich HB, baca buku, chatting, update instastory sampai kelaparan akhirnya ngantuk juga. Sekitar jam 1 malam aku rebahan di bangku panjang depan tempat ibadah. Bangku itu cukup panjang untuk 2 orang. Di bangku itu sudah ada seorang ibu-ibu yang yang rebahan juga. Beliau tersenyum ramah, tapi kami tak sempat ngobrol.
Aku terbangun tiba-tiba karena mimpi aneh, lupa mimpi apa, tapi pas aku membuka mata, aku melihat sebuah tangan mencoba membuka resleting tas kecilku yang aku taruh diantara dinding dan tubuhku (seingatku semalam aku memeluk tas itu). Reflek aku mendongak dan ternyata ada 2 orang pria sedang duduk di sebelahku, reflek aku senyum ke arah mereka. Sang Ibu ternyata sudah bangun. Aku masih setengah sadar atau mengigau, saat melihat jam tangan masih jam 4 pagi. Aku menutup kembali resleting tasku, terus balik tidur lagi. Tak lama kemudian, aku terbangun lagi, dan masih sama, aku melihat sebuah tangan berusaha membuka resleting tasku. Kali ini aku baru sadar ada bahaya. Duh… Lola banget. Masih 2 orang tadi, namun mereka lekas beranjak pas aku benar-benar bangun.
Lagi-lagi bersyukur, tak ada barang hilang, isinya memang bukan uang sih, tapi barang-barang kecil, souvenir dan PASPOR!!!! Hadew, tinggal di Swiss memang menyenangkan. Tapi kalau berlama-lamaan disini gara-gara paspor ilang??? Amit-amit…. jangan sampai kejadian ya Allah….
Eh, masih ada lagi cerita ngemper…. well ini beneran yang terakhir !!!
Hari ini adalah hari terakhirku di Swiss, besok jadwal balik ke Jakarta. Rencana hari ini adalah numpang gosok gigi di toilet yang bayar 1,8Euro, nitipin tas di loker selama 10 jam, keliling kota Zurich kemudian ngemper di Bandara. Karena agak parno ngemper di stasiun lagi, aku memilih ngemper di bandara malam ini. Pertimbangan pertama adalah karena bandara pastinya lebih rame, 24 jam, lebih aman dan lebih mudah nyari toilet (gratis).
Jam 10 malam aku naik kereta ke bandara, cuman sekitar 20 menitan. Saat itu situasi ramai seperti bandara sewajarnya.
Akupun hunting posisi PW untuk tidur. Sempat tertidur sejam, aku terbangun sekitar jam 12 malam and bengong karena saat itu tidak ada lagi orang di sekitarku yang awalnya lumayan rame. Hanya ada sekitar 3-4 orang di bangku seberang. Well, dan keadaanpun semakin malam semakin sepi. Karena penasaran, aku mencoba keliling, mengharap situasi berbeda di sudut lain, but… di bandara segede itu beneran hampir tidak ada orang. Semua counter Duty Free, toko tutup. Entah jika ada area yang buka 24 jam di sebuah sudut yang tak terjamah.
Setelah muter-muter ga jelas dengan rasa khawatir ketemu satpam terus diusir, aku menemukan 2 orang sedang tertidur di bangku dekat counter check in. Aku pun ikut ikutan buka lapak disana. Kelelahan, akhirnya tertidur pulas, baru terbangun jam 6 pagi. Saat itu, bandara Zurich-pun normal lagi. Penting banget untuk cari tau dulu jam operasional tempat-tempat umum macam bandara atau stasiun. Ok, catet. Lesson to learn!! Merasakan bandara Zurich serasa milik sendiri semalaman adalah pengalaman yang tidak ingin aku ulangi.
Well, jujur, ngemper di tempat umum bukan pengalaman yang menyenangkan. Meski selalu ada sensasi puas pas melewati saat-saat genting (plus menyelamatkan budget), namun sebaiknya keamanan tetep jadi prioritas utama dimanapun berada. Kalaupun pingin nyobain pengalaman ngemper di tempat umum, sebaiknya survey tempatnya dulu, siapin bekal makan minum cukup, download film secukupnya atau bawa buku bacaan. Biar jadi ngemper rasa piknik.
Sering banget dapat komen, “Jalan-jalan ga ngajak-ngajak sih?”, “lain kali ajakin aku jalan bareng ya,..”. Setelah baca cerita ini, masih mau ikutan??
Di Jawa, istilah “Dapur, Sumur, Kasur” untuk perempuan, masih sangat kental diterapkan. Tugas laki-laki adalah sebagai kepala keluarga, mencari nafkan dan sudah sepatutnya dilayani. Pun, melayani suami dengan baik adalah tugas dan kewajiban istri. Namun, apakah berada di dapur dan membantu istri bisa menurunkan derajat lelaki?
Please don’t take it seriously, karena ini hanya pendapatku dan tentang pengalaman tinggal dengan beberapa keluarga dengan cerita masing-masing selama menjadi WWOOFer.
Di sekitarku, bahkan di rumah masih jarang melihat laki-laki di dapur atau suka rela membantu istri ngerjain pekerjaan rumah, apalagi kalau istri tidak kerja. Ibaratnya menjunjung tinggi pembagian scope kerja suami dan istri. Suami cari uang and istri merawat rumah dan anak-anak. Tugas mencari nafkah memang sudah berat, tapi jika pekerja formal umumnya minimal seminggu sekali libur, tugas Ibu tidak begitu. 24 jam sehari 7 hari seminggu selamanya.
Namun ada juga fenomena bapak rumah tangga berkembang di desaku (sebuah desa di pegunungan pinggiran Malang) beberapa tahun terakhir. Karena keterbatasan keterampilan dan ketersediaan pekerjaan untuk pria, peran mencari penghasilan berpindah pada wanita, rata-rata dengan menjadi TKW. Menjadi tenaga kerja di luar negeri adalah pilihan yang cukup menjanjikan perbaikan ekonomi. Karena sang ibu harus merantau untuk waktu yang lama, minimal setahun, tugas merawat anak umumnya diambil alih sang bapak. Pada kasus seperti ini, secara pribadi aku kurang setuju jika peran pencari nafkah mesti “sepenuhnya” berpindah ke Istri. Wanita adalah tulang rusuk, bukan tulang pungung.
Neuchatel Lake
Aku pribadi, adalah pengagum lelaki yang pinter masak. Bagiku, lelaki yang pinter masak itu SEXY. Seriuosly!!! Ditambah lagi yang tidak enggan mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti cuci piring atau bersih bersih, berperanserta dalam momong anak juga. Bukan modus cewek males looo…, tapi beneran romantis melihat pasangan suami istri saling bantu mengerjakan pekerjaan rumah. Suami istri adalah team, sudah sepatutnya saling support.
Pengalamanku tinggal di 3 keluarga berbeda selama WWOOFing menunjukkan sebuah anomali. Di Interlaken, dimana semua penghuni rumah adalah wanita, pekerjaan rumah tangga cenderung tidak begitu diperhatikan, masak-memasak kadang kadang, beres-beres rumah kalau sempat. Namun para wanita itu sangat tangguh dan ahli bekerja pada bidang yang sebenarnya lebih cocok untuk pria.
Sementara itu, di rumah Philipp yang 80% penghuninya lelaki, seluruh sudut rumah malah selalu rapi bersih bersinar. Makanan selalu makanan beneran yang rasanya selalu enak. Di tempat lain, Vincent dan Cecile saling support satu sama lain. Ok, lets say itu bukan budaya tapi kebiasaan sebuah keluarga atau kesepakatan masing-masing pasangan.
Well, beda keluarga beda adat pastinya ya, termasuk pengaruh kulture sosial juga. Philipp mengatakan bahwa sejak 20 tahun belakangan, di Swiss lelaki mulai terbiasa bekerja di dapur, suka masak dan mengerjakan pekerjaan rumah membantu istri. Sebelumnya, pria mengerjakan pekerjaan rumah juga tidak umum. Namun saat ini, baginya, budaya yang menganggap pekerjaan rumah tangga hanya untuk wanita itu old school banget, sudah kuno.
Aku setuju, K-U-N-O. Terutama jika istri juga bekerja, tentunya akan sangat terbantu jika suami juga ikut membantu pekerjaan rumah. Bahkan, riset membuktikan bahwa peran ayah dalam mengasuh anak juga memberi efek positif bagi perkembangan mereka. Pernah baca sebuah quote, “Dad who respond to his baby crying, rock them and change diapers, are not helping Mom, they are being fathers “.