Design a site like this with WordPress.com
Get started

Perpanjangan Paspor Sebelum Masa Berlaku Habis

Pandemi masih belum usai, pembatasan perjalanan masih berlaku dimana-mana. Meski belum bisa jalan-jalan bebas seperti sebelumnya, namun tetap kan ya mesti peduli dengan dokumen perjalanan. Coba cek masa berlaku paspormu, siapa tau sudah hampir kadaluarsa.

Masa berlaku pasporku akan berakhir di pertengahan Desember 2021, kalau dihitung dari sekarang, masih 8 bulan lagi. Sempat bertanya-tanya apa bisa memperpanjang paspor sebelum masa berlaku habis ? atau minimal tinggal 6 bulan ? Ternyata bisa.

Karena ada rencana untuk mengajukan visa, akupun terpikir untuk memperpanjang pasporku terlebih dahulu. Mengingat masa pandemi yang masih belum jelas, aku khawatir masa berlaku paspor akan jadi pertimbangan kedutaan. Selain itu, berada di negara asing dengan paspor yang masa berlakunya masih lama, akan lebih tenang dan nyaman. Jadilah aku memutuskan memperpanjang paspor di bulan April, tepatnya Senin 19 April lalu di Kantor Imigrasi Kelas 1 Jakarta Selatan di Warung Buncit.

4 tahun ternyata sudah cukup untuk membuatku lupa step by step perpanjangan paspor, jadi rasanya perlu juga untuk mencatat, siapa tau juga ada yang sedang perlu informasi ini. Berikut ini langkah-langkahnya

  1. Siapkan dokumen, antara lain : paspor lama, dikopi 1x pada bagian informasi paspor, kopi E-KTP, kopi Akte dan KK (optional untuk perpanjangan, harus untuk pembuatan paspor baru), kemudian isi form pengajuan yang bisa di download disini untuk Imigrasi Kelas 1 Jakarta Selatan ya, http://jakartaselatan.imigrasi.go.id/?p=perdim11
  2. Aku melampirkan surat pernyataan permohonan perpanjangan paspor sebelum masa berlaku habis bermaterai beserta surat undangan sponsor untuk memperkuat alasan permohonan perpanjangan paspor sebelum masa berlaku habis. Kurang tau ini harus atau optional, tapi sepertinya sangat membantu.
  3. Daftar antrian online melalui aplikasi Layanan Paspor Online. Oiya, telitilah untuk mengklik jenis antrian, karena ada antrian paspor baru dan perpanjangan. Namun, jika tanpa sengaja salah pilih, jangan di-cancel karena setelah itu akun kita akan terkunci dan baru bisa digunakan lagi setelah 30 hari. Tetap gunakan antrian yang sudah terdaftar. Menurut petugas, tidak masalah jika terjadi kesalahan seperti itu.

ini ni buku panduannya : https://www.imigrasi.go.id/uploads/16-12-58-BUKU_PANDUAN_APAPO_(Untuk_Pengguna_Umum).pdf

4. Datang sesuai jadwal. Setelah dokumen dicek petugas, kita diminta untuk menunjukan barcode antrian online kemudian akan diberi print out nomer antrian. Selanjutnya kita diarahkan ke lantai 2, tunggu nomer antrian kita dipanggil. Saat itu hanya ada 5 orang yang sedang mengantri.

5. Wawancara seperti biasa, kemudian ambil foto dan sidik jari.

6. Melakukan pembayaran di konter Bank BRI di kantor Imigrasi. Sangat praktis karena 1 lokasi. Biayanya Rp. 650.000 untuk E-passport. Simpan baik baik bukti pembayaran untuk pengambilan paspor nanti.

7. Paspor bisa diambil 3 hari setelah pembayaran. Pengambilan paspor bisa datang langsung tanpa daftar online hanya dengan membawa bukti pembayaran dan KTP dari jam 8 pagi.

Selesai. Ya, semudah itu. Bangga dengan perbaikan layanan kantor Imigrasi Kelas 1 Jakarta Selatan. Ingat 4 tahun lalu, antrian masih manual dan cukup panjang, sementara pengambilan hanya setelah jam 1 siang.

Sekarang, bisa cek status pengajuan paspor melalui whatapps juga lo,

Advertisement

(Bukan) Jilbab Para Malaikat

“Berjilbab tapi ngerokok, “

“Pakai jilbab tapi kelakuannya…. mending dicopot aja.. “

“aku belum siap pakai jilbab, takut ga bisa menyeimbangkan sama sikap, takut ntar copot pasang…”

Aku sering mendengar kata-kata itu, sering juga baca berita soal artis yang dibully gara-gara memutuskan menanggalkan jilbab atau karena ketahuan merokok, dugem, dll.

Aku masih ingat hari pertama memutuskan memakai jilbab. Hari itu aku butuh lebih dari 2 jam hanya sekedar untuk keluar kamar dengan jilbab (bukan untuk pergi ngaji). Hari itu aku merasa tidak pantas mengenakannya, karena masih belum bisa menjaga sikap, mulut, hati…. Hal-hal yang sering kali jadi alasan untuk sebaik ya jangan dulu..

Sudah hampir 10 tahun sejak hari itu, dan aku masih belajar. Masih belum bisa mengenakan jilbab yang sesuai tuntunan syar’i. Masih suka pakai jeans, baju ketat, dan tentu saja masih sulit menjaga sikap maupun hati.

Aku belajar memahami jika menjaga jilbab itu bukan hal yang mudah. Maka aku memilih untuk “paham”(bukan berarti setuju), jika ada mereka yang tidak sanggup menjaganya kemudian memutuskan untuk menanggalkan. Namun, setidaknya, sebuah usaha dan keberanian untuk memulai adalah hal yang sudah layak untuk dihargai. Sekecil apapun usaha untuk menaati perintah Allah itu lebih baik daripada tidak sama sekali.

Namanya juga usaha, tidak semua berhasil. Ada yang gagal, dan itu sesuatu yang seharusnya bukan menjadi alasan untuk lebih baik tidak dicoba.

Tidak munafik juga saat mengetahui seseorang yang pernah aku kenal dulunya berjilbab, kemudian memutuskan untuk menanggalkan, dalam hati ada perasaan kecewa, menggangap hal itu buruk dan sebagainya. Menjadi kewajiban sesama Muslim untuk mengingatkan, menasehati. Namun, adab mengingatkan adalah dengan sembuyi-sembunyi.

Tak ada yang benar-benar kita miliki di dunia, semua hanya titipan. Termasuk iman. Jika Allah menghendaki, bisa saja iman yang kita banggakan hari ini diambil. Bisa jadi yang kita cibir hari ini, besok diberi hidayah. Kita tidak pernah tahu,

Yang aku tahu, jilbab itu untuk Muslimah, bukan untuk malaikat.

Aku berhenti jadi perfectionist,

Sejak kecil, aku punya bakat perfectionist. Selalu ingin jadi yang terbaik, ingin melakukan apapun dengan sempurna dan takut melakukan kesalahan. Iya, takut melakukan kesalahan, takut kalah. Bukan karena takut dimarahi, orang tuaku tidak pernah menuntut dan keluarga kami biasa-biasa saja. Namun aku memiliki ketakutan akan memori buruk tentang diri sendiri.

Sifat perfectionist itu menyiksa. Contoh saat aku melakukan kesalahan saat mengerjakan ulangan harian atau ujian semester, aku akan mengingat dan menyesali kesalahan itu hingga berbulan-bulan setelahnya, bahkan bisa sampai bertahun. Saat ada tugas menggambar, aku bisa menghabiskan berlembar-lembar kertas gambar hanya untuk 1 karya, dan masih juga merasa belum puas. Kedengaran konyol, tapi memang begitu adanya.

Hakone, Jepang

Perlahan, sifat perfectionist itu menjalar di dunia kerja. Kritik pernah jadi sangat menakutkan. Kesalahan kecil yang aku lakukan, meski dimaklumi oleh atasan dan rekan kerja, namun sulit aku maafkan. Benar, memaafkan diri sendiri itu lebih sulit. Saat itu, yang muncul adalah perasaan bodoh, tidak berguna dan ingin menyerah saja. Pernahkan kalian merasakan yang sama?”. Perasaan yang bahkan mengganggu tidur hingga datang dalam mimpi. Stress tanpa alasan yang jelas. Jika hari-hari itu datang, aku jadi melihat segala sesuatu pada diriku salah, tak berguna dan lupa mensyukuri apa yang aku miliki.

Saat aku melihat orang lain dengan mudahnya minta maaf dan melupakan kesalahan mereka, aku iri. Aku juga ingin begitu. Seiring pendewasaan, aku belajar untuk memahami bahwa kesalahan itu tidak selamanya buruk. Kesalahan adalah hal yang wajar, sesuatu yang perlu dipelajari dan diperbaiki, bukan hanya disesali. Menasehati diri sendiri mengenai 1 hal “kesalahan itu tak mengapa, asal bukan hal yang berdosa”. 

Belajar menerima kekurangan, mengakui kesalahan, dan memperbaiki diri adalah proses pendewasaan sekaligus proses mencintai diri sendiri. Menyayangi diri sendiri, belajar untuk menghargai usaha dan kerja keras sendiri. Setiap orang memiliki waktu dan proses masing-masing pada tahap ini, kita memiliki jadwal yang berbeda-beda. 

Saat aku mulai melepaskan sifat-sifat perfectionistku dan belajar untuk menerima diriku apa adanya, segala sesuatu jadi lebih mudah, lebih ringan. Lebih mudah memaafkan dan memahami kesalahan orang lain juga. Menyadari jika ketidaksempurnaan itu juga indah. I stopped being perfect and started being happy.

Me vs Macaroon

Baking adalah hobi baruku sejak punya oven mini setahun lalu. Oven itu dibeli khusus untuk misi membuat macaroon.

Pencapaian terbaik so far…

Misi ini sudah aku uji coba berkali-kali, dan belum menunjukkan hasil mendekati berhasil. (mendekat aja belum lo… )

Aku bukan tipe pantang menyerah, kalau sudah bosan ya sudah aja.. beberapa kali mencoba resep cake lain dan sering gagal, aku tidak terlalu memaksakan diri. Wong takarannya juga pake naluri. Iya, aku tidak pernah menggunakan timbangan. Antara sayang uang mau beli dan masih menikmati metode kira-kira. Seru aja gitu

Namun, obsesiku terhadap macaroon ternyata lumayan awet. setidaknya masih bertahan hingga kini.

Entah apa yang salah (selain kalibrasi instinct kira kira) segala metode dan resep belum juga berhasil. Bahkan yang bertittle anti gagal sekalipun.

Macaroon itu simple tapi sulit. Itulah letak daya tariknya.

Hingga postingan ini publish, aku masih belum bisa membuat macaroon yang mendekati berhasil. Masih belum minat juga beli timbangan (ntar kl udah ditimbang sesuai resep n masih gagal apa dung yg mau disalahin lagi?)

Perjuanganku VS Macaroon masih akan berlanjut. Jika ada yang punya tips n trik, please help me…

JANGAN BENCI PASANGAN MANTANMU..

Iya, benar. Jangan benci pasangan mantanmu. Maksudku disini, jangan membenci pacar baru atau istri yang dipilih mantan kita.

Jika ada di antara kamu yang juga pernah mengalami rasa ini,

Aku pernah patah hati, oleh cinta pertama yang pernah sangat aku yakini jodohku. Bersama beberapa tahun, suatu hari aku mengetahui dia memilih wanita lain. Aku pernah merasa kecewa, marah, benci dan tidak terima. Namun anehnya, kemarahan itu lebih kepada wanita pilihannya. Kenapa mesti ada wanita itu, kenapa mesti dia yang dipilih, kenapa dan kenapa lain.

Pernah mengalami masa suram yang panjang, saking panjangnya sampai tak yakin akan berakhir. Membanding-bandingkan diri sendiri dengan wanita itu, mendoakan yang buruk tentang mereka, stalking, dsb yang pada dasarnya menyakiti diri sendiri. Sementara kenal saja, tidak. Kami hanya mencintai lelaki yang sama, dan lelaki itu tidak memilih aku.

Kemarahan yang suatu hari kemudian aku tertawakan karena memang wanita itulah yang lebih pas mendampingi dia. Mereka cocok dari segi umur, agama, budaya, dan banyak hal lain. Aku yakin, tidak akan mudah bagiku jika akulah yang dia pilih. Belum tentu juga aku akan bahagia bersamanya dan dia bahagia bersamaku. Jika aku adalah dia, aku juga akan memilih wanita itu. Memilih yang terbaik dan paling cocok untuk pasangan hidup adalah hak semua orang, hak dia, hak kita.

Memang tidak mudah sampai pada level “menerima”. Apalagi saat cinta berubah menjadi ego. Perasaan tidak terima ditinggalkan, merasa lebih baik daripada wanita pilihannya, merasa kalah, merasa dikhianati… Berdamailah dengan segala rasa itu, puas-puaskan dan sudahi segera.

Tuhan tidak pernah salah, terutama soal jodoh. Jika dia memilih yang lain, itu karena dia bukan jodoh kita. Suatu hari nanti, bisa jadi kita berterima kasih kepada wanita pilihannya karena telah menyelamatkan kita dari lelaki yang salah.

Kita juga berhak bahagia, dan melepaskan yang tidak lagi mau digengam itu meringankan langkah, melapangkan dada, menerangi hati, menyembuhkan jerawat, mendekatkan jodoh dan mengurangi insomnia. Berhenti membenci, mulailah bahagia.

SENSASI NGEMPER DI EROPA

Pertanyaan paling populer soal solo traveling selain kesepian adalah keamanan. Ini adalah pertanyaan tak terjawab, karena aku percaya tidak ada tempat di bumi ini yang totally safe. Jangankan pas jalan-jalan ke tempat asing, di rumah kita sendiri saja selalu ada kemungkinan bahaya. Jadi, selalu berhati-hati adalah kuncinya. 

Membahas tentang situasi-situasi yang agak berbahaya selama solo traveling, aku punya beberapa pengalaman ngemper di beberapa tempat. Istilah ngemper ini mengacu pada upaya penghematan dengan tidak menginap di hostel tetapi dengan menghabiskan malam di tempat umum. 

Pengalaman pertama ngemper international adalah di Changi. Waktu itu bareng teman, bertiga jadi aman-aman saja. Ngemper ke dua di Narita, waktu itu pas dari Sapporo balik ke Tokyo dengan flight malam. Beruntung ada teman mahasiswa Malaysia jadi ga sendirian. Waktu itu pas musim dingin. Aku dapat kursi di depan pintu masuk. Jadilah pas pintu terbuka langsung diserang dingin. Brrrrr….

Berbekal 2 pengalaman ngemper international di atas, aku sudah meniatkan acara ngemper di trip Swiss-Perancis kali ini.


Pertama, ngemper dini hari di jalanan Lyon

Yes, literally jalanan. Ceritanya aku dalam perjalanan ke Ales (Perancis) dari Interlaken (Swiss) menggunakan Flix Bus. Perjalanan itu lumayan panjang dengan 2 kali transit. Milan (Itali)- Lyon baru Nimes, stasiun terdekat dengan Ales. Interlaken-Milan hanya sekitar 5 jam, aku sampai di Milan sekitar jam 2 siang, perjalanan selanjutnya Milan-Lyon, sekitar 7 jam. Transit di Milan sekitar 4 jam.

Berangkat jam 6 sore dari Milan, prediksi sampai di Lyon jam 1 an dini hari. Karena trip selanjutnya Lyon ke Nimes jam 8 pagi, jadi aku sengaja tidak booking hotel, for the sake of penghematan aku niatkan bermalam di stasiun, dengan prasangka positif di Eropa pasti stasiun buka 24 jam, ataupun kalau tidak pasti ada halte yang layak untuk ngemper.

Perjalanan kami delay 1 jam karena pada saat pemeriksaan document di perbatasan Itali ke Perancis, ada seorang penumpang, cowok muda yang pas duduk depan bangkuku, tak memiliki document lengkap sehingga Polisi perbatasan Itali menahan bus kami. Setelah sejam dia dibawa ke kantor polisi dan tidak juga kembali, perjalananpun dilanjutkan. Sang cowokpun tertahan di perbatasan. Semoga dia baik baik saja.

Jam 2 malam, driver menyampaikan lewat pengeras suara kalau kami telah sampai di Lyon. Oh no, ternyata station Lyon hanya dibuka sampai jam 12 malam, sehingga bus hanya menurunkan penumpang di jalanan depan stasiun. Disana, tidak ada bangku, tidak ada halte bus, hanya ada seperator jalan dengan trotoar. Angin sepoi-sepoi menambah dingin udara, Alhamdulillah tidak hujan meski langit mendung. 

Aku dengan menenteng 2 backpack dan sebuah tas tangan, ndoprok di pinggiran jalan sendirian. Hmm, enggak sendirian juga sih, ada beberapa pria, yang juga sepertinya turun berbarengan denganku dan beberapa orang yang sepertinya menunggu bus, berdiri di pinggir jalan, ada yang ngobrol ada yang sedang merokok.

Udara makin dingin, beberapa orang telah naik bus yang mereka tunggu, menyisakan aku dan makin sedikit orang di jalanan itu. Tengok kanan kiri, di belakangku ternyata adalah sebuah restaurant dengan beberapa bangku di teras. Aku terpikir untuk berpindah duduk disana, namun enggan jika ternyata ada security dan kemudian aku diusir. Pengalaman diusir dari teras di resto Lyon bukan pengalaman indah yang bisa diceritakan pas pulang nanti, kan?

Beberapa saat kemudian ada 2 orang lelaki duduk disana. Akupun latah mengikuti mereka. Ternyata sudah ada beberapa orang yang tiduran di bangku pojok. Semua laki-laki. Horor, iyess.

Temanku yang asli Prancis sudah wanti-wanti agar aku hati-hati karena di setiap pinggiran stasiun adalah lokasi lokalisasi, tempat anak jalanan suka minum-minum dan sering kali jadi tempat transaksi narkoba. Iya, pas sebelah restoran ini adalah sebuah warung sex toys. Uhlalaaaaa… warna catnya pink dengan lampu neon kelap-kelip ungu. 

Masih jam 3, aku mencoba tidur di kursi, sambil memeluk harta bendaku, berselimut jaket dan berdzikir dalam hati. Aku terbangun saat seseorang menepuk punggungku, dia bilang stasiun sudah buka.

Station Lyon ternyata cukup gede, saat itu sudah ada beberapa bus yang mulai beroperasi tapi kereta pertama baru akan mulai jalan jam 5:30. Aku menemukan bangku di sebelah vanding machine depan pintu utama, ah ada sinyal wifi. Senangnya,

Sayang sekali, mampir di Lyon hanya untuk numpang tidur beberapa jam, di jalanan pula. Lain kali aku ingin balik ke sini, booking hotel minimal bintang 3 lah ya (Balas dendam). Bersyukur melewatkan malam dengan aman meski ga nyaman di pinggir jalan station Lyon. Cukup sekali saja. 


Next, Ngemper di Bus Central Strasbourg

Ternyata pengalaman ngemper di Lyon ga bikin aku jera, malah makin berani. 

Kali ini adalah perjalanan pendek, masih dengan Flix Bus, dari Strasbourg ke Bern untuk WWOOFing ke 3. Perjalanan cuman 3 jam, tapi dimulai jam 3 pagi. Sudah aku niatkan untuk jalan kaki dari hotel ke terminal, toh cuman 30 menit, sekalian mampir masjid gede Strasbourg untuk sholat Magrib dan Isya. Akupun berjalan kaki sambil mengeret-geret koper dan menggendong ransel.

Karena ga pingin jalan dalam kegelapan nan sepi, aku memilih berangkat lebih awal, tepatnya sampe stasiun masih jam 9an, jadilah ngemper hampir 6 jam. Padahal naik trem cuman 2 Euro lo, tapi aku milih jalan kaki😝

Terminal Bus Strasbourg cukup nyaman, ada bangku dan penerangan cukup, relatif ramai. Hampir tiap 15 menit ada saja bus datang yang sharing wifi sebentar-sebentar. Lumayanlah, cukup buat chating ngusir bosan.

Saat itu aku duduk di bangku depan sebuah pusat informasi yang seatap dengan toilet umum, yang baru aku sadari sebenarnya adalah Smoking Area. Aku baru ngeh pas kali ke tiga ditanyai soal korek api. Sempat heran, kenapa mau pinjam korek ke aku? Pas noleh belakang baru ngeh tulisan Smoking Area.

Karena tidak mau disapa orang buat minjam korek lagi, aku pindah duduk di area bangku taman. Berhubung area terbuka… werrrrrrrr…. saat angin semriwing datang, dinginnya sampai ke tulang. Bersyukur malam itu cerah, bintang kelap kelip di langit dan busku pun datang on-time. Ngemper di Strasbourg bukanlah cerita horor.

Kali ini di Stasiun Central Zurich, Zurich HB

Masih ada cerita ngemper selanjutnya. Kali ini di Stasiun Central Zurich, Zurich HB, sehari sebelum balik ke Jakarta. Apalagi kalau bukan untuk alasan penghematan. Berhubung sudah kenal stasiun ini, maka aku relatif PD (apalagi berpengalaman di 2 lokasi ngemper sebelumnya).

Setelah puas keliling kota Bern, jam 8 sore aku naik bus menuju Zurich, cuman sejam. Awalnya mo nyari tumpangan di Couchsurfing, udah dapat 2 host, tapi akhirnya aku memutuskan ngemper di stasiun saja. Dari jam 9 malam aku mulai nongkrong di Zurich HB, baca buku, chatting, update instastory sampai kelaparan akhirnya ngantuk juga. Sekitar jam 1 malam aku rebahan di bangku panjang depan tempat ibadah. Bangku itu cukup panjang untuk 2 orang. Di bangku itu sudah ada seorang ibu-ibu yang yang rebahan juga. Beliau tersenyum ramah, tapi kami tak sempat ngobrol.

Aku terbangun tiba-tiba karena mimpi aneh, lupa mimpi apa, tapi pas aku membuka mata, aku melihat sebuah tangan mencoba membuka resleting tas kecilku yang aku taruh diantara dinding dan tubuhku (seingatku semalam aku memeluk tas itu). Reflek aku mendongak dan ternyata ada 2 orang pria sedang duduk di sebelahku, reflek aku senyum ke arah mereka. Sang Ibu ternyata sudah bangun. Aku masih setengah sadar atau mengigau, saat melihat jam tangan masih jam 4 pagi. Aku menutup kembali resleting tasku, terus balik tidur lagi. Tak lama kemudian, aku terbangun lagi, dan masih sama, aku melihat sebuah tangan berusaha membuka resleting tasku. Kali ini aku baru sadar ada bahaya. Duh… Lola banget. Masih 2 orang tadi, namun mereka lekas beranjak pas aku benar-benar bangun.

Lagi-lagi bersyukur, tak ada barang hilang, isinya memang bukan uang sih, tapi barang-barang kecil, souvenir dan PASPOR!!!! Hadew, tinggal di Swiss memang menyenangkan. Tapi kalau berlama-lamaan disini gara-gara paspor ilang??? Amit-amit…. jangan sampai kejadian ya Allah….

Eh, masih ada lagi cerita ngemper…. well ini beneran yang terakhir !!!

Hari ini adalah hari terakhirku di Swiss, besok jadwal balik ke Jakarta. Rencana hari ini adalah numpang gosok gigi di toilet yang bayar 1,8Euro, nitipin tas di loker selama 10 jam, keliling kota Zurich kemudian ngemper di Bandara. Karena agak parno ngemper di stasiun lagi, aku memilih ngemper di bandara malam ini. Pertimbangan pertama adalah karena bandara pastinya lebih rame, 24 jam, lebih aman dan lebih mudah nyari toilet (gratis).

Jam 10 malam aku naik kereta ke bandara, cuman sekitar  20 menitan. Saat itu situasi ramai seperti bandara sewajarnya.

Akupun hunting posisi PW untuk tidur. Sempat tertidur sejam, aku terbangun sekitar jam 12 malam and bengong karena saat itu tidak ada lagi orang di sekitarku yang awalnya lumayan rame. Hanya ada sekitar 3-4 orang di bangku seberang. Well, dan keadaanpun semakin malam semakin sepi. Karena penasaran, aku mencoba keliling, mengharap situasi berbeda di sudut lain, but… di bandara segede itu beneran hampir tidak ada orang. Semua counter Duty Free, toko tutup. Entah jika ada area yang buka 24 jam di sebuah sudut yang tak terjamah. 

Setelah muter-muter ga jelas dengan rasa khawatir ketemu satpam terus diusir, aku menemukan 2 orang sedang tertidur di bangku dekat counter check in. Aku pun ikut ikutan buka lapak disana. Kelelahan, akhirnya tertidur pulas, baru terbangun jam 6 pagi.  Saat itu, bandara Zurich-pun normal lagi. Penting banget untuk cari tau dulu jam operasional tempat-tempat umum macam bandara atau stasiun. Ok, catet. Lesson to learn!! Merasakan bandara Zurich serasa milik sendiri semalaman adalah pengalaman yang tidak ingin aku ulangi.

Well, jujur, ngemper di tempat umum bukan pengalaman yang menyenangkan. Meski selalu ada sensasi puas pas melewati saat-saat genting (plus menyelamatkan budget), namun sebaiknya keamanan tetep jadi prioritas utama dimanapun berada. Kalaupun pingin nyobain pengalaman ngemper di tempat umum, sebaiknya survey tempatnya dulu, siapin bekal makan minum cukup, download film secukupnya atau bawa buku bacaan. Biar jadi ngemper rasa piknik.

Sering banget dapat komen, “Jalan-jalan ga ngajak-ngajak sih?”, “lain kali ajakin aku jalan bareng ya,..”. Setelah baca cerita ini, masih mau ikutan??

MAN IN THE KITCHEN

Di Jawa, istilah “Dapur, Sumur, Kasur” untuk perempuan, masih sangat kental diterapkan. Tugas laki-laki adalah sebagai kepala keluarga, mencari nafkan dan sudah sepatutnya dilayani. Pun, melayani suami dengan baik adalah tugas dan kewajiban istri. Namun, apakah berada di dapur dan membantu istri bisa menurunkan derajat lelaki?

Please don’t take it seriously, karena ini hanya pendapatku dan tentang pengalaman tinggal dengan beberapa keluarga dengan cerita masing-masing selama menjadi WWOOFer.

Di sekitarku, bahkan di rumah masih jarang melihat laki-laki di dapur atau suka rela membantu istri ngerjain pekerjaan rumah, apalagi kalau istri tidak kerja. Ibaratnya menjunjung tinggi pembagian scope kerja suami dan istri. Suami cari uang and istri merawat rumah dan anak-anak. Tugas mencari nafkah memang sudah berat, tapi jika pekerja formal umumnya minimal seminggu sekali libur, tugas Ibu tidak begitu. 24 jam sehari 7 hari seminggu selamanya.

Namun ada juga fenomena bapak rumah tangga berkembang di desaku (sebuah desa di pegunungan pinggiran Malang) beberapa tahun terakhir. Karena keterbatasan keterampilan dan ketersediaan pekerjaan untuk pria, peran mencari penghasilan berpindah pada wanita, rata-rata dengan menjadi TKW. Menjadi tenaga kerja di luar negeri adalah pilihan yang cukup menjanjikan perbaikan ekonomi. Karena sang ibu harus merantau untuk waktu yang lama, minimal setahun, tugas merawat anak umumnya diambil alih sang bapak. Pada kasus seperti ini, secara pribadi aku kurang setuju jika peran pencari nafkah mesti “sepenuhnya” berpindah ke Istri. Wanita adalah tulang rusuk, bukan tulang pungung.

Neuchatel Lake

Aku pribadi, adalah pengagum lelaki yang pinter masak. Bagiku, lelaki yang pinter masak itu SEXY. Seriuosly!!! Ditambah lagi yang tidak enggan mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti cuci piring atau bersih bersih, berperanserta dalam momong anak juga. Bukan modus cewek males looo…, tapi beneran romantis melihat pasangan suami istri saling bantu mengerjakan pekerjaan rumah. Suami istri adalah team, sudah sepatutnya saling support.

Pengalamanku tinggal di 3 keluarga berbeda selama WWOOFing menunjukkan sebuah anomali. Di Interlaken, dimana semua penghuni rumah adalah wanita, pekerjaan rumah tangga cenderung tidak begitu diperhatikan, masak-memasak kadang kadang, beres-beres rumah kalau sempat. Namun para wanita itu sangat tangguh dan ahli bekerja pada bidang yang sebenarnya lebih cocok untuk pria.  

Sementara itu, di rumah Philipp yang 80% penghuninya lelaki, seluruh sudut rumah malah selalu rapi bersih bersinar. Makanan selalu makanan beneran yang rasanya selalu enak. Di tempat lain, Vincent dan Cecile saling support satu sama lain. Ok, lets say itu bukan budaya tapi kebiasaan sebuah keluarga atau kesepakatan masing-masing pasangan.

Well, beda keluarga beda adat pastinya ya, termasuk pengaruh kulture sosial juga. Philipp mengatakan bahwa sejak 20 tahun belakangan, di Swiss lelaki mulai terbiasa bekerja di dapur, suka masak dan mengerjakan pekerjaan rumah membantu istri. Sebelumnya, pria mengerjakan pekerjaan rumah juga tidak umum. Namun saat ini, baginya, budaya yang menganggap pekerjaan rumah tangga hanya untuk wanita itu old school banget, sudah kuno.

Aku setuju, K-U-N-O. Terutama jika istri juga bekerja, tentunya akan sangat terbantu jika suami juga ikut membantu pekerjaan rumah. Bahkan, riset membuktikan bahwa peran ayah dalam mengasuh anak juga memberi efek positif bagi perkembangan mereka. Pernah baca sebuah quote, “Dad who respond to his baby crying, rock them and change diapers, are not helping Mom, they are being fathers “.

Ketemu orang-orang baik

Jalan-jalan sendiri apa nggak kesepian? Kadang iya. 

Salah satu siasatku biar tidak kesepian adalah memilih menginap di dormitori. Sekamar rame-rame, selalu saja nemu teman senasib yang sering kali bisa jadi teman jalan.

Nah satu yang paling aku nikmati selama solo traveling adalah ketemu orang-orang baik, orang asing yang tulus ngasih tangan mereka saat aku perlu bantuan, bahkan ada yang awet jadi teman baik.  Jadi merasa bahwa keluarga itu tak selalu yang setanah air.

Dari trip ke Perancis-Swiss kemarin, aku punya 2 moment yang paling berkesan. Pertama, Pengalaman paling tak terlupakan waktu di Swiss adalah pas mendadak ketiban kering tempe. Beneran berasa turun dari langit di saat yang bener-bener pas. Ceritanya aku lagi makan siang di pantry hostel setelah cape muterin Lauterbrunnen (iyes, jalan kaki). 

Nah, siang itu aku masak pasta bumbu garam (serius, cuman berasa asin) sama telor ceplok yang asin juga. Masih punya sedikit rendang suwir yang lebih berasa abon. Abon cabe ketinggalan di Interlaken, lebih tepatnya aku tinggal karena temanku ternyata suka.

Di meja sebelah ada anak perempuan umur 5 tahunan senyum-senyum sedang makan roti cane, wajahnya manis khas Asia, pas aku sapa dia ramah membalas. Tidak lama kemudian, Mamanya muncul, dengan akrab langsung menyapa dengan bahasa Melayu. (salah paham…), berhubung kagak mudeng aku reflek membalas dengan bahasa Indonesia.

Kering Tempe Ajaib

Namanya Mba Yuni, sebenarnya orang tuanya asli Indonesia, malahan kita berasal dari kota yang sama, lucu ya jodoh… tapi sejak lahir Mba Yuni sudah pindah dan jadi WN Malaysia. Bagian paling mengharukan adalah saat mendadak Mba Yuni nawarin kering tempe, pake teri and kacang tanah. Subhanallah….. bener-bener Allah itu dekat. Ga hanya dikasih kering tempe, tapi juga beras, nasi goreng instant, kari ayam instant, minyak goreng sama kecap ABC. Yes, kecap ABC made in Indonesia. Mbak Yuni bilang dia mo ngurangi bawaannya karena bentar lagi udah mo balik ke Malaysia. Kita sempat poto sekali dan tukar nomer HP. Udah janjian mo ngetrip bareng.

Pengalaman kedua, tentang kebaikan Parisian. Sudah jadi mitos international kalau Parisian itu tidak suka turis apalagi kalau turisnya tidak bisa bahasa Perancis. Pengalaman 2 kali ke Paris mementahkan mitos itu (ciyee… pro Parisian). Ceritanya (lagi) ngotong-ngotong (bahasa Jawa untuk menjinjing) koper ukuran 24” naik turun tangga di Metro station Paris itu sesuatu banget. Bahagianya setiap menginjakkan kaki di tangga pertama dengan penuh putus asa, ada aja cowok kece, mas-mas keren, bapak -bapakcakep sampai ibu-ibu berhijap yang dengan suka rela menawarkan bantuan. Sungguh touching my heart gently… makin cinta sama Paris. 

Begitu juga dengan Polisi-Polisi Paris. Sejak pengalaman pertama kesini, aku sudah teropsesi sama Polisi Perancis. Pesonanya….. ❤(klepek-klepek). And menurutku, Polisi selalu jadi pilihan paling aman dalam kasus tersasar. Suka usil pura-pura nyasar hanya untuk modus ngobrol sama mereka (mohon jangan ditiru maupun disebarluaskan ya… ini rahasia). Respon tiap polisi yang aku temui selalu positif, hangat, welcome, friendly, bikin ngrasa aman and sweet (udah deh, memenuhi requirement suami idaman pokok e). Entah aku yang beruntung atau memang lagi kebetulan, karena menurut cerita beberapa turis yang lain (terutama cowok), mereka tidak mendapat respon yang sama.

Menilik (apaan sih ni istilah) mitos mengenai Parisian yang arogan dan tidak ramah kepada turis, sedikit analisa sederhana selama 3 hari di Paris. Seandainya aku juga tinggal atau bekerja di pusat kota Paris, bisa jadi punya sikap yang sama. 

Well, Paris adalah kota yang paling banyak dikunjungi turis setiap tahunnya. Hampir setiap hari ramai, di jalanan, di tempat belanjaan, di restoran. Yang paling menyebalkan menurutku adalah perilaku turis saat di jalan, menyeberang misalnya, suka suka-suka meski sign merah untuk penyeberang jalan. Iya, bener, pejalan kaki adalah prioritas, namun, peraturan adalah untuk ditaati oleh semua pengguna jalan. Jadi, sekedar saran, dimanapun kita berada, sebagai turis, meski tamu adalah raja, kita harus selalu mentaati peraturan dan menghormati tuan rumah. Jadilah tamu yang baik,bukan hanya kita yang ingin menikmati Paris, tuan rumah juga punya urusan dan kesibukan mereka kan, 🙂

Learning by Travelling

PS : English version is available

Travelling bukan hobi alamiku. Aku dulu bukan hanya tidak suka jalan-jalan, tapi juga enggan bertemu orang baru. Aku menyukai duniaku yang itu-itu saja, disitu-situ saja. 

Traveling wasn’t my natural hobby. I used to not only dislike traveling, but was also reluctant to meet new people. I liked my world, that’s all, that’s it.

Somewhere in Sapporo, Japan 2017

Seseorang yang tak begitu mengenalku suatu hari menyampaikan fakta tentang diriku yang sudah aku tau. Bahwa aku orang yang terlalu introvert. Well, apa salahnya? 

Someone who didn’t really know me one day shares a fact about me that I already know well. That I’m too introverted. Well, what’s wrong with that?

Dia menyarankan aku untuk belajar membuka diri. Entah mengapa, kata-kata itu seperti ‘wake up call’ yang ku tanggapi dengan serius. Aku sadar bahwa aku memang ingin membuka diri pada pengalaman baru, pada orang-orang baru dan sudut pandang baru.

He advised me to learn to open up. For some reason, those words were like ‘wake up call’ which I responded seriously. I realized that I really wanted to open myself to new experiences, to new people and new perspectives.

Menantang dan melakukan sesuatu yang kita takuti itu menyenangkan. Hingga akhirnya malah menjadi kecanduan. Begitulah perkenalanku dengan travelling. Berawal dari takut, memulai dengan memaksakan diri dan akhirnya jadi ketagihan.

Challenging and doing something we fear is fun. Until finally instead became addicted. That’s my introduction to traveling. Starting from fear, starting by forcing myself and eventually become addicted.

Aku kagum bagaimana travelling mengubahku. Mengajariku banyak hal, yang lebih banyak tanpa aku sadari. Bagaimana tiba-tiba aku merasa akrab semeja dengan orang yang baru aku kenal, berbagi kamar bersama orang asing dalam dormitori tanpa merasa khawatir, perasaan nyaman berada di sebuah tempat jauh dari rumah, tanpa mengenal siapapun. Sejak kapan aku bisa begitu? Sejak solo tripku yang pertama.

I was amazed how traveling changed me. Taught me many things, more without me knowing. How suddenly I feel familiar at the table with someone I just met, sharing a room with strangers in a dormitory without feeling worried, feeling comfortable in a place far from home, without knowing anyone. Since when can I do that? Since my first solo trip.

Aku lebih menyukai solo travelling. Tentu saja karena aku seorang introvert. Selain itu, aku menikmati kebebasan. Bebas menentukan budget, tujuan, jadwal, dan bebas dari berkompromi yang tak perlu.

I prefer solo traveling. Of course, because I’m an introvert. Besides that, I enjoy freedom. Free to decide budget, destinations, schedule, and free from unnecessary compromises.

Apa aku tak merasa kesepian, atau merasa seperti orang hilang? Sesekali, sangat jarang. Aku yang biasanya enggan menyapa orang asing, jadi lebih ringan mengatakan “Hi… “, membuka percakapan dengan basa basi yang bermuara pada pertemanan, bahkan cinta.

Do I not feel lonely, or feel like a missing person? Occasionally, very rarely. Me, usually hesitate to greet strangers, now it is lighter to say “Hi …”, opening conversation with small talk that leads to friendship, even love.

Bagi sebagian orang, travelling itu semacam pemborosan. Namun, ada banyak cara untuk menghemat, jika motivasi utama bukan sekedar foya-foya atau belanja. Travelling tidak selalu tentang hotel mewah, makan di resto mahal atau belanja branded. Traveler is not just a tourist. Traveler lebih menikmati mengexplore pengalaman baru, menikmati sesuatu yang berbeda dari 1 tempat ke tempat lain, mengenal orang-orang asing.

For some people, traveling is a kind of waste. However, there are many ways to save, if the main motivation is not just for wasting money or shopping. Traveling isn’t always about luxury hotels, eating at expensive restaurants or branded shopping. Traveler is not just a tourist. Travelers enjoy exploring new experiences, observe something different from one place to another, getting to know strangers.

Setiap perjalanan, selalu menyimpan cerita berbeda, bahkan meski kita melakukannya bersama-sama. Aku dan kamu tidak akan bisa melukis sebuah memory yang persis. Itulah yang membuat setiap perjalanan itu unik dan menantang. Ada kalanya di luar rencana, ada kalanya melebihi expektasi. Menikmati dan menerima apapun yang kita temui di jalan, mengajari kita bersyukur.

Every trip, always keep a different story, even if we do it together. You and I will not be able to paint an exact memory. That is what makes each trip unique and challenging. There are times outside the plan, sometimes times exceeding expectations. Enjoy and accept whatever we encounter on the road, teaches us to be grateful.

Travelling is not just a hobby for me, its a need.