Pertama kali melihat penampilan Lea (Shepherd dari German yang dipekerjakan oleh host WWOOF ku di Interlaken) pas berangkat mengembala kambing ke gunung, aku seperti melihat seorang Rey, The Last Jedi tapi versi rambut rasta. Keren plus tangguh. Waktu punya kesempatan ngobrol sama dia, aku kepo untuk bertanya apakah dia pernah punya rasa takut naik turun gunung, siang, sore, malam setiap saat jika dia diharuskan mencari kambing yang ilang? (Sebenarnya mah takut yang aku tanyakan itu soal takut ketemu hantu).
Lea bilang, iya dia takut, apalagi ternyata tepat sebulan lalu, temannya sesama shepherd (awalnya dia berdua melakukan tugas ini) mengalami kecelakaan fatal, kejatuhan batu dari atas gunung, segede kepala pas di tengkuknya. Beruntung, gadis itu selamat karena otaknya tidak terluka. Benar-benar sebuah keajaiban, setelah 3 hari koma, seminggu kemudian dia sudah kembali beraktifitas seperti biasa.
Ya, meskipun pegunungan Alpen adalah tempat yang sangat indah, hutannya lebih kalem jauh berbeda dengan tipikal hutan tropis yang cenderung lebat dan gelap, tetap saja alam menyimpang kekuatannya dan bahaya tersembunyi. Claudia sebagai tuan rumah selalu menasehati kami untuk hati-hati, fokus, berusaha tidak berada di bawah tebing tempat kambing merumput, karena kambing bisa saja menjatuhkan bebatuan dari tebing, mengurangi ngobrol dan bercanda karena bisa mengganggu konsentrasi.
View Interlaken dari atas gunung
Saat aku bertanya apa yang Lea rasakan saat itu? Dia bilang panik, takut karena dia hampir yakin temannya meninggal di tempat. Kejadian itu masih selalu terbayang setiap kali dia naik gunung, dan itulah sebabnya setelah kejadian itu dia lebih sering kehilangan kambing. Binatang bisa merasakan ketakutan pada diri kita, sehingga mereka jadi lebih susah dikendalikan.
Bagaimana cara membawa seseorang yang mengalami kecelakaan ke rumah sakit di tempat seperti ini? Sementara untuk mencapai jalan raya terdekat butuh waktu setidaknya 40 menit jalan kaki. Ternyata penduduk di pegunungan Alpen biasa carter helicopter. Pada case Lea, selain faktor keberuntungan, juga karena penanganan dan kesigapan tim SAR dan medis yang super cepat. Saat kejadian, Lea segera menghubungi Claudia untuk meminta bantuan, kemudian Claudia menghubungi tim SAR yang segera mengevakuasi korban. Semua proses hanya butuh waktu sekitar 10 menit hingga sampai rumah sakit dan korban mendapat pertolongan. Yeah, that’s Swiss.
Jika hal itu terjadi pada orang yang kurang tanggap (sebut saja saya), bisa saja proses panik sendiri, binggung mo ngapain, nangis, moment blank bisa memakan beberapa puluh menit bahkan jam dan bisa saja mengakibatkan korban tak tertolong. Teringat beberapa kasus pendaki yang tersesat di beberapa gunung di tanah air belakangan ini. Proses pencarian bisa memakan waktu beberapa hari dan sering menemukan korban sudah meninggal.
Heli Base di Lauterbrunnen, Swiss
Saat kami sedang ngobrol, terdengar deru suara helikopter, ternyata selain untuk rescue, penduduk Alpen juga biasa menyewa heli untuk delivery barang-barang kebutuhan sehari-hari, material untuk membangun rumah, furniture atau pakan ternak yang tidak memungkinkan untuk dibawa manual dari bawah. Hebatnya lagi, dari base heli di Interlaken ke atas Alpen rata-rata hanya perlu waktu 2 menit sekali jalan. Iya, 120 detik doang.
Untuk menghemat ongkos carter, ternyata juga boleh sharing. Asal lokasi berdekatan dan volume mencukupi. Jadi ngebayangin suatu hari nanti go-send atau go-food ngantar pakai Heli, 😆.
Carter Heli memang bukan hal baru di negara maju, juga bukan cuman di Swiss. Tapi bagi orang udik kaya aku, pengalaman menyaksikan delivery service pakai Helikopter itu bisa bikin moment melongo sesaat.
Btw pas aku masih kecil, moment melihat pesawat melintas di atas langit kami adalah moment berharga. Kebiasaan anak-anak di kampungku pas dengar suara pesawat adalah langsung keluar rumah, da-da-da-da ke atas sambil teriak “Kapal, njaluk duite” (Kapal minta uang…🙊). Kami melakukannya dengan tawa bahagia seakan Mas Pilot sedang melongok ke bawah melihat kami. Kangen masa itu.
Aku sempat mampir ke Swiss Helicopter Base di Interlaken. Pilotnya ramah-ramah (cakep sudah pasti). Jadi pingin punya suami Pilot.
Mumpung belum terlanjur lupa, sekarang, saatnya melanjutkan cerita petik apel di Bern, Swiss. Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, Hostku bernama Philipp, seorang pria gaul berambut rasta. Aku tebak dia sekitar berusia 40an, berhubung anaknya yang pertama sudah berusia 18 tahun.
“Dont jugde a book from its cover” benar-benar cocok untuk Philipp. Di balik cover Bob Marley-nya, Philipp adalah pria penyayang dan seorang yang sangat berjiwa sosial. Dia adalah salah satu anggota Social Housing, sebuah program pemerintah Swiss untuk mengembalikan warga yang memiliki masalah social untuk kembali ke masyarakat. Masalah social itu antara lain kecanduan narkoba, kriminal atau masalah depresi. Philipp menerima orang-orang bermasalah itu untuk bekerja di perkebunannya, memberi konseling dan membantu mereka memulai hidup baru di masyarakat.
Tahukah kamu, ternyata Swiss pernah mengalami krisis narkoba kelas berat. Bahkan Swiss dikenal sebagai “Europe’s biggest open drug scene”, tidak main-main karena narkoba yang dimaksud adalah Heroin. Banyak warga meninggal karena candu. Di sebuah taman di Zurich yang bernama Zurich’s Platzspitz park, (dijuluki ‘needle park’ oleh The New York Times) pada tahun 1990an ribuan orang dengan terbuka menyuntikkan obat-obatan pada tubuh mereka hingga sekarat. Melihat kondisi yang semakin memprihatinkan, pemerintah berusaha mencari berbagai cara untuk mengatasi krisis narkoba hingga akhirnya menemukan cara efektif yang paling kontroversial. Swiss memerangi narkoba dengan narkoba. Swiss adalah negara pertama yang menjalankan Heroin on prescription untuk membantu para pecandu kembali ke kehidupan normal. Methadone legal diresepkan di Swiss untuk pengobatan pecandu heroin. Cara ini terbukti efektif mengurangi jumlah pecandu dan penyebaran HIV. Program ini ternyata sukses merubah image pecandu yang awalnya dikira keren jadi semacam penyakit. Kekhawatiran akan peningkatan pengguna karena pelegalan nyatanya tidak terjadi disini. Saat ini program tersebut telah diadaptasi oleh Canada dan Belanda.
Nah, program lanjutan selain mengobati kecanduan tersebut adalah mengembalikan para mantan pecandu ke kehidupan social masyarakat, mengembalikan kepercayaan diri mereka. Itulah yang dilakukan oleh Philipp. Selain mantan pecandu, orang-orang dengan masa lalu criminal, masalah keluarga atau depresi personal juga diterima disini. Korban patah hati juga boleh daftar Saat aku bertanya kenapa dia mau melalukan itu? Dia bilang karena dia senang bisa menolong orang lain. Membantu orang lain membuatnya bahagia. Fortunatelly or unfortunatelly, pas aku disana, Philipp sedang libur dari pekerjaan sosialnya. Dia mengaku terkadang juga lelah.
Aku beruntung (beneran beruntung) datang ke Matzwil di bulan October, saat apel-apel merah ranum siap panen. Tahun 2018 kemarin adalah tahun yang baik untuk apel, semua pohon apel di seluruh Swiss berbuah lebat berkat dukungan cuaca yang lebih hangat dari biasanya. Beberapa tahun sebelumnya, karena terlalu banyak hujan dan cuaca yang terlalu dingin, bunga apel banyak yang rontok. Jumlah panen turun drastis bahkan banyak petani yang memutuskan menebang pohon mereka karena merugi. Akibatnya, supply apel untuk konsumsi masyarakat menjadi jatuh. Melihat fenomena ini, pemerintah Swiss-pun memberi bantuan financial kepada petani apel agar mau mempertahankan tanaman mereka. Pemerintah Swiss baik ya..(ngiri😆)
Kebun Apel Philipp murni organik, dia hanya menggunakan pupuk kandang (dari sapi organik) untuk pupuk. Tidak ada pestisida sama-sekali. Bahagia melihat pohon apel yang penuh dengan buah berwarna merah ranum siap panen.
Apel yang dipetik dipisahkan menjadi 3 grade dan ditaruh pada box berbeda, kualitas 1, apel dengan kondisi dan bentuk sempurna untuk konsumsi, kualitas 2 untuk buah konsumsi dengan harga lebih murah dan kualitas 3 adalah buah jatuh pohon atau dimakan ulat untuk bahan selai dan juice. Semua buah ini meskipun cacat, namun melalui proses pembersihan dan sterilisasi sebelum diolah. Jangan khawatir untuk keamanannya. Juice dari kebun apel Matzwil rasa dan aromanya…. the best i ever had.
Setiap Minggu, Philipp juga menyumbangkan beberapa box apel grade 3 untuk sebuah pabrik apel local yang mempekerjakan difficult people di daerah itu. Untuk pekerjaanku sendiri, hanya membantu Lukas and the gang (baca Post sebelumnya ) memetik apel dari jam 8 pagi sampai jam 3 sore. Senin-Jumat, Sabtu Minggu libur. Jam 10 pagi dan jam 3 sore adalah waktunya tea time. Kami istirahat 30 menit untuk minum teh dan ngemil roti.
Istirahat siang antara jam 12-1.30, makan siang dan istirahat. Philipp adalah koki yang hebat. Karena dia adalah seorang Vegan, Philipp tidak memasak daging dan telur tapi dia pandai mengkombinasikan kacang-kacangan dan biji-bijian sebagai sumber protein. Masakan Philipp adalah masakan terenak dan paling cocok dilidahku selama 6 minggu keliling Swiss Perancis. Selesai makan, kami mencuci peralatan makan dan masak bersama-sama.
Bagiku secara pribadi, pekerjaan ini menyenangkan namun cukup berat karena mesti angkat-angkat keranjang apel. Aku kagum pada Caroline dan Marlina yang sangat kuat dan cekatan mengangkat keranjang besar apel, naik turun tangga, nyetir traktor, dll. Padahal mereka lebih mirip barbie cantik bermata biru dari luar.
Awal October tahun lalu cuaca di Bern pas pagi bisa sangat dingin, sekitar 5 derajat celcius tapi mendadak terik perlahan saat matahari bangun. Jam 12 siang, suhu bisa mencapai 33 derajat. Nah jadinya, pakaian kamipun menyesuaikan. Pas pagi semua pakai jaket tebal, sarung tangan, masker, tapi tengah hari Marlina dan Marcela mendadak ganti kostum, hanya pakai BH dan celana pendek. Jadilah kebun apel rasa pantai.
Kebayang kalau mereka jadi buruh petik apel di Batu atau Bandung, bisa didatangi warga buat diajak selfie atau malah diprotes karena terlalu sexy 🤣. Meskipun kami tidak bisa ngobrol gegara roaming bahasa, Polish Gang memperlakukanku dengan sangat ramah.
Trip WWOOF ku yang terakhir adalah di kebun Apel organik di Bern. Philipp, sang tuan rumah adalah petani yang extraordinary banget. Awalnya aku mengira dia serupa Kolonel Sander KFC, Bapak-bapak tua dengan jenggot dan perut buncit. Selama ini aku menghubungi Philipp melalui WhatsApp dan email tapi tidak ada profile pic. yang bisa sedikit mengambarkan seperti apa dia sebenarnnya.
My last Europe WWOOF trip was at the organic Apple orchard in Bern. Philipp, the host is a very extraordinary farmer. At first I thought he was like Colonel Sander, an old gentlemen with a beard and belly. Typical farmer in my mind. I made contact with Philipp via WhatsApp and email but there is no profile pic. which could be a little describing what he really was.
Jadilah aku kaget banget pas dijemput di terminal bis jam 7 pagi yang masih berkabut oleh pria rasta paruh baya kembaran Bob Marley. Sempat salah paham juga karena dia salah sebut namaku dan aku sama sekali tidak mengira sang Kolonel ternyata berambut gimbal. Alhamdulillah setelah dia menyebutkan password Indonesia, semua jadi terang benderang.
So I was really surprised when a middle-aged Rasta man, in Bob Marley look, came over me at Bern bus terminal in the fogged morning. Had a misunderstanding too because he mispronounced my name and I did not expect the Colonel to be an Rasta Guy. Alhamdulillah after he mentioned “Indonesian”, everything was clear. He was Philipp, my host.
Kebun Apel Philipp sekitar 30 menitan dari Bern Main Station dengan mobil. Sepanjang jalan dia bercerita tentang kondisi rumahnya. Ada 4 keluarga, 2 pasangan dari Polandia yang bekerja di kebun, 1 keluarga teman Philipp yang sedang berlibur dengan anak mereka yang masih umur 7 tahun dan satu lagi keluarga di lantai 3 dengan 2 anak kecil dan ibu hamil.
Philipp’s Apple Farm was about 30 minutes from Bern bus station by car. Along the way he told me about the condition of his house. There were 4 families, 2 couples from Poland who work in the farm, 1 family of Philipp’s friends who were on vacation with their 7-year-old child and another family on the 3rd floor with 2 children and a pregnant woman.
Philipp sendiri memiliki 3 anak, 1 cewek 19 tahun dan 2 anak lelaki, umur 9 dan 7 tahun. Dari ceritanya aku menyimpulkan dia tidak menikah. Saat itu hanya ada Malik yang paling kecil, sementara kakak-kakaknya sedang liburan ke Barcelona. Philipp sebenarnya tidak tinggal di rumah itu, hanya beberapa minggu sebulan dan selalu berakhir pekan di luar kota Bern. Sore ini dia bilang akan ke Zurich untuk menonton konser music DJ favoritnya.
Philipp himself has 3 children, 19 year old girl and 2 boys, ages 9 and 7. From his story I concluded he was not married. At that time there was only the youngest, Malik was home, while his brothers were on vacation to Barcelona. Philipp does not actually live in the house, only few weeks a month and always spent his weekend outside the city of Bern. This afternoon he going to Zurich to attend his favorite DJ music concert.
Typical rumah Swiss di pedesan terbuat dari kayu. Lumayan besar dengan 3 lantai. Sebelah rumah utama adalah rumah besar yang dijadikan gudang penyimpanan apel sekaligus pabrik pembuatan jus. Masih ingat wangi aroma apel dari dalam gudang.
The house was typical Swiss country side house made of wood. Fairly large with 3 floors. Next to the main house was a large house which was used as an apple storage as well as a juice-making factory. Still remember the fragrance of the apple from the warehouse.
Kamar untuk WWOOFer di rumah Philipp, sederhana namun nyaman dan bersih
Sesampainya di rumah, Philipp menujukkan kamarku, di lantai 2 rumah utama. Di lantai ini ada 3 kamar, 2 untuk pasangan Polandia, kamarku dan ruang TV. Ada juga kamar mandi dan ruang laundry. Lumayan besar dan sangat rapi. Setelah menaruh tas, Philipp menawariku minum teh sambil ngobrol ringan di ruang tamu lantai 1. Rumah masih sepi, semua penghuni masih tidur, di luar masih remang.
Philipp showed me my room, on the second floor of the main house. On this floor there were 4 rooms, 2 for Polish couples, my room and the TV room. There were also a bathroom and laundry room. Quite big and very neat. After placing my bag, Philipp offered me a cup of tea while chatting lightly in the living room on the 1st floor. The house was still quiet, everyone were still sleeping, outside was still dark.
Hello…
Sekitar sejam kemudian, pasangan Polandia di lantai 2 turun untuk sarapan. Philipp mengenalkan mereka 1 per 1 karena rupanya mereka tidak bisa Bahasa Inggris. Mereka adalah Lukas, sang Leader. Marlina istri Lukas, Filip dan istrinya Carolina, pasangan yang sepertinya lebih muda dari aku. Lukas bisa sedikit bahasa Inggris. (literally, sedikit banget). Mereka menggunakan Bahasa German untuk berbicara dengan Philipp dan menggunakan Bahasa Polandia untuk ngobrol dengan yang lain.
About an hour later, Polish couples on the 2nd floor went down for breakfast. Philipp introduced them 1 by 1 because unfortunatelly they could not speak English. They were Lukas, the Leader. Marlina, Lukas’s wife, Filip and his wife Carolina. Lukas could speak English little (literally, very little). They used German to talk to Philipp and Polish to chat with others. Both, i don’t understand.
Hari Sabtu biasanya mereka kerja setengah hari, tapi hari itu Philipp memberi mereka hari libur. Sorenya, Lucas mengundangku makan pizza bersama mereka, dia bilang untuk menyambut kedatanganku. Welcome party. Mereka rupanya membuat home made pizza. Topingnya salami (sejenis daging asap yang biasanya terbuat dari daging Keledai) yang ternyata di Swiss mostly terbuat dari babi. Beruntung belum sempat makan karena Philipp sempat memberi tahu jika itu adalah Pork Salami. Kemudian Marlina membuatkan aku pizza dengan topping jamur dan keju. Meski topingnya sederhana tapi rasanya lumayan enak. Philipp tidak ikut pesta karena dia buru-buru ke Zurich untuk nonton konser musik.
On Saturdays they usually worked half day, but that day Philipp gave them day off. In the afternoon, Lucas invited me to have pizza with them, he said to welcome me. A welcome party. They baked home made pizza. The topping was salami (a type of smoked meat which is usually made from donkey meat), unfortunately in Switzerland mostly made from pork. Luckily I haven’t had any because Philipp told us that it was Pork. Philipp himself was a vegetarian. Then Marlina made me a pizza topped with mushrooms and cheese. It tasted pretty good. Philipp did not join the party because he rushed to Zurich for music concert.
Pernah dengar kalau Polish adalah pecinta Vodka, tapi baru itu semeja (itupun terpaksa) dan menyaksikan betapa cintanya mereka dengan Vodka. 4 botol untuk 6 orang, oh iya ada 2 orang lagi Adam dan Dominic yang bekerja di perkebunan sebelah. Music disco Poland diputar lumayan keras, meskipun ga mudeng tapi lumayan enak juga didengar. Setelah 4 botol vodka, mereka masih punya sebotol whiskey. Well, mulanya mereka mengira aku menolak minum Vodka karena tidak suka Vodka, sempat ditawari Wine, Beer ampe Whiskey. Thanks to Google translate, paham juga akhirnya mereka kalau aku tidak minum alkohol jenis apapun. Aku memilih jus apel sahaja.
I have heard that Polish is Vodka lover, but it was something to witness how much they love it. 4 bottles for 6 people, oh yes there were 2 more people Adam and Dominic who worked on the farm next door. Poland’s disco music was playing quite loudly, i did not know the song but it’s pretty nice music. After 4 bottles of vodka, they still have a bottle of whiskey. Well, at first they thought I refused to drink Vodka because I didn’t like Vodka,then they offered me Wine, Beer and Whiskey. Thanks to Google translate, they finally understood that I don’t drink any type of alcohol. I took apple juice instead.
Mereka ngobrol ngalur ngidul sambil sesekali bernyanyi mengikuti musik yang mereka putar. Lagunya rata-rata house music jedag-jedug. Karena kepo, aku sengaja menggunakan Google translate untuk menterjemahkan perbincangan mereka. Namun gegara 6 orang ngomongnya saling nerocos berbarengan, Google translate-pun jadi error. Setidaknya aku sedikit bisa bertanya atau menjawab bertanyaan mereka. Lumayan, jadi mengurangi roaming.
They were chatting while singing occasionally following the music they were playing. The song was kinda house music for dancing. Curious, I tried to use Google translate to know their conversation. 6 people speaking to each other at the same time made Google translate gave up. But at least I could get little whats they were talking about, asking and answering little questions. Not bad.
3 jam berlalu, 4 loyang pizza tinggal bersisa sepotong, tapi mereka masih juga minum. Sekarang ganti campuran whiskey, cola dan jeruk nipis. Jangan tanyakan gimana rasanya, aku juga pingin tau. Hehehehe…
Landscape sekitar rumah Philipp
Pesta pun berlanjut sampe malam, aku pamit tidur jam 9, di lantai bawah masih terdengar music keras dan tawa mereka sampai jam 11-an. Yang bikin surprise paginya mereka bangun lebih awal dari aku, dengan wajah fresh tanpa sisa pesta semalam. Konon katanya, setelah mabuk itu bisa bikin pusing keesokannya.
I excused myself to sleep at 9PM. Downstairs were still loud of music and their laughter until almost midnight. Was surprised to know at the morning after, they woke up earlier than me, with a fresh face. It was said that after drinking it can make dizzy the next day. Maybe, alcohol worked differently to Polish.
Penasaran aku bertanya pada Carolina (tentu saja dengan Google translate) berapa banyak dia bisa minum Vodka, dia bilang normalnya per orang bisa minum 2 botol. Dia bilang, pesta semalam cuma main-main aja, bukan pesta beneran. Holaaaaa..??? minum 2 botal air putih saja bisa mabuk mah aku. Aje gile….
Curiously i ask to Carolina (of course with Google translate) how much she could drink Vodka. She said normally per person could drink 2 bottles. For me even bottle of water could get me drunk. As a Muslim, alcohol is kinda… mysterious liquid for me.
Lukas and the gang bekerja di kebun Apel milik Philipp beberapa bulan dalam setahun, biasanya hanya untuk musim panen. Orang Swiss lebih memilih memperkerjakan tetangga sebelah karena gaji untuk pekerja dari negara lain lebih murah. Lebih murah itupun masih jauh lebih tinggi dari standard gaji negara lain. Lea, gadis penggembala dari Jerman yang aku temui di Interlaken bilang kalau di Swiss dia bisa mendapat gaji 20-30% lebih tinggi.
Lukas and the gang work in Philipp’s Apple garden several months a year, usually only for the harvest season. Swiss people prefer to employ their next door neighbors because of the salary can be lower, but even the lower salary are still far higher than the standard salary of other countries. Lea, the shepherd girl from Germany that I met in Interlaken said that in Switzerland she could get a 20-30% higher.
Tujuan WWOOF ku selanjutnya adalah ladang sayur organik di Bagard, Perancis.
Bagard adalah komune, semacam desa kecil di Departemen Gard, Occitanie, Prancis Selatan. Perjalanan dari Swiss lumayan panjang penuh cerita, termasuk drama ngemper dini hari di pinggiran stasiun Lyon. Kala itu aku menggunakan Flixbus dari Interlaken-Milan-Lyon-Nimes-Ales-Bagard. Perjalanan hampir 24 jam dengan 2 kali transit di Milan dan Lyon. Sekali lagi, atas nama penghematan budget.
Untuk alternatif transportasi yang lebih murah di Eropa, bus memang pilihan terbaik. Yang pernah aku coba adalah Flixbus dan Eurolines. Rute bus hampir menjangkau seluruh wilayah Eropa, antar kota, antar negara. Tiket bisa dipesan online, kita hanya perlu menunjukkan code QR untuk di-scan saat naik. Tersedia aplikasinya untuk di-download.
Bus memang lebih murah, namun kurang ramah lingkungan. Sebagai kompensasi terhadap emisi CO2 yang dihasilkan oleh penggunaan bus, Flixbus mengenakan biaya tambahan sekitar 0,57Euro yang sifatnya optional. Hanya sekitar Rp. 10.000 kok.
Bus dari Lyon, hanya sampai di Nimes, aku harus menggunakan kereta untuk menuju Ales. Ternyata, bus central Nimes dan stasiun kereta agak berjauhan, sekitar 3Km. Karena tidak ada wifii aku tidak bisa menggunakan Google Map.
Saat itu di terminal bus sangat sepi, hanya ada seorang bapak-bapak yang baru turun dari mobilnya. Aku sok akrab menyapa untuk bertanya rute jalan kaki ke stasiun. Sang Bapak kemudian membuka Google Map dan berusaha menjelaskan padaku dengan bahasa Inggris logat Prancis. Namun kemudian dia malah mengajakku naik mobil. Beliau mengantarku ke stasiun. Kesan pertama yang sangat manis di Nimes.
Aku sudah memesan tiket kereta ke Ales melalui internet. Nimes-Ales hanya 30 menit tiket seharga 5Euro. Harga tiket selalu berubah-ubah, kurang tau kenapa. Pas rute balik aku dapat tiket seharga 9Euro. Aku sudah mengirim SMS ke hostku, Vincent yang akan menjemputku di Stasiun Ales.
Sampai di Ales jam 2 siang, namun aku tak melihat seorang lelaki dengan ciri-ciri yang disampaikan Vincent. Menunggu 15 menit, 30 menit, aku mulai khawatir jika ada yang salah. Namun kemudian sebuah mobil Van kuning (Van Kuning DHL) berhenti di parkiran stasiun. Seorang lelaki usia 40an turun dan berjalan ke arahku. Kami bersalaman, ngobrol sebentar, kemudian Vincent membantuku memaruh barang bawaan di mobil.
Dari stasiun Ales ke Bagard, rumah Vincent hanya sekitar 20 menit. Bentang alam Bagard berupa bukit dengan tumbuhan perdu. Berasa kaya di Mesir atau Arab. Banyak ladang Zaitun dan Anggur. Saat itu musim gugur, namun matahari masih terik, suhu masih sekitar 30an Celcius. Panas. Wilayah ini masuk area taman nasional Cavannes.
Vincent adalah seorang petani sayuran organik. Dia awalnya adalah seorang Quality Control Staff di perusahaan Farmasi di Montpellier, dengan latar belakang pendidikan medis dan farmasi. Dia memutuskan berhenti setelah 8 tahun bekerja. Tahun 2018 kemarin adalah tahun ke-9 nya menjadi petani setelah resign. Vincent tinggal bersama Cecile, pasangannya. Vincent memperkenalkan Cecile dengan penekanan sebagai partner, bukan Istri karena mereka tidak menikah. Pas setahun lalu, putra pertama mereka lahir. Namanya Cassion.
Cecile adalah seorang wanita karir yang sangat ramah dan cerdas. Dia memiliki latar belakang pendidikan ilmu komunikasi, sastra dan bahasa Arab. Cecile bekerja di kantor komune, semacam kantor kecamatan atau kantor desa. Tugasnya mengurusi isu sosial dan mengajukan proposal untuk pembangunan komune. Karena itu dia sering bertemu pejabat pemerintah dan sangat peka terhadap isu sosial politik. Ngobrol dengan Cecile tentang apa saja adalah bagian yang paling aku nikmati saat menjadi WWOOFer disini.
Kebun organik Vincent memproduksi kentang, bit, wortel, tomat, berbagai jenis selada, bawang bombay berbagai jenis, labu, semangka, melon, paprika, terong. Hasil panen dijual di toko khusus produk organik dan juga melalui order online.
Aku tinggal di keluarga ini selama 7 hari, dengan 2 hari libur. Sabtu Minggu kebun tutup. Pekerjaan yang aku lakukan antara lain panen tomat, panen paprika, panen bit, menanam selada, memilah bawang bombay untuk dijual dan membersihkan labu panen bulan lalu yang berdebu. Jam kerja lumayan pendek, dari jam 8-12 setelah makan siang aku bebas mau ngapain aja.
Keluarga kecil itu normal seperti keluarga-keluarga kecil disini. Aku tidak merasakan culture shock yang cukup berarti. Yang unik justru tentang posisi Vincent sebagai suami yang lebih banyak mengurusi pekerjaan rumah dari pada sang istri. Memasak, laundry, beres-beres maupun momong sepertinya sudah diambil alih Vincent. Awalnya itu adalah pemandangan yang aneh bagiku, melihat suami masak sementara istri ngobrol, terus pas anak kebangun juga suami yang nyamperin duluan. Tapi bagi Vincent sendiri, itu hal biasa dan tidak ada yang aneh.
Senang melihat pasangan ini yang saling support. Vincent bilang, Cecile sangat mendukung karirnya sebagai petani organik. Di tahun pertama menjadi petani, Vincent hanya memperoleh penghasilan sekitar 1000Euro (17 juta-an, selama setahun). Namun Cecile dan keluarga Vincent terus mendukungnya baik secara moral maupun financial, hingga sekarang dia cukup sukses dengan penghasilan cukup.
Cassion adalah bayi lucu dengan mata teduh. Sadar diri tak punya pengalaman momong bayi, aku awalnya takut main dengan Cassion. Dia baru belajar berjalan saat itu. Namun ternyata, pas pertama ketemu dia langsung nyaman bersamaku. Waktu itu Cassion sedang menangis karena kepentok pintu. Ditenangkan oleh ayahnya gagal, namun pas aku coba menyapa dia langsung diam dan minta gendong.
Rutinitas keluarga kecil itu dimulai jam 7 pagi, Vincent bangun lebih dulu kemudian menyiapkan sarapan. Setelah selesai sarapan kemudian menyiapkan keperluan Cassion untuk dititipkan ke nanny. Susu, makanan bayi dan baju. Disaat Vincent menyiapkan barang-barang Cassion, aku dan Cecile masih asyik sarapan sambil ngobrol. Jam 8 pagi, Cecile membawa Cassion bersamanya untuk dititipkan, karena kantor Cecil dekat dengan rumah nanny. Sementara Vincent mulai pergi ke kebun.
Jam makan siang di Perancis adalah jam 12-2 siang. Di jam itu rata-rata toko atau kantor tutup. Biasanya Vincent menyiapakan makan siang jam 1 siang. Jam 5 sore, tugas menjemput Cassion adalah bagian Vincent. Sampai di rumah, Cassion punya waktu 2-3 jam untuk main sekaligus makan malam. Semua mainanya adalah mainan edukatif dari bahan organik
Vincent biasanya mengawasi Cassion bermain sambil menyiapkan makan malam. Berhubung nyambi momong, sering kali jam makan malam molor sampai jam 10. Krucuk krucuk.
Di keluarga ini aku lebih banyak belajar tentang ilmu rumah tangga dari pada ilmu pertanian. Ternyata tidak peduli kewarganegaraan, masalah keluarga masih sama saja. Suatu malam, aku menyaksikan mereka bertengkar. Saat itu seharusnya jam makan malam. Vincent sudah masak, makanan siap di meja. Aku sudah kelaparan tingkat akut, tapi sang tuan rumah sedang bertengkar di kamar mereka. Terjebak pada moment seperti itu rasanya sedih sekaligus konyol. Sampai jam 11 malam, pertengkaran mereka belum selesai, karena makin tidak nyaman dan ngantuk, aku memilih tidur. Sempat parno juga kalau-kalau pertengkaran itu jadi berlanjut ke KDRT saking serunya. Alhamdulillah, enggak. Keesokan harinya mereka sudah berbaikan bahkan meminta maaf padaku atas kejadian semalam. Lega,
Di hari terakhirku bersama keluarga ini Cecile mengajakku mengunjungi sebuah desa cantik bernama Anduze yang ternyata hanya 15 menit dengan mobil dari rumah. Desa ini benar-benar indah dan memang menjadi tujuan wisata yang masuk wilayah taman nasional Cevennez. Disana banyak hotel dan restoran. OK, wish list untuk honeymoon
Taken from Flickr by Mantis of Destiny
Keluarga Vincent sangat ramah dan openminded, bahkan aku juga dikenalkan pada Ayah dan Ibu tirinya, sempat diundang makan siang bareng juga. Cecile adalah teman curhat yang menyenangkan dan bijak. Yang paling bikin kangen tentu saja senyum dan kecupan Cassion.
Hari ini Claudia yang gantian naik gunung, dia memberi kesempatan untuk Lea istirahat. Akhirnya dia paham kalau Lea sudah benar-benar lelah. Bayangkan saja, Lea dikontrak kerja selama 5 bulan tanpa libur akhir pekan. Secara kambing tak mengenal weekend. Area kerjanya adalah gunung guede. Memang sih gajinya juga guede. Meski bertitle penggembala kambing tapi gajinya tetap setara standard gaji Swiss. Sekitar 3000CHF. Kalau kurs 14.000, coba itung berapa, Anda berminat?
Lea meminta aku memasak labu yang dia petik dari kebun untuk makan siang kami, karena menurut dia masakanku kemarin enak. Sambil makan siang kami berbagi cerita, soal banyak hal. Saat aku tanya apa yang ingin dia lakukan 3-5 tahun ke depan, dia bilang dia ingin memiliki ladang pertanian atau peternakan, mempekerjakan difficult people seperti bekas pecandu obat-obatan atau bekas narapidana yang kesulitan mencari pekerjaan. Yup, dibalik gaya cuek dan nyentrik itu, tersimpan hati yang mulia. Put me to shame, saat aku sadar bahwa apa yang ingin aku raih di 3-5 tahun ke depan hanya hal-hal materialistis untuk kepentingan pribadiku. Rumah, nikah, mobil, travel plan, etc.
Setelah makan siang, anak-anak mengundang kami untuk menonton pertunjukan circus di kamar mereka. Circus itu disutradarai oleh Sajjane, si sulung. Dibintangi oleh Sajjane sendiri, Moira dan Thilia. Si bungsu Thilia melakukan adegan pole dance dengan penuh penghayatan. Circus itu terdiri dari 4 adegan, adegan pembuka berupa kambing merangkak berputar-putar dan loncat-loncat selama 5 menit, kemudian adegan pole dance, kemudian balik ke kambing putar putar dan ditutup dengan Pole Dance lagi. Aku kagum dengan Sajane yang sungguh piawai memilih lagu dan music yang selalu pas dengan adegan yang mereka peragakan. Luar biasa. Meski sedikit bosan dengan adegan merangkak yang cukup lama, aku sangat menikmati snack yang mereka siapkan untuk penonton. Coklat, permen dan almond plus orange juice. Well, what a perfect little event organizer.
Hari ini akan ada helper baru dari Spanyol untuk menggantikan Lea. Masa tugas Lea berakhir mid. September. Mereka sampai di tempat kami sekitar jam 2 siang, diantar seorang guide lokal. Mereka rupanya adalah pasangan muda yang ingin mengumpulkan uang untuk membangun peternakan sendiri. Nama ceweknya Angela juga (cuman beda spelling sama Angela sang tuan rumah), dan pacarnya Fernando (sebut saja begitu, aku lupa nama sebenarnya). Mereka adalah pasangan romantis yang suka ciuman setiap saat dimana saja, bikin sebel (atau lebih tepatnya baper😄).
Hari ke-6 di Interlaken
Aku tidak membantu memerah susu pagi ini karena sudah ada Fernando dan pacarnya, Lea dan Claudia. Jadi aku memilih untuk beres-beres dan menyiapkan sarapan saja.
Siang ini Claudia menawariku dan Angela Spanyol untuk mengemas keju-keju yang siap jual karena Angela akan datang sore nanti, sehingga dia bisa membawanya untuk di jual di mini market di kota.
Aku sangat bersemangat saat Claudia menawariku untuk tinggal di rumah mereka di desa. Yeiiii… akhirnya, Tarzan turun gunung.
Well… tinggal di gunung itu menyenangkan, tapi seminggu benar-benar hanya bertemu kambing, rumput, lebah, kuda, orang itu-itu saja, pergi ke situ-situ saja, melakukan itu-itu saja plus tanpa internet dan mini market terdekat ternyata tak seindah reality show. Kangen sebuah peradapan normal. Aku sudah mengemasi barangku sejak sore, siap mengangkutnya jika sewaktu-waktu Angela datang. Tapi… matahari mulai terbenam dan dia belum juga muncul. Angela baru sampai pas kami sedang makan malam, dia bilang sangat lelah dan ingin menginap disini malam ini. Akhirnya kami turun gunung keesokan paginya.
Meski hanya seminggu, tapi tempat ini mengajariku banyak hal. Masih sulit percaya aku bisa sampai di pegunungan Alpen, sendirian. Tempat yang luar biasa indah mengenalkanku pada orang-orang yang memiliki pribadi yang indah seperti Angela, Claudia dan Lea, dengan cerita masing-masing.
Rumah Angela di desa benar-benar mepet danau Interlaken. Tinggal loncat dari teras udah nyebur danau. View nya luar biasa indah, danau bening biru dan langit serasa menyatu, hijau pegunungan yang memagarinya, aku masih tidak percaya jika aku pernah tinggal seminggu di atas sana. Sebuah tempat yang bahkan tidak pernah terbayang dalam mimpiku.
Well, sebenarnya setelah moment kesasar di gunung, aku mengirim pesan SOS ke seorang teman, Pierre, yang aku kenal dari Trip Advisor untuk mumpang di tempatnya beberapa hari. Saat itu aku tak yakin bisa bertahan seminggu di gunung bersama kambing-kambing. Pierre baru merespon semalam bersamaan dengan tawaran Claudia untuk menginap di rumahnya di desa. Sempat nyesel moment nya berbarengan. Berasa simalakama.
Sebenarnya aku sangat sungkan untuk pamit ke Angela, dia telah menyiapkan tempat tidur yang nyaman buatku, seharusnya aku menginap disini 3 hari. Namun disisi lain aku juga sungkan karena telah membuat janji dengan Pierre dan dia sudah bersedia repot-repot menjemputku di stasiun sepulang kerja.
Angela agak kecewa saat bilang aku tidak bisa menginap di rumahnya malam ini karena akan menginap di tempat Pierre. Dia khawatir karena aku memilih tinggal di tempat laki-laki asing di negara asing. Akupun berbohong kalau aku sudah pernah ketemu Pierre sebelumnya. Untuk lebih meyakinkan, aku meminta Pierre untuk pura-pura sudah mengenalku dengan baik saat kami pertama ketemu nanti malam. Aku memberi tahu Pierre dengan detail ciri-ciriku dan diapun memberitahuku detail baju yang dia pakai.
Saat mengantarku ke stasiun, Angela masih berusaha memintaku untuk membatalkan rencanaku menginap di tempat Pierre, nampak sekali dia khawatir. Namun saat aku ber-akting lumayan meyakinkan saat pertama melihat Pierre berdiri di depan stasiun, sepertinya dia cukup percaya kalau aku dan Pierre sudah pernah bertemu sebelumnya. Semoga saja.
Kembali ke moment itu, saat aku dengan PD-nya melambaikan tangan ke seorang lelaki asing, tinggi besar brewokan sambil memanggil namanya berlagak macam teman lama padahal baru pertama ketemu. Kemudian aku cuek saja naik mobilnya terus nginep rumahnya. Itu adalah pengalaman pertamaku jadi surfer tidak resmi. Anehnya kemudian hari Pierre mengaku dia sempat parno kalau aku adalah pembunuh profesional atau penjahat sejenisnya. Heh??? Serius lo, diriku seseram itu? Atau mungkin karena aku bau kambing 🐐.
Hari kedua di Alpn, Claudia menawariku untuk ikut naik ke puncak gunung menengok kawanan kuda peliharaan mereka dan kuda orang sekitar yang dititipkan untuk mereka rawat. Yup, Claudia dan Angela menerima penitipan kambing dan kuda penduduk desa untuk dijaga selama musim panas di gunung. Aku sangat excited untuk ikut, maklum.. karena awalnya yang terbersit cuman jalan2 dan hunting foto keren dari atas.
Namun apalah daya, baru sekitar 30 menit atau 1/4 jalan aku sudah menyerah. Medan berat menanjak plus licin. Si Thilia, anak Claudia paling kecil lincah loncat sana loncat sini memimpin di depan sambil nerocos bahasa German Swiss yang aku ga mudeng. Well, karena sungkan kebanyakan minta istirahat, akhirnya aku memilih berhenti dan menunggu mereka balik di dekat air terjun. Claudia bilang, mungkin sekitar 3 atau 4 jam, dan jika aku bosan menunggu, aku disarankan untuk pulang. Aku memilih menunggu mereka di dekat air terjun. (jadi ingat cerita Coban Rondo).
Setelah puas poto-poto dan makan beng-beng, bekal perjalanan, aku jadi penasaran ingin naik, dan inilah awal mula cerita tersasar di Apln Swiss. Detailnya aku tulis terpisah ya,
Hari ketiga, anak-anak sekolah dan guru mereka pamit pulang setelah sarapan dan mencuci semua perabot makan yang mereka pakai. Mereka juga turun gunung dengan membawa sampah selama menginep. Patut dicontoh!.
Sebenarnya aku ditawari untuk tidur di sebuah rumah kayu sekitar 10 menit dari rumah Claudia, yang awalnya ditempati rombongan anak sekolah, tapi berhubung mesti tinggal sendiri dan tidak ada toilet, maka aku memilih tetap tinggal serumah, meski di sebuah bilik kecil di kolong atap yang biasanya digunakan untuk menyimpan kayu bakar. Claudia meminjamiku sleeping bag hangat milik Angela, dan itu cukup. Namanya juga numpang, sekaligus menikmati hidup di alam. Aku mencoba menempatkan diri layaknya Paris Hilton & Nicole Richi pas main reality show Simple Life, Googling dah kalau penasaran gimana serunya.👸
Hari ketiga normal, aku membantu Claudia dan Lea memerah susu setiap pagi, jam 6 dan sore jam 5. Selebihnya bebas, kalau mau naik gunung silakan, cuman masih trauma, jadi aku memilih bermain dengan anak-anak atau melihat proses pembuatan keju.
Waktu kami baru memulai memerah di sore harinya, tiba-tiba Claudia dan Lea berbicara keras, kemudian Lea keluar dan ga balik balik, jadilah tinggal aku dan Claudia. Aku memilih tidak bertanya ada apa. Berhubung mereka berbicara bahasa Jerman, aku ga mudeng kalau Claudia barusan sedang memarahi Lea karena ada 15 ekor kambing yang tidak pulang dan menurut Claudia itu karena Lea tidak profesional. Setelah kami selesai memerah, Claudia membersihkan semua peralatan, dia pamit untuk mencari kambing yang ilang, sekalian mencari Lea.
Kebayang ga sih, seorang wanita, sendirian ke gunung segede pegunungan Alpn, mencari kambing yang suka-suka mau mampir atau nongkrong dimana saja. But, dia bilang, sebagai seorang penggembala profesional, mereka harus memastikan semua kambing pulang dengan aman, entah itu mereka lagi cape, entah itu sedang hujan ataupun malam hari. Luar biasa! Jadi teringat kursi empuk, komputer dan AC di kantor. Betapa aku mesti banyak bersyukur.
Claudia belum pulang hingga aku tidur jam 11 malam. Claudia hanya mengandalkan listrik dari solar system, jadi untuk menghemat energi, jam 10 malam, setelah dinner, semua lampu mati. Iya, gelap gulita. Hanya ada suara klinting-klinting dari lonceng kalung kambing-kambing di luar sana. Kesederhanaan yang indah.
Hari ke-4 Hari ini hujan rintik, bikin udara jadi drop dingin banget. Fakta tentang kambing, mereka tidak suka hujan. Jadi saat pagi kami memerah susu, lebih sulit untuk memaksa mereka keluar. Kasihan juga ya, dingin-dingin hujan-hujanan di gunung. Apa kambing Swiss tahan masuk angin? Sepertinya begitu
Lea dan Claudia sudah berbaikan seperti tidak terjadi apa-apa pagi ini. Kami memerah susu bertiga. Seperti biasa, setelah selesai memerah susu, Lea menyiapkan bekalnya untuk naik gunung. Wajahnya agak dingin hari ini, sedingin udara di luar. Well, berangkat ke kantor pas hujan aja males kan, apalagi ke gunung coba? Jika itu bukan sebuah dedikasi atas profesi (catet tu…), atau gaji… well, anything, up to you.
Hari ini aku hanya akan melihat dan membantu Claudia membuat keju. Dia banyak bercerita tentang dirinya. Tentang ayahnya yang meninggal karena leukemia dan tentang perjuangannya hingga memulai usaha ini bersama Angela.
Claudia, wanita kuat dengan mata yang indah. Pertama kali bertemu dengannya, aku hanya melihat sesosok wanita cantik berambut pirang yang lebih cocok jadi bintang film dari pada seorang penggembala kambing. Namun ternyata dia juga sangat cerdas. Claudia menguasai 6 bahasa asing dan bisa memainkan hampir semua alat musik. Dia mampu mengingat apapun hanya dengan sekali lihat atau sekali belajar. Claudia memilih menjadi pembuat keju karena itu adalah passion-nya.
Cerita menarik tentang proteksi kesehatan bagi orang Swiss. Sebagai negara yang terkenal makmur kaya raya, aku tidak menyangkan kalau asuransi kesehatan juga menjadi masalah bagi mereka. Pada kasus ayah Claudia, pemerintah juga menanggung pengobatan beliau, namun untuk mendapat obat yang lebih baik, mereka harus mengeluarkan uang extra yang cukup banyak, aku tidak bertanya berapa CHF, namun bagi Claudia itu angka yang hanya mampu ditanggung oleh kalangan menengah atas, dan akhirnya pun tidak memberi kesembuhan. Sejak saat itu, Claudia mengaku kehilangan kepercayaan terhadap dokter dan rumah sakit, dia merasa mereka adalah mafia. Dia sekarang lebih memilih pengobatan alternatif, a.k.a dukun. Yess, Swiss juga punya dukun, Kakak.