(Bukan) Jilbab Para Malaikat

“Berjilbab tapi ngerokok, “

“Pakai jilbab tapi kelakuannya…. mending dicopot aja.. “

“aku belum siap pakai jilbab, takut ga bisa menyeimbangkan sama sikap, takut ntar copot pasang…”

Aku sering mendengar kata-kata itu, sering juga baca berita soal artis yang dibully gara-gara memutuskan menanggalkan jilbab atau karena ketahuan merokok, dugem, dll.

Aku masih ingat hari pertama memutuskan memakai jilbab. Hari itu aku butuh lebih dari 2 jam hanya sekedar untuk keluar kamar dengan jilbab (bukan untuk pergi ngaji). Hari itu aku merasa tidak pantas mengenakannya, karena masih belum bisa menjaga sikap, mulut, hati…. Hal-hal yang sering kali jadi alasan untuk sebaik ya jangan dulu..

Sudah hampir 10 tahun sejak hari itu, dan aku masih belajar. Masih belum bisa mengenakan jilbab yang sesuai tuntunan syar’i. Masih suka pakai jeans, baju ketat, dan tentu saja masih sulit menjaga sikap maupun hati.

Aku belajar memahami jika menjaga jilbab itu bukan hal yang mudah. Maka aku memilih untuk “paham”(bukan berarti setuju), jika ada mereka yang tidak sanggup menjaganya kemudian memutuskan untuk menanggalkan. Namun, setidaknya, sebuah usaha dan keberanian untuk memulai adalah hal yang sudah layak untuk dihargai. Sekecil apapun usaha untuk menaati perintah Allah itu lebih baik daripada tidak sama sekali.

Namanya juga usaha, tidak semua berhasil. Ada yang gagal, dan itu sesuatu yang seharusnya bukan menjadi alasan untuk lebih baik tidak dicoba.

Tidak munafik juga saat mengetahui seseorang yang pernah aku kenal dulunya berjilbab, kemudian memutuskan untuk menanggalkan, dalam hati ada perasaan kecewa, menggangap hal itu buruk dan sebagainya. Menjadi kewajiban sesama Muslim untuk mengingatkan, menasehati. Namun, adab mengingatkan adalah dengan sembuyi-sembunyi.

Tak ada yang benar-benar kita miliki di dunia, semua hanya titipan. Termasuk iman. Jika Allah menghendaki, bisa saja iman yang kita banggakan hari ini diambil. Bisa jadi yang kita cibir hari ini, besok diberi hidayah. Kita tidak pernah tahu,

Yang aku tahu, jilbab itu untuk Muslimah, bukan untuk malaikat.

WWOOF TRIP SWITZERLAND : KEBUN APEL ORGANIK DI BERN – PART 2

Mumpung belum terlanjur lupa, sekarang, saatnya melanjutkan cerita petik apel di Bern, Swiss. Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, Hostku bernama Philipp, seorang pria gaul berambut rasta. Aku tebak dia sekitar berusia 40an, berhubung anaknya yang pertama sudah berusia 18 tahun.

“Dont jugde a book from its cover” benar-benar cocok untuk Philipp. Di balik cover Bob Marley-nya, Philipp adalah pria penyayang dan seorang yang sangat berjiwa sosial. Dia adalah salah satu anggota Social Housing, sebuah program pemerintah Swiss untuk mengembalikan warga yang memiliki masalah social untuk kembali ke masyarakat. Masalah social itu antara lain kecanduan narkoba, kriminal atau masalah depresi. Philipp menerima orang-orang bermasalah itu untuk bekerja di perkebunannya, memberi konseling  dan membantu mereka memulai hidup baru di masyarakat.

Tahukah kamu, ternyata Swiss pernah mengalami krisis narkoba kelas berat. Bahkan Swiss dikenal sebagai “Europe’s biggest open drug scene”, tidak main-main karena narkoba yang dimaksud adalah  Heroin. Banyak warga meninggal karena candu. Di sebuah taman di Zurich yang bernama Zurich’s Platzspitz park, (dijuluki ‘needle park’ oleh The New York Times) pada tahun 1990an ribuan orang dengan terbuka menyuntikkan obat-obatan pada tubuh mereka hingga sekarat. Melihat kondisi yang semakin memprihatinkan, pemerintah berusaha mencari berbagai cara untuk mengatasi krisis narkoba hingga akhirnya menemukan cara efektif yang paling kontroversial. Swiss memerangi narkoba dengan narkoba. Swiss adalah negara pertama yang menjalankan Heroin on prescription untuk membantu para pecandu kembali ke kehidupan normal. Methadone legal diresepkan di Swiss untuk pengobatan pecandu heroin. Cara ini terbukti efektif mengurangi jumlah pecandu dan penyebaran HIV. Program ini ternyata sukses merubah image pecandu yang awalnya dikira keren jadi semacam penyakit. Kekhawatiran akan peningkatan pengguna karena pelegalan nyatanya tidak terjadi disini. Saat ini program tersebut telah diadaptasi oleh Canada dan Belanda. 

Nah, program lanjutan selain mengobati kecanduan tersebut adalah mengembalikan para mantan pecandu ke kehidupan social masyarakat, mengembalikan kepercayaan diri mereka. Itulah yang dilakukan oleh Philipp. Selain mantan pecandu, orang-orang dengan masa lalu criminal, masalah keluarga atau depresi personal juga diterima disini. Korban patah hati juga boleh daftar Saat aku bertanya kenapa dia mau melalukan itu? Dia bilang karena dia senang bisa menolong orang lain. Membantu orang lain membuatnya bahagia. Fortunatelly or unfortunatelly, pas aku disana, Philipp sedang libur dari pekerjaan sosialnya. Dia mengaku terkadang juga lelah. 

Aku beruntung (beneran beruntung) datang ke Matzwil di bulan October, saat apel-apel merah ranum siap panen. Tahun 2018 kemarin adalah tahun yang baik untuk apel, semua pohon apel di seluruh Swiss berbuah lebat berkat dukungan cuaca yang lebih hangat dari biasanya. Beberapa tahun sebelumnya, karena terlalu banyak hujan dan cuaca yang terlalu dingin, bunga apel banyak yang rontok. Jumlah panen turun drastis bahkan banyak petani yang memutuskan menebang pohon mereka karena merugi. Akibatnya, supply apel untuk konsumsi masyarakat menjadi jatuh. Melihat fenomena ini, pemerintah Swiss-pun memberi bantuan financial kepada petani apel agar mau mempertahankan tanaman mereka. Pemerintah Swiss baik ya..(ngiri😆)

Kebun Apel Philipp murni organik, dia hanya menggunakan pupuk kandang (dari sapi organik) untuk pupuk. Tidak ada pestisida sama-sekali. Bahagia melihat pohon apel yang penuh dengan buah berwarna merah ranum siap panen. 

Apel yang dipetik dipisahkan menjadi 3 grade dan ditaruh pada box berbeda, kualitas 1, apel dengan kondisi dan bentuk sempurna untuk konsumsi, kualitas 2 untuk buah konsumsi dengan harga lebih murah dan kualitas 3 adalah buah jatuh pohon atau dimakan ulat untuk bahan selai dan juice. Semua buah ini meskipun cacat, namun melalui proses pembersihan dan sterilisasi sebelum diolah. Jangan khawatir untuk keamanannya. Juice dari kebun apel Matzwil rasa dan aromanya…. the best i ever had.

Setiap Minggu, Philipp juga menyumbangkan beberapa box apel grade 3 untuk sebuah pabrik apel local yang mempekerjakan difficult people di daerah itu. Untuk pekerjaanku sendiri, hanya membantu Lukas and the gang (baca Post sebelumnya ) memetik apel dari jam 8 pagi sampai jam 3 sore. Senin-Jumat, Sabtu Minggu libur. Jam 10 pagi dan jam 3 sore adalah waktunya tea time. Kami istirahat 30 menit untuk minum teh dan ngemil roti.

Istirahat siang antara jam 12-1.30, makan siang dan istirahat. Philipp adalah koki yang hebat. Karena dia adalah seorang Vegan, Philipp tidak memasak daging dan telur tapi dia pandai mengkombinasikan kacang-kacangan dan biji-bijian sebagai sumber protein. Masakan Philipp adalah masakan terenak dan paling cocok dilidahku selama 6 minggu keliling Swiss Perancis. Selesai makan, kami  mencuci peralatan makan dan masak bersama-sama. 

Bagiku secara pribadi, pekerjaan ini menyenangkan namun cukup berat karena mesti angkat-angkat keranjang apel. Aku kagum pada Caroline dan Marlina yang sangat kuat dan cekatan mengangkat keranjang besar apel, naik turun tangga, nyetir traktor, dll. Padahal mereka lebih mirip barbie cantik bermata biru dari luar.

Awal October tahun lalu cuaca di Bern pas pagi bisa sangat dingin, sekitar 5 derajat celcius tapi mendadak terik perlahan saat matahari bangun. Jam 12 siang, suhu bisa mencapai 33 derajat. Nah jadinya, pakaian kamipun menyesuaikan. Pas pagi semua pakai jaket tebal, sarung tangan, masker, tapi tengah hari Marlina dan Marcela mendadak ganti kostum, hanya pakai BH dan celana pendek. Jadilah kebun apel rasa pantai.

Kebayang kalau mereka jadi buruh petik apel di Batu atau Bandung, bisa didatangi warga buat diajak selfie atau malah diprotes karena terlalu sexy 🤣. Meskipun kami tidak bisa ngobrol gegara roaming bahasa, Polish Gang memperlakukanku dengan sangat ramah.

SENSASI NGEMPER DI EROPA

Pertanyaan paling populer soal solo traveling selain kesepian adalah keamanan. Ini adalah pertanyaan tak terjawab, karena aku percaya tidak ada tempat di bumi ini yang totally safe. Jangankan pas jalan-jalan ke tempat asing, di rumah kita sendiri saja selalu ada kemungkinan bahaya. Jadi, selalu berhati-hati adalah kuncinya. 

Membahas tentang situasi-situasi yang agak berbahaya selama solo traveling, aku punya beberapa pengalaman ngemper di beberapa tempat. Istilah ngemper ini mengacu pada upaya penghematan dengan tidak menginap di hostel tetapi dengan menghabiskan malam di tempat umum. 

Pengalaman pertama ngemper international adalah di Changi. Waktu itu bareng teman, bertiga jadi aman-aman saja. Ngemper ke dua di Narita, waktu itu pas dari Sapporo balik ke Tokyo dengan flight malam. Beruntung ada teman mahasiswa Malaysia jadi ga sendirian. Waktu itu pas musim dingin. Aku dapat kursi di depan pintu masuk. Jadilah pas pintu terbuka langsung diserang dingin. Brrrrr….

Berbekal 2 pengalaman ngemper international di atas, aku sudah meniatkan acara ngemper di trip Swiss-Perancis kali ini.


Pertama, ngemper dini hari di jalanan Lyon

Yes, literally jalanan. Ceritanya aku dalam perjalanan ke Ales (Perancis) dari Interlaken (Swiss) menggunakan Flix Bus. Perjalanan itu lumayan panjang dengan 2 kali transit. Milan (Itali)- Lyon baru Nimes, stasiun terdekat dengan Ales. Interlaken-Milan hanya sekitar 5 jam, aku sampai di Milan sekitar jam 2 siang, perjalanan selanjutnya Milan-Lyon, sekitar 7 jam. Transit di Milan sekitar 4 jam.

Berangkat jam 6 sore dari Milan, prediksi sampai di Lyon jam 1 an dini hari. Karena trip selanjutnya Lyon ke Nimes jam 8 pagi, jadi aku sengaja tidak booking hotel, for the sake of penghematan aku niatkan bermalam di stasiun, dengan prasangka positif di Eropa pasti stasiun buka 24 jam, ataupun kalau tidak pasti ada halte yang layak untuk ngemper.

Perjalanan kami delay 1 jam karena pada saat pemeriksaan document di perbatasan Itali ke Perancis, ada seorang penumpang, cowok muda yang pas duduk depan bangkuku, tak memiliki document lengkap sehingga Polisi perbatasan Itali menahan bus kami. Setelah sejam dia dibawa ke kantor polisi dan tidak juga kembali, perjalananpun dilanjutkan. Sang cowokpun tertahan di perbatasan. Semoga dia baik baik saja.

Jam 2 malam, driver menyampaikan lewat pengeras suara kalau kami telah sampai di Lyon. Oh no, ternyata station Lyon hanya dibuka sampai jam 12 malam, sehingga bus hanya menurunkan penumpang di jalanan depan stasiun. Disana, tidak ada bangku, tidak ada halte bus, hanya ada seperator jalan dengan trotoar. Angin sepoi-sepoi menambah dingin udara, Alhamdulillah tidak hujan meski langit mendung. 

Aku dengan menenteng 2 backpack dan sebuah tas tangan, ndoprok di pinggiran jalan sendirian. Hmm, enggak sendirian juga sih, ada beberapa pria, yang juga sepertinya turun berbarengan denganku dan beberapa orang yang sepertinya menunggu bus, berdiri di pinggir jalan, ada yang ngobrol ada yang sedang merokok.

Udara makin dingin, beberapa orang telah naik bus yang mereka tunggu, menyisakan aku dan makin sedikit orang di jalanan itu. Tengok kanan kiri, di belakangku ternyata adalah sebuah restaurant dengan beberapa bangku di teras. Aku terpikir untuk berpindah duduk disana, namun enggan jika ternyata ada security dan kemudian aku diusir. Pengalaman diusir dari teras di resto Lyon bukan pengalaman indah yang bisa diceritakan pas pulang nanti, kan?

Beberapa saat kemudian ada 2 orang lelaki duduk disana. Akupun latah mengikuti mereka. Ternyata sudah ada beberapa orang yang tiduran di bangku pojok. Semua laki-laki. Horor, iyess.

Temanku yang asli Prancis sudah wanti-wanti agar aku hati-hati karena di setiap pinggiran stasiun adalah lokasi lokalisasi, tempat anak jalanan suka minum-minum dan sering kali jadi tempat transaksi narkoba. Iya, pas sebelah restoran ini adalah sebuah warung sex toys. Uhlalaaaaa… warna catnya pink dengan lampu neon kelap-kelip ungu. 

Masih jam 3, aku mencoba tidur di kursi, sambil memeluk harta bendaku, berselimut jaket dan berdzikir dalam hati. Aku terbangun saat seseorang menepuk punggungku, dia bilang stasiun sudah buka.

Station Lyon ternyata cukup gede, saat itu sudah ada beberapa bus yang mulai beroperasi tapi kereta pertama baru akan mulai jalan jam 5:30. Aku menemukan bangku di sebelah vanding machine depan pintu utama, ah ada sinyal wifi. Senangnya,

Sayang sekali, mampir di Lyon hanya untuk numpang tidur beberapa jam, di jalanan pula. Lain kali aku ingin balik ke sini, booking hotel minimal bintang 3 lah ya (Balas dendam). Bersyukur melewatkan malam dengan aman meski ga nyaman di pinggir jalan station Lyon. Cukup sekali saja. 


Next, Ngemper di Bus Central Strasbourg

Ternyata pengalaman ngemper di Lyon ga bikin aku jera, malah makin berani. 

Kali ini adalah perjalanan pendek, masih dengan Flix Bus, dari Strasbourg ke Bern untuk WWOOFing ke 3. Perjalanan cuman 3 jam, tapi dimulai jam 3 pagi. Sudah aku niatkan untuk jalan kaki dari hotel ke terminal, toh cuman 30 menit, sekalian mampir masjid gede Strasbourg untuk sholat Magrib dan Isya. Akupun berjalan kaki sambil mengeret-geret koper dan menggendong ransel.

Karena ga pingin jalan dalam kegelapan nan sepi, aku memilih berangkat lebih awal, tepatnya sampe stasiun masih jam 9an, jadilah ngemper hampir 6 jam. Padahal naik trem cuman 2 Euro lo, tapi aku milih jalan kaki😝

Terminal Bus Strasbourg cukup nyaman, ada bangku dan penerangan cukup, relatif ramai. Hampir tiap 15 menit ada saja bus datang yang sharing wifi sebentar-sebentar. Lumayanlah, cukup buat chating ngusir bosan.

Saat itu aku duduk di bangku depan sebuah pusat informasi yang seatap dengan toilet umum, yang baru aku sadari sebenarnya adalah Smoking Area. Aku baru ngeh pas kali ke tiga ditanyai soal korek api. Sempat heran, kenapa mau pinjam korek ke aku? Pas noleh belakang baru ngeh tulisan Smoking Area.

Karena tidak mau disapa orang buat minjam korek lagi, aku pindah duduk di area bangku taman. Berhubung area terbuka… werrrrrrrr…. saat angin semriwing datang, dinginnya sampai ke tulang. Bersyukur malam itu cerah, bintang kelap kelip di langit dan busku pun datang on-time. Ngemper di Strasbourg bukanlah cerita horor.

Kali ini di Stasiun Central Zurich, Zurich HB

Masih ada cerita ngemper selanjutnya. Kali ini di Stasiun Central Zurich, Zurich HB, sehari sebelum balik ke Jakarta. Apalagi kalau bukan untuk alasan penghematan. Berhubung sudah kenal stasiun ini, maka aku relatif PD (apalagi berpengalaman di 2 lokasi ngemper sebelumnya).

Setelah puas keliling kota Bern, jam 8 sore aku naik bus menuju Zurich, cuman sejam. Awalnya mo nyari tumpangan di Couchsurfing, udah dapat 2 host, tapi akhirnya aku memutuskan ngemper di stasiun saja. Dari jam 9 malam aku mulai nongkrong di Zurich HB, baca buku, chatting, update instastory sampai kelaparan akhirnya ngantuk juga. Sekitar jam 1 malam aku rebahan di bangku panjang depan tempat ibadah. Bangku itu cukup panjang untuk 2 orang. Di bangku itu sudah ada seorang ibu-ibu yang yang rebahan juga. Beliau tersenyum ramah, tapi kami tak sempat ngobrol.

Aku terbangun tiba-tiba karena mimpi aneh, lupa mimpi apa, tapi pas aku membuka mata, aku melihat sebuah tangan mencoba membuka resleting tas kecilku yang aku taruh diantara dinding dan tubuhku (seingatku semalam aku memeluk tas itu). Reflek aku mendongak dan ternyata ada 2 orang pria sedang duduk di sebelahku, reflek aku senyum ke arah mereka. Sang Ibu ternyata sudah bangun. Aku masih setengah sadar atau mengigau, saat melihat jam tangan masih jam 4 pagi. Aku menutup kembali resleting tasku, terus balik tidur lagi. Tak lama kemudian, aku terbangun lagi, dan masih sama, aku melihat sebuah tangan berusaha membuka resleting tasku. Kali ini aku baru sadar ada bahaya. Duh… Lola banget. Masih 2 orang tadi, namun mereka lekas beranjak pas aku benar-benar bangun.

Lagi-lagi bersyukur, tak ada barang hilang, isinya memang bukan uang sih, tapi barang-barang kecil, souvenir dan PASPOR!!!! Hadew, tinggal di Swiss memang menyenangkan. Tapi kalau berlama-lamaan disini gara-gara paspor ilang??? Amit-amit…. jangan sampai kejadian ya Allah….

Eh, masih ada lagi cerita ngemper…. well ini beneran yang terakhir !!!

Hari ini adalah hari terakhirku di Swiss, besok jadwal balik ke Jakarta. Rencana hari ini adalah numpang gosok gigi di toilet yang bayar 1,8Euro, nitipin tas di loker selama 10 jam, keliling kota Zurich kemudian ngemper di Bandara. Karena agak parno ngemper di stasiun lagi, aku memilih ngemper di bandara malam ini. Pertimbangan pertama adalah karena bandara pastinya lebih rame, 24 jam, lebih aman dan lebih mudah nyari toilet (gratis).

Jam 10 malam aku naik kereta ke bandara, cuman sekitar  20 menitan. Saat itu situasi ramai seperti bandara sewajarnya.

Akupun hunting posisi PW untuk tidur. Sempat tertidur sejam, aku terbangun sekitar jam 12 malam and bengong karena saat itu tidak ada lagi orang di sekitarku yang awalnya lumayan rame. Hanya ada sekitar 3-4 orang di bangku seberang. Well, dan keadaanpun semakin malam semakin sepi. Karena penasaran, aku mencoba keliling, mengharap situasi berbeda di sudut lain, but… di bandara segede itu beneran hampir tidak ada orang. Semua counter Duty Free, toko tutup. Entah jika ada area yang buka 24 jam di sebuah sudut yang tak terjamah. 

Setelah muter-muter ga jelas dengan rasa khawatir ketemu satpam terus diusir, aku menemukan 2 orang sedang tertidur di bangku dekat counter check in. Aku pun ikut ikutan buka lapak disana. Kelelahan, akhirnya tertidur pulas, baru terbangun jam 6 pagi.  Saat itu, bandara Zurich-pun normal lagi. Penting banget untuk cari tau dulu jam operasional tempat-tempat umum macam bandara atau stasiun. Ok, catet. Lesson to learn!! Merasakan bandara Zurich serasa milik sendiri semalaman adalah pengalaman yang tidak ingin aku ulangi.

Well, jujur, ngemper di tempat umum bukan pengalaman yang menyenangkan. Meski selalu ada sensasi puas pas melewati saat-saat genting (plus menyelamatkan budget), namun sebaiknya keamanan tetep jadi prioritas utama dimanapun berada. Kalaupun pingin nyobain pengalaman ngemper di tempat umum, sebaiknya survey tempatnya dulu, siapin bekal makan minum cukup, download film secukupnya atau bawa buku bacaan. Biar jadi ngemper rasa piknik.

Sering banget dapat komen, “Jalan-jalan ga ngajak-ngajak sih?”, “lain kali ajakin aku jalan bareng ya,..”. Setelah baca cerita ini, masih mau ikutan??

MAN IN THE KITCHEN

Di Jawa, istilah “Dapur, Sumur, Kasur” untuk perempuan, masih sangat kental diterapkan. Tugas laki-laki adalah sebagai kepala keluarga, mencari nafkan dan sudah sepatutnya dilayani. Pun, melayani suami dengan baik adalah tugas dan kewajiban istri. Namun, apakah berada di dapur dan membantu istri bisa menurunkan derajat lelaki?

Please don’t take it seriously, karena ini hanya pendapatku dan tentang pengalaman tinggal dengan beberapa keluarga dengan cerita masing-masing selama menjadi WWOOFer.

Di sekitarku, bahkan di rumah masih jarang melihat laki-laki di dapur atau suka rela membantu istri ngerjain pekerjaan rumah, apalagi kalau istri tidak kerja. Ibaratnya menjunjung tinggi pembagian scope kerja suami dan istri. Suami cari uang and istri merawat rumah dan anak-anak. Tugas mencari nafkah memang sudah berat, tapi jika pekerja formal umumnya minimal seminggu sekali libur, tugas Ibu tidak begitu. 24 jam sehari 7 hari seminggu selamanya.

Namun ada juga fenomena bapak rumah tangga berkembang di desaku (sebuah desa di pegunungan pinggiran Malang) beberapa tahun terakhir. Karena keterbatasan keterampilan dan ketersediaan pekerjaan untuk pria, peran mencari penghasilan berpindah pada wanita, rata-rata dengan menjadi TKW. Menjadi tenaga kerja di luar negeri adalah pilihan yang cukup menjanjikan perbaikan ekonomi. Karena sang ibu harus merantau untuk waktu yang lama, minimal setahun, tugas merawat anak umumnya diambil alih sang bapak. Pada kasus seperti ini, secara pribadi aku kurang setuju jika peran pencari nafkah mesti “sepenuhnya” berpindah ke Istri. Wanita adalah tulang rusuk, bukan tulang pungung.

Neuchatel Lake

Aku pribadi, adalah pengagum lelaki yang pinter masak. Bagiku, lelaki yang pinter masak itu SEXY. Seriuosly!!! Ditambah lagi yang tidak enggan mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti cuci piring atau bersih bersih, berperanserta dalam momong anak juga. Bukan modus cewek males looo…, tapi beneran romantis melihat pasangan suami istri saling bantu mengerjakan pekerjaan rumah. Suami istri adalah team, sudah sepatutnya saling support.

Pengalamanku tinggal di 3 keluarga berbeda selama WWOOFing menunjukkan sebuah anomali. Di Interlaken, dimana semua penghuni rumah adalah wanita, pekerjaan rumah tangga cenderung tidak begitu diperhatikan, masak-memasak kadang kadang, beres-beres rumah kalau sempat. Namun para wanita itu sangat tangguh dan ahli bekerja pada bidang yang sebenarnya lebih cocok untuk pria.  

Sementara itu, di rumah Philipp yang 80% penghuninya lelaki, seluruh sudut rumah malah selalu rapi bersih bersinar. Makanan selalu makanan beneran yang rasanya selalu enak. Di tempat lain, Vincent dan Cecile saling support satu sama lain. Ok, lets say itu bukan budaya tapi kebiasaan sebuah keluarga atau kesepakatan masing-masing pasangan.

Well, beda keluarga beda adat pastinya ya, termasuk pengaruh kulture sosial juga. Philipp mengatakan bahwa sejak 20 tahun belakangan, di Swiss lelaki mulai terbiasa bekerja di dapur, suka masak dan mengerjakan pekerjaan rumah membantu istri. Sebelumnya, pria mengerjakan pekerjaan rumah juga tidak umum. Namun saat ini, baginya, budaya yang menganggap pekerjaan rumah tangga hanya untuk wanita itu old school banget, sudah kuno.

Aku setuju, K-U-N-O. Terutama jika istri juga bekerja, tentunya akan sangat terbantu jika suami juga ikut membantu pekerjaan rumah. Bahkan, riset membuktikan bahwa peran ayah dalam mengasuh anak juga memberi efek positif bagi perkembangan mereka. Pernah baca sebuah quote, “Dad who respond to his baby crying, rock them and change diapers, are not helping Mom, they are being fathers “.

Learning by Travelling

Travelling bukan hobi alamiku. Aku dulu bukan hanya tidak suka jalan-jalan, tapi juga enggan bertemu orang baru. Aku menyukai duniaku yang itu-itu saja, disitu-situ saja. 

Somewhere in Sapporo, Japan 2017

Seseorang yang tak begitu mengenalku suatu hari menyampaikan fakta tentang diriku yang sudah aku tau. Bahwa aku orang yang terlalu introvert. Well, apa salahnya? 

Dia menyarankan aku untuk belajar membuka diri. Entah mengapa, kata-kata itu seperti ‘wake up call’ yang ku tanggapi dengan serius. Aku sadar bahwa aku memang ingin membuka diri pada pengalaman baru, pada orang-orang baru dan sudut pandang baru.

Menantang dan melakukan sesuatu yang kita takuti itu menyenangkan. Hingga akhirnya malah menjadi kecanduan. Begitulah perkenalanku dengan travelling. Berawal dari takut, memulai dengan memaksakan diri dan akhirnya jadi ketagihan.

Aku kagum bagaimana travelling mengubahku. Mengajariku banyak hal, yang lebih banyak tanpa aku sadari. Bagaimana tiba-tiba aku merasa akrab semeja dengan orang yang baru aku kenal, berbagi kamar bersama orang asing dalam dormitori tanpa merasa khawatir, perasaan nyaman berada di sebuah tempat jauh dari rumah, tanpa mengenal siapapun. Sejak kapan aku bisa begitu? Sejak solo tripku yang pertama.

Aku lebih menyukai solo travelling. Tentu saja karena aku seorang introvert. Selain itu, aku menikmati kebebasan. Bebas menentukan budget, tujuan, jadwal, dan bebas dari berkompromi yang tak perlu.

Apa aku tak merasa kesepian, atau merasa seperti orang hilang? Sesekali, sangat jarang. Aku yang biasanya enggan menyapa orang asing, jadi lebih ringan mengatakan “Hi… “, membuka percakapan dengan basa basi yang bermuara pada pertemanan, bahkan cinta.

Bagi sebagian orang, travelling itu semacam pemborosan. Namun, ada banyak cara untuk menghemat, jika motivasi utama bukan sekedar foya-foya atau belanja. Travelling tidak selalu tentang hotel mewah, makan di resto mahal atau belanja branded. Traveler is not just a tourist. Traveler lebih menikmati mengexplore pengalaman baru, menikmati sesuatu yang berbeda dari 1 tempat ke tempat lain, mengenal orang-orang asing.

Setiap perjalanan, selalu menyimpan cerita berbeda, bahkan meski kita melakukannya bersama-sama. Aku dan kamu tidak akan bisa melukis sebuah memory yang persis. Itulah yang membuat setiap perjalanan itu unik dan menantang. Ada kalanya di luar rencana, ada kalanya melebihi expektasi. Menikmati dan menerima apapun yang kita temui di jalan, mengajari kita bersyukur.

Travelling is not just a hobby for me, its a need. 

Design a site like this with WordPress.com
Get started