Design a site like this with WordPress.com
Get started

WWOOF TRIP 1 : PETERNAKAN KAMBING DI INTERLAKEN

Aku ingin berbagi cerita tentang solo trip ke Swiss dan Perancis. Trip ini adalah trip WWOOF, aku akan tinggal di 3 host yang berbeda, 2 di Swiss dan 1 di Perancis. Kalau mau tau apa itu WWOOF, silakan baca postingan sebelumnya ya,

Singkat cerita, aku memutuskan break kerja sementara. Planning ngisi waktu senggang dengan ngetrip WWOOF.

Inflight Meals Thai Airways

Sekitar Maret 2018 lalu, aku dapat tiket promo ke Zurich pake Thai Airway. Sept tahun 2017 kemarin, aku juga ke Swiss naik maskapai ini. Promonya lumayan dan service cukup baik. Rutenya JKT-BKK-ZRH. 

Setelah daftar di WWOOF Perancis dan Swiss, aku mulai mengirim beberapa email request. Sekitar 2 mingguan, aku mendapat respon dari 3 host, peternakan kambing di Interlaken Swiss, kebun apel di Bern dan kebun sayur di Perancis.

3 Sept 2018 Landing di Zurich masih pagi, jam 7:30. Langit mendung kelabu, langsung terserang hawa dingin pas turun pesawat. Setelah mengambil bagasi, aku menuju toilet untuk cuci muka sama gosok gigi. 

Tujuan pertamaku adalah host di Interlaken. Mereka adalah peternak kambing dan pembuat keju tradisional yang saat ini tinggal di area Alpen. Yup, pegunungan legendaris itu. Aku menghubungi Claudia, host-ku di Interlaken untuk konfirmasi kedatanganku plus info penjemputan. Dia bilang Angela, partnernya yang akan menjemputku di Interlaken Ost. Alhamdulillah udah pernah kesana jadi tidak begitu asing and kuatir nyasar. Udah booking day saver ticket untuk trip bandara ke Interlaken ost. Yes, transportasi adalah bagian yang paling bikin nyesek saat bikin budget ke Swiss. Mahalnya tiada terkira.

Tips : Untuk Transportasi di Swiss, silakan instal apilkasi SBB Mobile. Bisa pesan tiket online juga. Jika tidak terlalu lama di Swiss, dan ingin lebih hemat, Day Saver bisa jadi pilihan. Pesan jauh-jauh hari agar dapat harga lebih murah. Biasanya, aku dapat harga 52CHF, integrated untuk bus, kereta, kapal unlimited dalam area yang tercover dengan masa berlaku dari jam 00:01 sampai jam 05:00 hari berikutnya

Interlaken Ost Station

Perjalanan dari Zurich Airport ke Interlaken Ost hanya sekitar satu sejam setengah. Sampai di Interlaken Ost masih jam 11.30, padahal aku minta dijemput jam 2 siang. Jadinya aku ngemper di Ticket office, menikmati wifii gratis. 

Jam 2 pas, sebuah mobil ford silver, seperti info dari Claudia berhenti di parkir zone pas depan tempat aku duduk, seseorang yang sekilas first sight lebih mirip pria berjalan dengan senyum di bibirnya kearahku, reflek aku berdiri menyambut uluran tangannya. Hi, i am Angela… Hello, i am Emi. Thank you for picking me up. Sedikit salah tingkah karena aku memanggilnya Mrs, padahal dia lebih mirip Mister.

Interlaken dari atas

Angela membantuku membawa 2 karung bawaanku ke mobil. Horaaa…. sempat kaget karena di jok tengah duduk manis seekor anjing shepherd hitam dengan mata berbinar. Ok… kejutan kedua.

Sepanjang jalan Angela bercerita jika saat muda dia suka travelling, bahkan pernah tinggal di Medan selama 3 bulan. Dia masih ingat durian, kopi manis, ikan mas, sambal, hingga berhitung satu dua tiga empat tujuh. Dibalik penampilan tomboi-nya, Angela sangat ramah dan bersahabat, akupun jadi cepat nyambung ngobrol dengannya.

30 menit, mobil kami mulai masuk area hutan, kemudian parkir di kaki gunung pas disebelah papan bertulis “Alps”. Akupun tercengang karena disana hanya ada jalan setapak masuk hutan untuk hiking, dan itulah jalan yang harus aku tempuh (ehem) untuk menuju tempat Claudia beserta kambing-kambingnya, mungkin semalam hujan sehingga tanah nampak basah dan becek. Akupun berusaha menutupi kekagetanku dengan wajah excited palsu. Pura-pura sudah biasa naik gunung dan siap dengan medan apapun… padahal dalam hati ingin balik kanan, trus bikin tenda aja di seberang danau Interlaken sana.

Kambing yang Anggun

Angela menawarkan untuk menyimpan 1 tasku di rumah mereka di kota agar memperingan pendakian kami, itupun Angela menawarkan untuk membawa ranselku dan aku hanya membawa tas jinjing berisi barang-barang kecil. 10 menit mendaki, aku masih waras, nafas masih wajar meski ngos-ngosan, Alhamdulillah sudah sarapan di pesawat. 15 menit baru berasa nafas mulai seret, 20 menit mau pingsan. Melihat aku kecapaian, Angela menawarkan istirahat. Dari atas sini, pemandangan Interlaken nampak cantik, dengan danau warna turquois dan rumput hijau.

Setelah perjuangan naik gunung selama 50 menit, sampailah kami di sebuah rumah kayu dengan bagian belakang rumah terbuka, rupanya itu adalah tempat untuk memerah susu sehari 2 kali, bekas jejak kaki kaki kambing masih tercetak di tanah basah, aroma srintil (kotoran kambing) segar membahana, shock kesekian kali karena dibagian depan rumah ini adalah rumah tinggal yang akan aku tempati 10 hari ke depan. Kesan pertama, tentu saja jorok karena urin kambing sangat menyengat, sehingga tercium sampai di teras depan, bau yang kemudian hari membuatku rindu. Namun rumah bagian depan yang digunakan sebagai tempat Claudia membuat keju dan tempat tinggal kami lumayan bersih.

Saat itu, kebetulan sedang ada rombongan anak-anak SMP yang sedang menginap disana. Ada 3 anak lelaki dan 3 perempuan, yang ternyata berkebutuhan khusus. Mereka hanya menginap 2 malam untuk berakhir pekan dan melihat aktifitas pembuatan keju tradisional.

Claudia sendiri memiliki 3 putri cantik, si sulung Sajjane 11 tahun, Moira 8 tahun dan Thilia 5 tahun. Mereka adalah gadis kecil periang yang luar biasa mandiri dan cerdas. Claudia hanya tinggal di rumah gunung saat musim panas, dan gadis gadis kecil itu hanya disana saat libur sekolah. Mereka memiliki rumah di lembah, pas di tepi danau Interlaken. Sementara Angela hanya sesekali ke gunung, dia bertugas merawat rumah di lembah yang sekaligus menjadi penginapan AirBnB dan bertanggung jawab merawat beberapa kambing di tempat lain.

Fakta unik tentang bahasa di Swiss. Ternyata, Swiss memiliki bahasa German yang diadaptasi dengan bahasa Perancis dan Itali, karena negara ini terletak diantara 3 negara tersebut. Bahasa German Swiss berbeda dengan German asli, bahkan tidak mudah dipahami oleh native German. Secara resmi, di sekolah dan untuk urusan resmi lain, orang Swiss rata-rata menggunakan bahasa German, sementara untuk bahasa sehari-hari, mereka menggunakan Swiss German. Bahasa Perancis digunakan di wilayah yang berbatasan dengan Perancis seperti Neuchatel. Bahasa Itali di daerah yang mepet Itali. Pada setiap kemasan produk, ada penjelasan dalam 3 bahasa di atas.

Claudia memiliki seorang asisten, gadis shepherd asal German bernama Lea. Tampilannya nyentrik dengan rambut rasta, namun matanya teduh bersahabat. Sore itu juga Lea menawari aku untuk belajar memerah susu kambing. Huwaaaa…. 150an ekor kambing saudara-saudara. Beruntungnya, September adalah akhir musim panas sekaligus akhir musim produktif bagi kambing, sehingga rata-rata hanya perlu waktu sekitar 3 jam saja. Iya, 3 jam. Bayangin coba pas musim produktif,😖.

Rumah Keju

Kambing bukanlah binatang yang asing bagiku, mereka juga termasuk peliharaan yang loveable, tapi injakan marah kambing dewasa adalah sesuatu yang tidak bisa disebut mesra. Pertama memcoba memegang payudara (atau apa sih istilahnya?) mereka horor juga, takut menyakiti mereka, meski binatang, ada rasa solidaritas juga sebagai sesama wanita (hahahaha…), kan ga nyaman ya kalau bagian sensitif itu dipegang orang asing? Meski terlihat sederhana, namun memeras susu kambing ternyata tidak mudah, perlu jemari yang kuat.

Prosesnya, pertama semua kambing dimasukkan ke kandang, kemudian per 12 ekor dikeluarkan, diikat pada tempat khusus, kambing berjajar sambil diberi makan, mereka akan diperah satu persatu. Sebelum memasangkan vacuum, tiap puting harus diambil sample susu terlebih dahulu agar bisa diketahui jika ada kelainan, seperti nanah atau darah. Bisa terjadi pada kambing yang sedang sakit atau terinfeksi karena putingnya digigit bayi mereka yang menyusu. Setelah selesai diperah, 12 kambing tadi dikeluarkan lagi dan 12 kambing baru dimasukkan, begitu sampai selesai.

Susu segar hasil perahan selanjutnya didinginkan secara natural dengan air mengalir, can susu  dimasukkan ke dalam bak besar mirip bathtub, kemudian bak diisi air yang dibiarkan terus mengalir, biasanya semalaman. Air yang kami konsumsi adalah air dari pegunungan Alpn yang aman diminum langsung tanpa dimasak. Keren banget kan? Semacam punya pabrik aqua pribadi.

Esok harinya, susu tersebut baru akan diolah, susu dipanaskan dengan api dari kayu, hingga batas hangat tertentu kemudian diberi cairan khusus untuk keju. Setelah beberapa saat, susu akan menggumpal seperti yogurt, kemudian baru disaring untuk dicetak. Keju tidak suka dingin, jadi pada saat pembuatan harus selalu memperhatikan suhu. Ada pekerjaan lifting yang cukup berat selama proses ini. Termasuk menuang susu dari can ke panci gede untuk digodok. Aku sempat dapat luka bakar di pergelangan tangan karena  nyenggol panci panas pas bantuin Lea menuang susu.

Sambel Oelek made in Swiss

Claudia memiliki sebuah rumah kecil dari kayu untuk menyimpan keju, semua alami, tanpa proses kimia sedikitpun. Oiya, keju yang masih muda harus selalu diperiksa karena sangat rentan menjadi sarang larva serangga yang menerobos masuk ke ruangan. Setiap hari keju muda juga perlu dibolak balik dan dilumuri garam khusus. Ribet ya, seperti merawat bayi. Berbicara mengenai keju dari susu kambing, rasanya lebih kuat dari keju susu sapi, karenanya harganya lebih mahal. Bisa dibilang premium. 

Bersambung part 2

Advertisement

WWOOF TRIP 1 : PETERNAKAN KAMBING DI INTERLAKEN – PART 3

Hari ke-5 di Interlaken

Hari ini Claudia yang gantian naik gunung, dia memberi kesempatan untuk Lea istirahat. Akhirnya dia paham kalau Lea sudah benar-benar lelah. Bayangkan saja, Lea dikontrak kerja selama 5 bulan tanpa libur akhir pekan. Secara kambing tak mengenal weekend. Area kerjanya adalah gunung guede. Memang sih gajinya juga guede. Meski bertitle penggembala kambing tapi gajinya tetap setara standard gaji Swiss. Sekitar 3000CHF. Kalau kurs 14.000, coba itung berapa, Anda berminat?


Lea meminta aku memasak labu yang dia petik dari kebun untuk makan siang kami, karena menurut dia masakanku kemarin enak. Sambil makan siang kami berbagi cerita, soal banyak hal. Saat aku tanya apa yang ingin dia lakukan 3-5 tahun ke depan, dia bilang dia ingin memiliki ladang pertanian atau peternakan, mempekerjakan difficult people seperti bekas pecandu obat-obatan atau bekas narapidana yang kesulitan mencari pekerjaan. Yup, dibalik gaya cuek dan nyentrik itu, tersimpan hati yang mulia. Put me to shame, saat aku sadar bahwa apa yang ingin aku raih di 3-5 tahun ke depan hanya hal-hal materialistis untuk kepentingan pribadiku. Rumah, nikah, mobil, travel plan, etc.

Setelah makan siang, anak-anak mengundang kami untuk menonton pertunjukan circus di kamar mereka. Circus itu disutradarai oleh Sajjane, si sulung. Dibintangi oleh Sajjane sendiri, Moira dan Thilia. Si bungsu Thilia melakukan adegan pole dance dengan penuh penghayatan. Circus itu terdiri dari 4 adegan, adegan pembuka berupa kambing merangkak berputar-putar dan loncat-loncat selama 5 menit, kemudian adegan pole dance, kemudian balik ke kambing putar putar dan ditutup dengan Pole Dance lagi. Aku kagum dengan Sajane yang sungguh piawai memilih lagu dan music yang selalu pas dengan adegan yang mereka peragakan. Luar biasa. Meski sedikit bosan dengan adegan merangkak yang cukup lama, aku sangat menikmati snack yang mereka siapkan untuk penonton. Coklat, permen dan almond plus orange juice. Well, what a perfect little event organizer.

Hari ini akan ada helper baru dari Spanyol untuk menggantikan Lea. Masa tugas Lea berakhir mid. September. Mereka sampai di tempat kami sekitar jam 2 siang, diantar seorang guide lokal. Mereka rupanya adalah pasangan muda yang ingin mengumpulkan uang untuk membangun peternakan sendiri. Nama ceweknya Angela juga (cuman beda spelling sama Angela sang tuan rumah), dan pacarnya Fernando (sebut saja begitu, aku lupa nama sebenarnya). Mereka adalah pasangan romantis yang suka ciuman setiap saat dimana saja, bikin sebel (atau lebih tepatnya baper😄). 

Hari ke-6 di Interlaken 

Aku tidak membantu memerah susu pagi ini karena sudah ada Fernando dan pacarnya, Lea dan  Claudia. Jadi aku memilih untuk beres-beres dan menyiapkan sarapan saja. 

Siang ini Claudia menawariku dan Angela Spanyol untuk mengemas keju-keju yang siap jual karena Angela akan datang sore nanti, sehingga dia bisa membawanya untuk di jual di mini market di kota.

Aku sangat bersemangat saat Claudia menawariku untuk tinggal di rumah mereka di desa. Yeiiii… akhirnya, Tarzan turun gunung. 

Well… tinggal di gunung itu menyenangkan, tapi seminggu benar-benar hanya bertemu kambing, rumput, lebah, kuda, orang itu-itu saja, pergi ke situ-situ saja, melakukan itu-itu saja plus tanpa internet dan mini market terdekat ternyata tak seindah reality show. Kangen sebuah peradapan normal. Aku sudah mengemasi barangku sejak sore, siap mengangkutnya jika sewaktu-waktu Angela datang. Tapi… matahari mulai terbenam dan dia belum juga muncul. Angela baru sampai pas kami sedang makan malam,  dia bilang sangat lelah dan ingin menginap disini malam ini. Akhirnya kami turun gunung keesokan paginya. 

Meski hanya seminggu, tapi tempat ini mengajariku banyak hal. Masih sulit percaya aku bisa sampai di pegunungan Alpen, sendirian. Tempat yang luar biasa indah mengenalkanku pada orang-orang yang memiliki pribadi yang indah seperti Angela, Claudia dan Lea, dengan cerita masing-masing.

Rumah Angela di desa benar-benar mepet danau Interlaken. Tinggal loncat dari teras udah nyebur danau. View nya luar biasa indah, danau bening biru dan langit serasa menyatu, hijau pegunungan yang memagarinya, aku masih tidak percaya jika aku pernah tinggal seminggu di atas sana. Sebuah tempat yang bahkan tidak pernah terbayang dalam mimpiku.

Well, sebenarnya setelah moment kesasar di gunung, aku mengirim pesan SOS ke seorang teman, Pierre, yang aku kenal dari Trip Advisor untuk mumpang di tempatnya beberapa hari.  Saat itu aku tak yakin bisa bertahan seminggu di gunung bersama kambing-kambing. Pierre baru merespon semalam bersamaan dengan tawaran Claudia untuk menginap di rumahnya di desa. Sempat nyesel moment nya berbarengan. Berasa simalakama. 

Sebenarnya aku sangat sungkan untuk pamit ke Angela, dia telah menyiapkan tempat tidur yang nyaman buatku, seharusnya aku menginap disini 3 hari. Namun disisi lain aku juga sungkan karena telah membuat janji dengan Pierre dan dia sudah bersedia repot-repot menjemputku di stasiun sepulang kerja.

Angela agak kecewa saat bilang aku tidak bisa menginap di rumahnya malam ini karena akan menginap di tempat Pierre. Dia khawatir karena aku memilih tinggal di tempat laki-laki asing di negara asing. Akupun berbohong kalau aku sudah pernah ketemu Pierre sebelumnya. Untuk lebih meyakinkan, aku meminta Pierre untuk pura-pura sudah mengenalku dengan baik saat kami pertama ketemu nanti malam. Aku memberi tahu Pierre dengan detail ciri-ciriku dan diapun memberitahuku detail baju yang dia pakai.

Saat mengantarku ke stasiun, Angela masih berusaha memintaku untuk membatalkan rencanaku menginap di tempat Pierre, nampak sekali dia khawatir. Namun saat aku ber-akting lumayan meyakinkan saat pertama melihat Pierre berdiri di depan stasiun, sepertinya dia cukup percaya kalau aku dan Pierre sudah pernah bertemu sebelumnya. Semoga saja.

Kembali ke moment itu, saat aku dengan PD-nya melambaikan tangan ke seorang lelaki asing, tinggi besar brewokan sambil memanggil namanya berlagak macam teman lama padahal baru pertama ketemu. Kemudian aku cuek saja naik mobilnya terus nginep rumahnya. Itu adalah pengalaman pertamaku jadi surfer tidak resmi. Anehnya kemudian hari Pierre mengaku dia sempat parno kalau aku adalah pembunuh profesional atau penjahat sejenisnya. Heh??? Serius lo, diriku seseram itu? Atau mungkin karena aku bau kambing 🐐.

Bersambung…

WWOOF TRIP 1 : PETERNAKAN KAMBING DI INTERLAKEN – PART 2

Hari kedua di Alpn, Claudia menawariku untuk ikut naik ke puncak gunung menengok kawanan kuda peliharaan mereka dan kuda orang sekitar yang dititipkan untuk mereka rawat. Yup, Claudia dan Angela menerima penitipan kambing dan kuda penduduk desa untuk dijaga selama musim panas di gunung. Aku sangat excited untuk ikut, maklum.. karena awalnya yang terbersit cuman jalan2 dan hunting foto keren dari atas.

Namun apalah daya, baru sekitar 30 menit atau 1/4 jalan aku sudah menyerah. Medan berat menanjak plus licin. Si Thilia, anak Claudia paling kecil lincah loncat sana loncat sini memimpin di depan sambil nerocos bahasa German Swiss yang aku ga mudeng. Well, karena sungkan kebanyakan minta istirahat, akhirnya aku memilih berhenti dan menunggu mereka balik di dekat air terjun. Claudia bilang, mungkin sekitar 3 atau 4 jam, dan jika aku bosan menunggu, aku disarankan untuk pulang. Aku memilih menunggu mereka di dekat air terjun. (jadi ingat cerita Coban Rondo).

Setelah puas poto-poto dan makan beng-beng, bekal perjalanan, aku jadi penasaran ingin naik, dan inilah awal mula cerita tersasar di Apln Swiss. Detailnya aku tulis terpisah ya,

Hari ketiga, anak-anak sekolah dan guru mereka pamit pulang setelah sarapan dan mencuci semua perabot makan yang mereka pakai. Mereka juga turun gunung dengan membawa sampah selama menginep. Patut dicontoh!.

Sebenarnya aku ditawari untuk tidur di sebuah rumah kayu sekitar 10 menit dari rumah Claudia, yang awalnya ditempati rombongan anak sekolah, tapi berhubung mesti tinggal sendiri dan tidak ada toilet, maka aku memilih tetap tinggal serumah, meski di sebuah bilik kecil di kolong atap yang biasanya digunakan untuk menyimpan kayu bakar. Claudia meminjamiku sleeping bag hangat milik Angela, dan itu cukup. Namanya juga numpang, sekaligus menikmati hidup di alam. Aku mencoba menempatkan diri layaknya Paris Hilton &  Nicole Richi pas main reality show Simple Life, Googling dah kalau penasaran gimana serunya.👸

Hari ketiga normal, aku membantu Claudia dan Lea memerah susu setiap pagi, jam 6 dan sore jam 5.  Selebihnya bebas, kalau mau naik gunung silakan, cuman masih trauma, jadi aku memilih bermain dengan anak-anak atau melihat proses pembuatan keju.

Waktu kami baru memulai memerah di sore harinya, tiba-tiba Claudia dan Lea berbicara keras, kemudian Lea keluar dan ga balik balik, jadilah tinggal aku dan Claudia. Aku memilih tidak bertanya ada apa. Berhubung mereka berbicara bahasa Jerman, aku ga mudeng kalau Claudia barusan sedang memarahi Lea karena ada 15 ekor kambing yang tidak pulang dan menurut Claudia itu karena Lea tidak profesional. Setelah kami selesai memerah, Claudia membersihkan semua peralatan, dia pamit untuk mencari kambing yang ilang, sekalian mencari Lea.

Kebayang ga sih, seorang wanita, sendirian ke gunung segede pegunungan Alpn, mencari kambing yang suka-suka mau mampir atau nongkrong dimana saja. But, dia bilang, sebagai seorang penggembala profesional, mereka harus memastikan semua kambing pulang dengan aman, entah itu mereka lagi cape, entah itu sedang hujan ataupun malam hari. Luar biasa! Jadi teringat kursi empuk, komputer dan AC di kantor. Betapa aku mesti banyak bersyukur.

Claudia belum pulang hingga aku tidur jam 11 malam.  Claudia hanya mengandalkan listrik dari solar system, jadi untuk menghemat energi, jam 10 malam, setelah dinner, semua lampu mati. Iya, gelap gulita. Hanya ada suara klinting-klinting dari lonceng kalung kambing-kambing di luar sana. Kesederhanaan yang indah.

Hari ke-4 Hari ini hujan rintik, bikin udara jadi drop dingin banget. Fakta tentang kambing, mereka tidak suka hujan. Jadi saat pagi kami memerah susu, lebih sulit untuk memaksa mereka keluar. Kasihan juga ya, dingin-dingin hujan-hujanan di gunung. Apa kambing Swiss tahan masuk angin? Sepertinya begitu

Lea dan Claudia sudah berbaikan seperti tidak terjadi apa-apa pagi ini. Kami memerah susu bertiga. Seperti biasa, setelah selesai memerah susu, Lea menyiapkan bekalnya untuk naik gunung. Wajahnya agak dingin hari ini, sedingin udara di luar. Well, berangkat ke kantor pas hujan aja males kan, apalagi ke gunung coba? Jika itu bukan sebuah dedikasi atas profesi (catet tu…), atau gaji… well, anything, up to you.

Hari ini aku hanya akan melihat dan membantu Claudia membuat keju. Dia banyak bercerita tentang dirinya. Tentang ayahnya yang meninggal karena leukemia dan tentang perjuangannya hingga memulai usaha ini bersama Angela. 

Claudia, wanita kuat dengan mata yang indah. Pertama kali bertemu dengannya, aku hanya melihat sesosok wanita cantik berambut pirang yang lebih cocok jadi bintang film dari pada seorang penggembala kambing. Namun ternyata dia juga sangat cerdas. Claudia menguasai 6 bahasa asing dan bisa memainkan hampir semua alat musik. Dia mampu mengingat apapun hanya dengan sekali lihat atau sekali belajar. Claudia memilih menjadi pembuat keju karena itu adalah passion-nya. 

Cerita menarik tentang proteksi kesehatan bagi orang Swiss. Sebagai negara yang terkenal makmur kaya raya, aku tidak menyangkan kalau asuransi kesehatan juga menjadi masalah bagi mereka. Pada kasus ayah Claudia, pemerintah juga menanggung pengobatan beliau, namun untuk mendapat obat yang lebih baik, mereka harus mengeluarkan uang extra yang cukup banyak, aku tidak bertanya berapa CHF, namun bagi Claudia itu angka yang hanya mampu ditanggung oleh kalangan menengah atas, dan akhirnya pun tidak memberi kesembuhan. Sejak saat itu, Claudia mengaku kehilangan kepercayaan terhadap dokter dan rumah sakit, dia merasa mereka adalah mafia. Dia sekarang lebih memilih pengobatan alternatif, a.k.a dukun. Yess, Swiss juga punya dukun, Kakak.

Bersambung…