Design a site like this with WordPress.com
Get started

WWOOF TRIP SWITZERLAND : KEBUN APEL ORGANIK DI BERN – PART 2

Mumpung belum terlanjur lupa, sekarang, saatnya melanjutkan cerita petik apel di Bern, Swiss. Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, Hostku bernama Philipp, seorang pria gaul berambut rasta. Aku tebak dia sekitar berusia 40an, berhubung anaknya yang pertama sudah berusia 18 tahun.

“Dont jugde a book from its cover” benar-benar cocok untuk Philipp. Di balik cover Bob Marley-nya, Philipp adalah pria penyayang dan seorang yang sangat berjiwa sosial. Dia adalah salah satu anggota Social Housing, sebuah program pemerintah Swiss untuk mengembalikan warga yang memiliki masalah social untuk kembali ke masyarakat. Masalah social itu antara lain kecanduan narkoba, kriminal atau masalah depresi. Philipp menerima orang-orang bermasalah itu untuk bekerja di perkebunannya, memberi konseling  dan membantu mereka memulai hidup baru di masyarakat.

Tahukah kamu, ternyata Swiss pernah mengalami krisis narkoba kelas berat. Bahkan Swiss dikenal sebagai “Europe’s biggest open drug scene”, tidak main-main karena narkoba yang dimaksud adalah  Heroin. Banyak warga meninggal karena candu. Di sebuah taman di Zurich yang bernama Zurich’s Platzspitz park, (dijuluki ‘needle park’ oleh The New York Times) pada tahun 1990an ribuan orang dengan terbuka menyuntikkan obat-obatan pada tubuh mereka hingga sekarat. Melihat kondisi yang semakin memprihatinkan, pemerintah berusaha mencari berbagai cara untuk mengatasi krisis narkoba hingga akhirnya menemukan cara efektif yang paling kontroversial. Swiss memerangi narkoba dengan narkoba. Swiss adalah negara pertama yang menjalankan Heroin on prescription untuk membantu para pecandu kembali ke kehidupan normal. Methadone legal diresepkan di Swiss untuk pengobatan pecandu heroin. Cara ini terbukti efektif mengurangi jumlah pecandu dan penyebaran HIV. Program ini ternyata sukses merubah image pecandu yang awalnya dikira keren jadi semacam penyakit. Kekhawatiran akan peningkatan pengguna karena pelegalan nyatanya tidak terjadi disini. Saat ini program tersebut telah diadaptasi oleh Canada dan Belanda. 

Nah, program lanjutan selain mengobati kecanduan tersebut adalah mengembalikan para mantan pecandu ke kehidupan social masyarakat, mengembalikan kepercayaan diri mereka. Itulah yang dilakukan oleh Philipp. Selain mantan pecandu, orang-orang dengan masa lalu criminal, masalah keluarga atau depresi personal juga diterima disini. Korban patah hati juga boleh daftar Saat aku bertanya kenapa dia mau melalukan itu? Dia bilang karena dia senang bisa menolong orang lain. Membantu orang lain membuatnya bahagia. Fortunatelly or unfortunatelly, pas aku disana, Philipp sedang libur dari pekerjaan sosialnya. Dia mengaku terkadang juga lelah. 

Aku beruntung (beneran beruntung) datang ke Matzwil di bulan October, saat apel-apel merah ranum siap panen. Tahun 2018 kemarin adalah tahun yang baik untuk apel, semua pohon apel di seluruh Swiss berbuah lebat berkat dukungan cuaca yang lebih hangat dari biasanya. Beberapa tahun sebelumnya, karena terlalu banyak hujan dan cuaca yang terlalu dingin, bunga apel banyak yang rontok. Jumlah panen turun drastis bahkan banyak petani yang memutuskan menebang pohon mereka karena merugi. Akibatnya, supply apel untuk konsumsi masyarakat menjadi jatuh. Melihat fenomena ini, pemerintah Swiss-pun memberi bantuan financial kepada petani apel agar mau mempertahankan tanaman mereka. Pemerintah Swiss baik ya..(ngiri😆)

Kebun Apel Philipp murni organik, dia hanya menggunakan pupuk kandang (dari sapi organik) untuk pupuk. Tidak ada pestisida sama-sekali. Bahagia melihat pohon apel yang penuh dengan buah berwarna merah ranum siap panen. 

Apel yang dipetik dipisahkan menjadi 3 grade dan ditaruh pada box berbeda, kualitas 1, apel dengan kondisi dan bentuk sempurna untuk konsumsi, kualitas 2 untuk buah konsumsi dengan harga lebih murah dan kualitas 3 adalah buah jatuh pohon atau dimakan ulat untuk bahan selai dan juice. Semua buah ini meskipun cacat, namun melalui proses pembersihan dan sterilisasi sebelum diolah. Jangan khawatir untuk keamanannya. Juice dari kebun apel Matzwil rasa dan aromanya…. the best i ever had.

Setiap Minggu, Philipp juga menyumbangkan beberapa box apel grade 3 untuk sebuah pabrik apel local yang mempekerjakan difficult people di daerah itu. Untuk pekerjaanku sendiri, hanya membantu Lukas and the gang (baca Post sebelumnya ) memetik apel dari jam 8 pagi sampai jam 3 sore. Senin-Jumat, Sabtu Minggu libur. Jam 10 pagi dan jam 3 sore adalah waktunya tea time. Kami istirahat 30 menit untuk minum teh dan ngemil roti.

Istirahat siang antara jam 12-1.30, makan siang dan istirahat. Philipp adalah koki yang hebat. Karena dia adalah seorang Vegan, Philipp tidak memasak daging dan telur tapi dia pandai mengkombinasikan kacang-kacangan dan biji-bijian sebagai sumber protein. Masakan Philipp adalah masakan terenak dan paling cocok dilidahku selama 6 minggu keliling Swiss Perancis. Selesai makan, kami  mencuci peralatan makan dan masak bersama-sama. 

Bagiku secara pribadi, pekerjaan ini menyenangkan namun cukup berat karena mesti angkat-angkat keranjang apel. Aku kagum pada Caroline dan Marlina yang sangat kuat dan cekatan mengangkat keranjang besar apel, naik turun tangga, nyetir traktor, dll. Padahal mereka lebih mirip barbie cantik bermata biru dari luar.

Awal October tahun lalu cuaca di Bern pas pagi bisa sangat dingin, sekitar 5 derajat celcius tapi mendadak terik perlahan saat matahari bangun. Jam 12 siang, suhu bisa mencapai 33 derajat. Nah jadinya, pakaian kamipun menyesuaikan. Pas pagi semua pakai jaket tebal, sarung tangan, masker, tapi tengah hari Marlina dan Marcela mendadak ganti kostum, hanya pakai BH dan celana pendek. Jadilah kebun apel rasa pantai.

Kebayang kalau mereka jadi buruh petik apel di Batu atau Bandung, bisa didatangi warga buat diajak selfie atau malah diprotes karena terlalu sexy 🤣. Meskipun kami tidak bisa ngobrol gegara roaming bahasa, Polish Gang memperlakukanku dengan sangat ramah.

Advertisement

MAN IN THE KITCHEN

Di Jawa, istilah “Dapur, Sumur, Kasur” untuk perempuan, masih sangat kental diterapkan. Tugas laki-laki adalah sebagai kepala keluarga, mencari nafkan dan sudah sepatutnya dilayani. Pun, melayani suami dengan baik adalah tugas dan kewajiban istri. Namun, apakah berada di dapur dan membantu istri bisa menurunkan derajat lelaki?

Please don’t take it seriously, karena ini hanya pendapatku dan tentang pengalaman tinggal dengan beberapa keluarga dengan cerita masing-masing selama menjadi WWOOFer.

Di sekitarku, bahkan di rumah masih jarang melihat laki-laki di dapur atau suka rela membantu istri ngerjain pekerjaan rumah, apalagi kalau istri tidak kerja. Ibaratnya menjunjung tinggi pembagian scope kerja suami dan istri. Suami cari uang and istri merawat rumah dan anak-anak. Tugas mencari nafkah memang sudah berat, tapi jika pekerja formal umumnya minimal seminggu sekali libur, tugas Ibu tidak begitu. 24 jam sehari 7 hari seminggu selamanya.

Namun ada juga fenomena bapak rumah tangga berkembang di desaku (sebuah desa di pegunungan pinggiran Malang) beberapa tahun terakhir. Karena keterbatasan keterampilan dan ketersediaan pekerjaan untuk pria, peran mencari penghasilan berpindah pada wanita, rata-rata dengan menjadi TKW. Menjadi tenaga kerja di luar negeri adalah pilihan yang cukup menjanjikan perbaikan ekonomi. Karena sang ibu harus merantau untuk waktu yang lama, minimal setahun, tugas merawat anak umumnya diambil alih sang bapak. Pada kasus seperti ini, secara pribadi aku kurang setuju jika peran pencari nafkah mesti “sepenuhnya” berpindah ke Istri. Wanita adalah tulang rusuk, bukan tulang pungung.

Neuchatel Lake

Aku pribadi, adalah pengagum lelaki yang pinter masak. Bagiku, lelaki yang pinter masak itu SEXY. Seriuosly!!! Ditambah lagi yang tidak enggan mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti cuci piring atau bersih bersih, berperanserta dalam momong anak juga. Bukan modus cewek males looo…, tapi beneran romantis melihat pasangan suami istri saling bantu mengerjakan pekerjaan rumah. Suami istri adalah team, sudah sepatutnya saling support.

Pengalamanku tinggal di 3 keluarga berbeda selama WWOOFing menunjukkan sebuah anomali. Di Interlaken, dimana semua penghuni rumah adalah wanita, pekerjaan rumah tangga cenderung tidak begitu diperhatikan, masak-memasak kadang kadang, beres-beres rumah kalau sempat. Namun para wanita itu sangat tangguh dan ahli bekerja pada bidang yang sebenarnya lebih cocok untuk pria.  

Sementara itu, di rumah Philipp yang 80% penghuninya lelaki, seluruh sudut rumah malah selalu rapi bersih bersinar. Makanan selalu makanan beneran yang rasanya selalu enak. Di tempat lain, Vincent dan Cecile saling support satu sama lain. Ok, lets say itu bukan budaya tapi kebiasaan sebuah keluarga atau kesepakatan masing-masing pasangan.

Well, beda keluarga beda adat pastinya ya, termasuk pengaruh kulture sosial juga. Philipp mengatakan bahwa sejak 20 tahun belakangan, di Swiss lelaki mulai terbiasa bekerja di dapur, suka masak dan mengerjakan pekerjaan rumah membantu istri. Sebelumnya, pria mengerjakan pekerjaan rumah juga tidak umum. Namun saat ini, baginya, budaya yang menganggap pekerjaan rumah tangga hanya untuk wanita itu old school banget, sudah kuno.

Aku setuju, K-U-N-O. Terutama jika istri juga bekerja, tentunya akan sangat terbantu jika suami juga ikut membantu pekerjaan rumah. Bahkan, riset membuktikan bahwa peran ayah dalam mengasuh anak juga memberi efek positif bagi perkembangan mereka. Pernah baca sebuah quote, “Dad who respond to his baby crying, rock them and change diapers, are not helping Mom, they are being fathers “.

WWOOF TRIP FRANCE : LADANG SAYUR ORGANIK DI BAGARD

Tujuan WWOOF ku selanjutnya adalah ladang sayur organik di Bagard, Perancis. 

Bagard adalah komune, semacam desa kecil di Departemen Gard, Occitanie, Prancis Selatan. Perjalanan dari Swiss lumayan panjang penuh cerita, termasuk drama ngemper dini hari di pinggiran stasiun Lyon. Kala itu aku menggunakan Flixbus dari Interlaken-Milan-Lyon-Nimes-Ales-Bagard. Perjalanan hampir 24 jam dengan 2 kali transit di Milan dan Lyon. Sekali lagi, atas nama penghematan budget.

Untuk alternatif transportasi yang lebih murah di Eropa, bus memang pilihan terbaik. Yang pernah aku coba adalah Flixbus dan Eurolines. Rute bus hampir menjangkau seluruh wilayah Eropa, antar kota, antar negara. Tiket bisa dipesan online, kita hanya perlu menunjukkan code QR untuk di-scan saat naik. Tersedia aplikasinya untuk di-download. 

Bus memang lebih murah, namun kurang ramah lingkungan. Sebagai kompensasi terhadap emisi CO2 yang dihasilkan oleh penggunaan bus, Flixbus mengenakan biaya tambahan sekitar 0,57Euro yang sifatnya optional. Hanya sekitar Rp. 10.000 kok.

Bus dari Lyon, hanya sampai di Nimes, aku harus menggunakan kereta untuk menuju Ales. Ternyata, bus central Nimes dan stasiun kereta agak berjauhan, sekitar 3Km. Karena tidak ada wifii aku tidak bisa menggunakan Google Map. 

Saat itu di terminal bus sangat sepi, hanya ada seorang bapak-bapak yang baru turun dari mobilnya. Aku sok akrab menyapa untuk bertanya rute jalan kaki ke stasiun. Sang Bapak kemudian membuka Google Map dan berusaha menjelaskan padaku dengan bahasa Inggris logat Prancis. Namun kemudian dia malah mengajakku naik mobil. Beliau mengantarku ke stasiun. Kesan pertama yang sangat manis di Nimes.

Aku sudah memesan tiket kereta ke Ales melalui internet. Nimes-Ales hanya 30 menit tiket seharga 5Euro. Harga tiket selalu berubah-ubah, kurang tau kenapa. Pas rute balik aku dapat tiket seharga 9Euro. Aku sudah mengirim SMS ke hostku, Vincent yang akan menjemputku di Stasiun Ales. 

Sampai di Ales jam 2 siang, namun aku tak melihat seorang lelaki dengan ciri-ciri yang disampaikan Vincent. Menunggu 15 menit, 30 menit, aku mulai khawatir jika ada yang salah. Namun kemudian sebuah mobil Van kuning (Van Kuning DHL) berhenti di parkiran stasiun. Seorang lelaki usia 40an turun dan berjalan ke arahku. Kami bersalaman, ngobrol sebentar, kemudian Vincent membantuku memaruh barang bawaan di mobil.

Dari stasiun Ales ke Bagard, rumah Vincent hanya sekitar 20 menit. Bentang alam Bagard berupa bukit dengan tumbuhan perdu. Berasa kaya di Mesir atau Arab. Banyak ladang Zaitun dan Anggur. Saat itu musim gugur, namun matahari masih terik, suhu masih sekitar 30an Celcius. Panas. Wilayah ini masuk area taman nasional Cavannes.

Vincent adalah seorang petani sayuran organik. Dia awalnya adalah seorang Quality Control Staff di perusahaan Farmasi di Montpellier, dengan latar belakang pendidikan medis dan farmasi. Dia memutuskan berhenti setelah 8 tahun bekerja. Tahun 2018 kemarin adalah tahun ke-9 nya menjadi petani setelah resign. Vincent tinggal bersama Cecile, pasangannya. Vincent memperkenalkan Cecile dengan penekanan sebagai partner, bukan Istri karena mereka tidak menikah. Pas setahun lalu, putra pertama mereka lahir. Namanya Cassion.

Cecile adalah seorang wanita karir yang sangat ramah dan cerdas. Dia memiliki latar belakang pendidikan ilmu komunikasi, sastra dan bahasa Arab. Cecile bekerja di kantor komune, semacam kantor kecamatan atau kantor desa. Tugasnya mengurusi isu sosial dan mengajukan proposal untuk pembangunan komune. Karena itu dia sering bertemu pejabat pemerintah dan sangat peka terhadap isu sosial politik. Ngobrol dengan Cecile tentang apa saja adalah bagian yang paling aku nikmati saat menjadi WWOOFer disini. 

Kebun organik Vincent memproduksi kentang, bit, wortel, tomat, berbagai jenis selada, bawang bombay berbagai jenis, labu, semangka, melon, paprika, terong. Hasil panen dijual di toko khusus produk organik dan juga melalui order online.

Aku tinggal di keluarga ini selama 7 hari, dengan 2 hari libur. Sabtu Minggu kebun tutup. Pekerjaan yang aku lakukan antara lain panen tomat, panen paprika, panen bit, menanam selada, memilah bawang bombay untuk dijual dan membersihkan labu panen bulan lalu yang berdebu. Jam kerja lumayan pendek, dari jam 8-12 setelah makan siang aku bebas mau ngapain aja. 

Keluarga kecil itu normal seperti keluarga-keluarga kecil disini. Aku tidak merasakan culture shock yang cukup berarti. Yang unik justru tentang posisi Vincent sebagai suami yang lebih banyak mengurusi pekerjaan rumah dari pada sang istri. Memasak, laundry, beres-beres maupun momong sepertinya sudah diambil alih Vincent. Awalnya itu adalah pemandangan yang aneh bagiku, melihat suami masak sementara istri ngobrol, terus pas anak kebangun juga suami yang nyamperin duluan. Tapi bagi Vincent sendiri, itu hal biasa dan tidak ada yang aneh.

Senang melihat pasangan ini yang saling support. Vincent bilang, Cecile sangat mendukung karirnya sebagai petani organik. Di tahun pertama menjadi petani, Vincent hanya memperoleh penghasilan sekitar 1000Euro (17 juta-an, selama setahun). Namun Cecile dan keluarga Vincent terus mendukungnya baik secara moral maupun financial, hingga sekarang dia cukup sukses dengan penghasilan cukup. 

Cassion adalah bayi lucu dengan mata teduh. Sadar diri tak punya pengalaman momong bayi, aku awalnya takut main dengan Cassion. Dia baru belajar berjalan saat itu. Namun ternyata, pas pertama ketemu dia langsung nyaman bersamaku. Waktu itu Cassion sedang menangis karena kepentok pintu. Ditenangkan oleh ayahnya gagal, namun pas aku coba menyapa dia langsung diam dan minta gendong. 

Rutinitas keluarga kecil itu dimulai jam 7 pagi, Vincent bangun lebih dulu kemudian menyiapkan sarapan. Setelah selesai sarapan kemudian menyiapkan keperluan Cassion untuk dititipkan ke nanny. Susu, makanan bayi dan baju. Disaat Vincent menyiapkan barang-barang Cassion, aku dan Cecile masih asyik sarapan sambil ngobrol. Jam 8 pagi, Cecile membawa Cassion bersamanya untuk dititipkan, karena kantor Cecil dekat dengan rumah nanny. Sementara Vincent mulai pergi ke kebun. 

Jam makan siang di Perancis adalah jam 12-2 siang. Di jam itu rata-rata toko atau kantor tutup. Biasanya Vincent menyiapakan makan siang jam 1 siang. Jam 5 sore, tugas menjemput Cassion adalah bagian Vincent. Sampai di rumah, Cassion punya waktu 2-3 jam untuk main sekaligus makan malam. Semua mainanya adalah mainan edukatif dari bahan organik

Vincent biasanya mengawasi Cassion bermain sambil menyiapkan makan malam. Berhubung nyambi momong, sering kali jam makan malam molor sampai jam 10. Krucuk krucuk.

Di keluarga ini aku lebih banyak belajar tentang ilmu rumah tangga dari pada ilmu pertanian. Ternyata tidak peduli kewarganegaraan, masalah keluarga masih sama saja. Suatu malam, aku menyaksikan mereka bertengkar. Saat itu seharusnya jam makan malam. Vincent sudah masak, makanan siap di meja. Aku sudah kelaparan tingkat akut, tapi sang tuan rumah sedang bertengkar di kamar mereka. Terjebak pada moment seperti itu rasanya sedih sekaligus konyol. Sampai jam 11 malam, pertengkaran mereka belum selesai, karena makin tidak nyaman dan ngantuk, aku memilih tidur. Sempat parno juga kalau-kalau pertengkaran itu jadi berlanjut ke KDRT saking serunya. Alhamdulillah, enggak. Keesokan harinya mereka sudah berbaikan bahkan meminta maaf padaku atas kejadian semalam. Lega,  

Di hari terakhirku bersama keluarga ini Cecile mengajakku mengunjungi sebuah desa cantik bernama Anduze yang ternyata hanya 15 menit dengan mobil dari rumah. Desa ini benar-benar indah dan memang menjadi tujuan wisata yang masuk wilayah taman nasional Cevennez. Disana banyak hotel dan restoran. OK, wish list untuk honeymoon

Taken from Flickr by Mantis of Destiny

Keluarga Vincent sangat ramah dan openminded, bahkan aku juga dikenalkan pada Ayah dan Ibu tirinya, sempat diundang makan siang bareng juga. Cecile adalah teman curhat yang menyenangkan dan bijak. Yang paling bikin kangen tentu saja senyum dan kecupan Cassion.

WWOOF TRIP JAPAN : KEBUN JERUK DI WAKAYAMA

Ini merupakan trip WWOOF ku yang pertama.

Request WWOOF ku disambut dengan sangat cepat dan ramah oleh Hiro San di Ibe Farm, kebun jeruk organik Keluarga Ibe di Prefecture Wakayama, Kansai Jepang. Dari Bandara Kansai sekitar 1 jam dengan mobil, saat itu aku dijemput oleh Hiro san dan istrinya di bandara Kansai. Kesan pertama yang sangat manis.

Keluarga Ibe terdiri dari Hiro San, Sachi-San istrinya dan Obaa-Chan. Obaa-Chan adalah Ibu Hiro San, sekaligus pemilik Ibe farm secara turun temurun. Saat itu, usia beliau sekitar 85 tahun, namun masih sehat dan kuat melakukan pekerjaan ringan.

Akomodasi bagi WWOOF yang mereka sediakan adalah kamar di lantai 2 rumah Obaa-Chan yang baru selesai direnovasi. Rumah bergaya Jepang Modern, material didominasi kayu dengan fasilitas modern. Full Wifii, Bathtub plus kursi pijat punya Obaa-chan yang sering dipinjamkan untukku. Aku akan tinggal bersama keluarga ini selama 7 hari.

Kala itu, awal Maret 2018, sedang peralihan musim dingin ke musim semi. Jeruk-jeruk sedang ranum-ranumnya. Aku sangat beruntung, pengalaman pertama WWOOF sendiri, dapat Host yang super baik, akomodasi yang super nyaman, dan makanan enak plus halal. Pekerjaan pun sangat simple, cuman petik jeruk.

Sesaat setelah sampai rumah, aku diberi semacam jadwal oleh Hiro San, Orang Jepang memang super disiplin.

  • 07:00 pagi sarapan, self service, ada roti dan susu
  • 07:30 mulai bekerja
  • 09:30 Coffee Break
  • 10:00-12:00 Kembali bekerja
  • 12:00-13:00 Makan siang dan istirahat. Setelahnya bebas

Setelah memberi briefing tentang jadwalku, Hiro San dan Sachi San menunjukkan kamarku, dan menjelaskan secara singkat tentang isi rumah. Kemudian memberiku APD (Alat Pengaman Diri) untuk bekerja yang terdiri dari sepatu boots, jaket dan celana anti air, sarung tangan, dan topi pelindung. Orang Jepang itu memang luar biasa. Budaya safety mendarah daging diterapkan sampai ke level-level paling sederhana dalam keseharian mereka. Salut!

Pagi pertama hari itu, aku diajari cara memetik jeruk. Cukup memotong tangkainya dengan gunting, masukkan ke keranjang pelan pelan agar tidak rusak. Sesimple itu. Kebun jeruk Ibe, berdekatan dengan kebun-kebun jeruk warga lain yang sebagian besar masih menggunakan obat-obatan. Oleh karena itu, yang murni organik hanya pohon-pohon yang berada di tengah kebun. Jeruk-jeruk itu dipisahkan dengan yang kemungkinan terpapar obat-obatan dari kebun sebelah. Kejujuran Jepang memang jaminan mutu.

Yang paling berkesan dari keluarga Ibe adalah keramahan, kehangatan dan makanan masakan Sachi-San yang luar biasa. Bukan Sushi atau ramen. A lot more than that. Sebelumnya, mereka sudah mengetahui kalau aku Muslim, jadi tidak menyajikan babi. Terharu. Coba tengok menu makananku selama disana:

Di keluarga ini, aku lebih banyak membantu makan dari pada membantu metik jeruk. Seriusan, kenyang, sehat, sejahtera.

Hiro San bilang, sangat senang ada WWOOFer yang mau mengunjungi kebunnya. Selain membantu pekerjaannya, juga untuk menemani Obaa-Chan, menjalin persaudaraan dan berbagi ilmu. Masalah klasik di Jepang, banyak lansia yang kesepian.

Dapur idaman

Wakayama adalah salah satu prefektur penghasil Jeruk terbesar di Jepang. Di sini, semua rumah punya pohon jeruk, kebun, gunung-gunung juga penuh tanaman jeruk. Di Ibe Farm sendiri, selain untuk buah segar, jeruk diolah menjadi jus dan selai. Aku mendapat pelajaran membuat selai dari Sachi-san, hasilnya diberikan padaku sebagai oleh-oleh. Baik sekali kan….

Selai Jeruk buatan Sachi San

Oktober 2019 kemarin, aku mendapat kabar bahwa Obaa-Chan telah berpulang. Aku masih ingat betapa baik beliau. Meminjamiku kursi pijatnya, meminjamkan jaketnya karena kuatir aku kedinginan. Senyum dan kehangatan sikapnya akan selalu hidup dalam kenanganku. Meskipun terbatas bahasa, kami masih bisa ngobrol dan tertawa bersama.

Terima kasih keluarga Ibe, pengalaman pertama WWOOF yang sangat melekat dalam hati. Mereka bener-benar menunjukan keaslian keramah-tamahan Jepang. Omotenashi. Bagi kalian yang baru mau nyobain #WWOOFJapan aku sangat merekomendasikan keluarga ini.

WWOOF TRIP 1 : PETERNAKAN KAMBING DI INTERLAKEN – PART 3

Hari ke-5 di Interlaken

Hari ini Claudia yang gantian naik gunung, dia memberi kesempatan untuk Lea istirahat. Akhirnya dia paham kalau Lea sudah benar-benar lelah. Bayangkan saja, Lea dikontrak kerja selama 5 bulan tanpa libur akhir pekan. Secara kambing tak mengenal weekend. Area kerjanya adalah gunung guede. Memang sih gajinya juga guede. Meski bertitle penggembala kambing tapi gajinya tetap setara standard gaji Swiss. Sekitar 3000CHF. Kalau kurs 14.000, coba itung berapa, Anda berminat?


Lea meminta aku memasak labu yang dia petik dari kebun untuk makan siang kami, karena menurut dia masakanku kemarin enak. Sambil makan siang kami berbagi cerita, soal banyak hal. Saat aku tanya apa yang ingin dia lakukan 3-5 tahun ke depan, dia bilang dia ingin memiliki ladang pertanian atau peternakan, mempekerjakan difficult people seperti bekas pecandu obat-obatan atau bekas narapidana yang kesulitan mencari pekerjaan. Yup, dibalik gaya cuek dan nyentrik itu, tersimpan hati yang mulia. Put me to shame, saat aku sadar bahwa apa yang ingin aku raih di 3-5 tahun ke depan hanya hal-hal materialistis untuk kepentingan pribadiku. Rumah, nikah, mobil, travel plan, etc.

Setelah makan siang, anak-anak mengundang kami untuk menonton pertunjukan circus di kamar mereka. Circus itu disutradarai oleh Sajjane, si sulung. Dibintangi oleh Sajjane sendiri, Moira dan Thilia. Si bungsu Thilia melakukan adegan pole dance dengan penuh penghayatan. Circus itu terdiri dari 4 adegan, adegan pembuka berupa kambing merangkak berputar-putar dan loncat-loncat selama 5 menit, kemudian adegan pole dance, kemudian balik ke kambing putar putar dan ditutup dengan Pole Dance lagi. Aku kagum dengan Sajane yang sungguh piawai memilih lagu dan music yang selalu pas dengan adegan yang mereka peragakan. Luar biasa. Meski sedikit bosan dengan adegan merangkak yang cukup lama, aku sangat menikmati snack yang mereka siapkan untuk penonton. Coklat, permen dan almond plus orange juice. Well, what a perfect little event organizer.

Hari ini akan ada helper baru dari Spanyol untuk menggantikan Lea. Masa tugas Lea berakhir mid. September. Mereka sampai di tempat kami sekitar jam 2 siang, diantar seorang guide lokal. Mereka rupanya adalah pasangan muda yang ingin mengumpulkan uang untuk membangun peternakan sendiri. Nama ceweknya Angela juga (cuman beda spelling sama Angela sang tuan rumah), dan pacarnya Fernando (sebut saja begitu, aku lupa nama sebenarnya). Mereka adalah pasangan romantis yang suka ciuman setiap saat dimana saja, bikin sebel (atau lebih tepatnya baper😄). 

Hari ke-6 di Interlaken 

Aku tidak membantu memerah susu pagi ini karena sudah ada Fernando dan pacarnya, Lea dan  Claudia. Jadi aku memilih untuk beres-beres dan menyiapkan sarapan saja. 

Siang ini Claudia menawariku dan Angela Spanyol untuk mengemas keju-keju yang siap jual karena Angela akan datang sore nanti, sehingga dia bisa membawanya untuk di jual di mini market di kota.

Aku sangat bersemangat saat Claudia menawariku untuk tinggal di rumah mereka di desa. Yeiiii… akhirnya, Tarzan turun gunung. 

Well… tinggal di gunung itu menyenangkan, tapi seminggu benar-benar hanya bertemu kambing, rumput, lebah, kuda, orang itu-itu saja, pergi ke situ-situ saja, melakukan itu-itu saja plus tanpa internet dan mini market terdekat ternyata tak seindah reality show. Kangen sebuah peradapan normal. Aku sudah mengemasi barangku sejak sore, siap mengangkutnya jika sewaktu-waktu Angela datang. Tapi… matahari mulai terbenam dan dia belum juga muncul. Angela baru sampai pas kami sedang makan malam,  dia bilang sangat lelah dan ingin menginap disini malam ini. Akhirnya kami turun gunung keesokan paginya. 

Meski hanya seminggu, tapi tempat ini mengajariku banyak hal. Masih sulit percaya aku bisa sampai di pegunungan Alpen, sendirian. Tempat yang luar biasa indah mengenalkanku pada orang-orang yang memiliki pribadi yang indah seperti Angela, Claudia dan Lea, dengan cerita masing-masing.

Rumah Angela di desa benar-benar mepet danau Interlaken. Tinggal loncat dari teras udah nyebur danau. View nya luar biasa indah, danau bening biru dan langit serasa menyatu, hijau pegunungan yang memagarinya, aku masih tidak percaya jika aku pernah tinggal seminggu di atas sana. Sebuah tempat yang bahkan tidak pernah terbayang dalam mimpiku.

Well, sebenarnya setelah moment kesasar di gunung, aku mengirim pesan SOS ke seorang teman, Pierre, yang aku kenal dari Trip Advisor untuk mumpang di tempatnya beberapa hari.  Saat itu aku tak yakin bisa bertahan seminggu di gunung bersama kambing-kambing. Pierre baru merespon semalam bersamaan dengan tawaran Claudia untuk menginap di rumahnya di desa. Sempat nyesel moment nya berbarengan. Berasa simalakama. 

Sebenarnya aku sangat sungkan untuk pamit ke Angela, dia telah menyiapkan tempat tidur yang nyaman buatku, seharusnya aku menginap disini 3 hari. Namun disisi lain aku juga sungkan karena telah membuat janji dengan Pierre dan dia sudah bersedia repot-repot menjemputku di stasiun sepulang kerja.

Angela agak kecewa saat bilang aku tidak bisa menginap di rumahnya malam ini karena akan menginap di tempat Pierre. Dia khawatir karena aku memilih tinggal di tempat laki-laki asing di negara asing. Akupun berbohong kalau aku sudah pernah ketemu Pierre sebelumnya. Untuk lebih meyakinkan, aku meminta Pierre untuk pura-pura sudah mengenalku dengan baik saat kami pertama ketemu nanti malam. Aku memberi tahu Pierre dengan detail ciri-ciriku dan diapun memberitahuku detail baju yang dia pakai.

Saat mengantarku ke stasiun, Angela masih berusaha memintaku untuk membatalkan rencanaku menginap di tempat Pierre, nampak sekali dia khawatir. Namun saat aku ber-akting lumayan meyakinkan saat pertama melihat Pierre berdiri di depan stasiun, sepertinya dia cukup percaya kalau aku dan Pierre sudah pernah bertemu sebelumnya. Semoga saja.

Kembali ke moment itu, saat aku dengan PD-nya melambaikan tangan ke seorang lelaki asing, tinggi besar brewokan sambil memanggil namanya berlagak macam teman lama padahal baru pertama ketemu. Kemudian aku cuek saja naik mobilnya terus nginep rumahnya. Itu adalah pengalaman pertamaku jadi surfer tidak resmi. Anehnya kemudian hari Pierre mengaku dia sempat parno kalau aku adalah pembunuh profesional atau penjahat sejenisnya. Heh??? Serius lo, diriku seseram itu? Atau mungkin karena aku bau kambing 🐐.

Bersambung…

WWOOF TRIP 1 : PETERNAKAN KAMBING DI INTERLAKEN – PART 2

Hari kedua di Alpn, Claudia menawariku untuk ikut naik ke puncak gunung menengok kawanan kuda peliharaan mereka dan kuda orang sekitar yang dititipkan untuk mereka rawat. Yup, Claudia dan Angela menerima penitipan kambing dan kuda penduduk desa untuk dijaga selama musim panas di gunung. Aku sangat excited untuk ikut, maklum.. karena awalnya yang terbersit cuman jalan2 dan hunting foto keren dari atas.

Namun apalah daya, baru sekitar 30 menit atau 1/4 jalan aku sudah menyerah. Medan berat menanjak plus licin. Si Thilia, anak Claudia paling kecil lincah loncat sana loncat sini memimpin di depan sambil nerocos bahasa German Swiss yang aku ga mudeng. Well, karena sungkan kebanyakan minta istirahat, akhirnya aku memilih berhenti dan menunggu mereka balik di dekat air terjun. Claudia bilang, mungkin sekitar 3 atau 4 jam, dan jika aku bosan menunggu, aku disarankan untuk pulang. Aku memilih menunggu mereka di dekat air terjun. (jadi ingat cerita Coban Rondo).

Setelah puas poto-poto dan makan beng-beng, bekal perjalanan, aku jadi penasaran ingin naik, dan inilah awal mula cerita tersasar di Apln Swiss. Detailnya aku tulis terpisah ya,

Hari ketiga, anak-anak sekolah dan guru mereka pamit pulang setelah sarapan dan mencuci semua perabot makan yang mereka pakai. Mereka juga turun gunung dengan membawa sampah selama menginep. Patut dicontoh!.

Sebenarnya aku ditawari untuk tidur di sebuah rumah kayu sekitar 10 menit dari rumah Claudia, yang awalnya ditempati rombongan anak sekolah, tapi berhubung mesti tinggal sendiri dan tidak ada toilet, maka aku memilih tetap tinggal serumah, meski di sebuah bilik kecil di kolong atap yang biasanya digunakan untuk menyimpan kayu bakar. Claudia meminjamiku sleeping bag hangat milik Angela, dan itu cukup. Namanya juga numpang, sekaligus menikmati hidup di alam. Aku mencoba menempatkan diri layaknya Paris Hilton &  Nicole Richi pas main reality show Simple Life, Googling dah kalau penasaran gimana serunya.👸

Hari ketiga normal, aku membantu Claudia dan Lea memerah susu setiap pagi, jam 6 dan sore jam 5.  Selebihnya bebas, kalau mau naik gunung silakan, cuman masih trauma, jadi aku memilih bermain dengan anak-anak atau melihat proses pembuatan keju.

Waktu kami baru memulai memerah di sore harinya, tiba-tiba Claudia dan Lea berbicara keras, kemudian Lea keluar dan ga balik balik, jadilah tinggal aku dan Claudia. Aku memilih tidak bertanya ada apa. Berhubung mereka berbicara bahasa Jerman, aku ga mudeng kalau Claudia barusan sedang memarahi Lea karena ada 15 ekor kambing yang tidak pulang dan menurut Claudia itu karena Lea tidak profesional. Setelah kami selesai memerah, Claudia membersihkan semua peralatan, dia pamit untuk mencari kambing yang ilang, sekalian mencari Lea.

Kebayang ga sih, seorang wanita, sendirian ke gunung segede pegunungan Alpn, mencari kambing yang suka-suka mau mampir atau nongkrong dimana saja. But, dia bilang, sebagai seorang penggembala profesional, mereka harus memastikan semua kambing pulang dengan aman, entah itu mereka lagi cape, entah itu sedang hujan ataupun malam hari. Luar biasa! Jadi teringat kursi empuk, komputer dan AC di kantor. Betapa aku mesti banyak bersyukur.

Claudia belum pulang hingga aku tidur jam 11 malam.  Claudia hanya mengandalkan listrik dari solar system, jadi untuk menghemat energi, jam 10 malam, setelah dinner, semua lampu mati. Iya, gelap gulita. Hanya ada suara klinting-klinting dari lonceng kalung kambing-kambing di luar sana. Kesederhanaan yang indah.

Hari ke-4 Hari ini hujan rintik, bikin udara jadi drop dingin banget. Fakta tentang kambing, mereka tidak suka hujan. Jadi saat pagi kami memerah susu, lebih sulit untuk memaksa mereka keluar. Kasihan juga ya, dingin-dingin hujan-hujanan di gunung. Apa kambing Swiss tahan masuk angin? Sepertinya begitu

Lea dan Claudia sudah berbaikan seperti tidak terjadi apa-apa pagi ini. Kami memerah susu bertiga. Seperti biasa, setelah selesai memerah susu, Lea menyiapkan bekalnya untuk naik gunung. Wajahnya agak dingin hari ini, sedingin udara di luar. Well, berangkat ke kantor pas hujan aja males kan, apalagi ke gunung coba? Jika itu bukan sebuah dedikasi atas profesi (catet tu…), atau gaji… well, anything, up to you.

Hari ini aku hanya akan melihat dan membantu Claudia membuat keju. Dia banyak bercerita tentang dirinya. Tentang ayahnya yang meninggal karena leukemia dan tentang perjuangannya hingga memulai usaha ini bersama Angela. 

Claudia, wanita kuat dengan mata yang indah. Pertama kali bertemu dengannya, aku hanya melihat sesosok wanita cantik berambut pirang yang lebih cocok jadi bintang film dari pada seorang penggembala kambing. Namun ternyata dia juga sangat cerdas. Claudia menguasai 6 bahasa asing dan bisa memainkan hampir semua alat musik. Dia mampu mengingat apapun hanya dengan sekali lihat atau sekali belajar. Claudia memilih menjadi pembuat keju karena itu adalah passion-nya. 

Cerita menarik tentang proteksi kesehatan bagi orang Swiss. Sebagai negara yang terkenal makmur kaya raya, aku tidak menyangkan kalau asuransi kesehatan juga menjadi masalah bagi mereka. Pada kasus ayah Claudia, pemerintah juga menanggung pengobatan beliau, namun untuk mendapat obat yang lebih baik, mereka harus mengeluarkan uang extra yang cukup banyak, aku tidak bertanya berapa CHF, namun bagi Claudia itu angka yang hanya mampu ditanggung oleh kalangan menengah atas, dan akhirnya pun tidak memberi kesembuhan. Sejak saat itu, Claudia mengaku kehilangan kepercayaan terhadap dokter dan rumah sakit, dia merasa mereka adalah mafia. Dia sekarang lebih memilih pengobatan alternatif, a.k.a dukun. Yess, Swiss juga punya dukun, Kakak.

Bersambung…

Alternatif Liburan Tak Biasa Dengan Budget Tipis; Cobain Jadi WWOOFer Deh,

Pernah mengkhayal jalan-jalan keliling dunia seperti di cerita buku atau tipi-tipi?

Pernah mimpi liburan dengan budget minim tapi bisa bebas dan berlama-lama? jika kamu bukan tipe turis cantik dan pingin merasakan sebuah pengalaman tinggal bersama orang lokal sambil belajar budaya sekaligus cinta alam dan tanam menanam? Cobain ini deh.

Taken from wwoof.net

Yaitu WWOOF, Worldwide Opportunity on Organic Farms. Kepanjangannya ada yang beda di negara lain. Seperti namanya “World Wide”, organisasi ini tersedia di seluruh dunia, dengan website beda-beda di setiap negara. WWOOF memberi kesempatan untuk menjadi bagian dari gerakan organic farming, yang memberi akses untuk mempromosikan budaya, pengalaman edukasi berdasarkan kepercayaan dan non monetary  exchange, sehingga membantu membangun global komuniti yang berkelanjutan. Kira kira begitulah terjemahan dari deskribsi di web WWOOF. Silakan buka web nya disini kalau mau tau lebih lanjut biar lebih familiar: WWOOF 

Cara daftarnya gimana?

Kita bisa mendaftar menjadi volunteer, biasa disebut WWOOFer atau juga menjadi host. Untuk jadi volunteer, buka web-nya, terus tinggal pilih negara tujuan, bayar membership fee, kemudian kita akan mendapat user name dan password untuk mengakses nama-nama host. Masing-masing negara punya website sendiri, jadi mesti bayar membership masing-masing. 

Iyes, bayar! Sekitar 20-40an USD, beda-beda tiap negara, untuk membership setahun, dan bisa digunakan untuk apply WWOOFer di negara yang sama beberapa kali. Menurutku sih sangat murah, dibanding manfaat yang kita dapat. Ada diskon membership untuk 2 orang atau lebih. Yuk ajak teman atau saudara.


Aktifitas di tempat Host apa aja?

Untuk jenis pekerjaan bisa sangat beragam, ada peternakan, pertanian sayur, kebun buah, sekolah alam, penginapan, yang pasti semuanya menjalankan pola organik. Pekerjaan juga sangat tergantung musim saat kita datang, contoh kalau kita milih di perkebunan buah di Eropa, pas musim semi kan baru berbunga, jadi bisa bantuin ngrawat tanaman, nyabut rumput, dll. Kalau pas musim gugur, biasanya musim panen, bantuin petik buah. Kalau pilih ke NZ atau Ausi beda musim sama Eropa ya, jadi cari tau dulu sebelum berangkat.

Dapat gaji gak?

WWOOF bisa dibilang 100% non monetary, tidak ada upah dan tidak ada ongkos tinggal maupun makan. Namun ada juga beberapa host yang memberi uang saku, tergantung dari kebijakan masing masing host. 


Jenis akomodasinya gimana?

Kondisi penginapan yang disediakan oleh tuan rumah beragam, biasanya dijelaskan di detail host. Pengalamanku sendiri, pas di Jepang bener-benar beruntung dapat kamar luas, bersih dan full wifii. Di Interlaken, Swiss tidur di sleeping bag di kolong atap, di Bern Swiss dapat kamar normal, di Ales Prancis dapat kamar tamu.

Kalau makanan?

Ada di deskripsi host Kita bisa makan bareng host, masak sendiri dengan bahan dari mereka atau masak bareng. Biasanya host peduli diet tamu. Seperti halal, vegetarian, gluten free, etc. 

Visa dan tiket?

Mengenai ongkos perjalanan menuju tempat host adalah 100% tanggungan WWOOFer. Termasuk visa, dll. Namun, ada juga host yang mau ngasih support. Coba aja kontak dulu,


Berapa lama kita boleh tinggal?

Bisa beberapa hari sampai beberapa bulan. Ada juga host yang mau menerima tamu sampai setahun.  

Terus soal bahasa?

Rata-rata host bisa bahasa Inggris, tidak semua anggota keluarga sih, tapi setidaknya selalu ada. Nilai plus banget kalau kita bisa bahasa setempat. Ngobrol jadi lebih nyambung.


Masing-masing negara memiliki website yang deskribsinya beda-beda, ada yang memuat info detail banget tentang Host. Dari 3 website negara yang aku daftar yaitu Jepang, Prancis dan Swiss, Jepang adalah yang paling lengkap. Ada info binatang peliharaan, usia semua penghuni rumah, anak jika ada, binatang ternak, info tentang aturan merokok dan minum alkohol, dll. Sementara Swiss adalah yang tidak memiliki online website, jadi setelah bayar membership, kita akan menerima email file PDF nama-nama host yang aktif, deskribsi singkat dan kontak mereka. Itu saja. Jadi sedikit sulit membayangkan kondisi keluarga host. Karena itu juga sih pengalamanku jadi WWOOFer di Swiss jadi penuh cerita 😆

Jika ditanya apakah WWOOF 100% aman? Back to basic, based on trust! Yup, totally hanya modal kepercayaan dan positif thinking. Pengalamanku menjadi WWOOFer 4 kali di 3 negara berbeda mengajariku untuk percaya kepada orang asing, menerima hal-hal baru dan terbuka dengan budaya yang totally different. Kalaupun ternyata kita tidak cocok dengan situasi rumah host, kita bisa pamit lebih awal, tentunya dengan cara yang sopan. Memang sih, tak semua pengalaman jadi WWOOFer itu indah, ada ga enaknya juga, baca postingan selanjutnya ya…

Apa bedanya WWOOF dengan Couchsurfing dan sejenisnya? Kalau jadi WWOOFer, kita mesti kerja paruh waktu karena dapat makan and akomodasi gratis. Sementara saat menjadi surfer kita tidak punya kewajiban bantu-bantu host, dan ga berhak minta makan. WWOOFer otomatis mengurangi waktu kita untuk santai jalan-jalan, tapi normalnya kita mendapat libur setelah 4-5 hari kerja atau setiap Sabtu Minggu.

Berikut beberapa Tips jadi WWOOFer berdasarkan pengalamanku:

  1. Teliti detail host yang akan kita pilih. Pilih host yang sudah punya review dari WWOOFer lain. Untuk referensi.
  2. Sebaiknya mengirim email request sewajarnya saja, 2-3 host cukup. Jika sampai 1-2 minggu tidak ada tanggapan, cobalah untuk meng-follow up lagi. Jika tetap tidak ada respon, baru kirim email request lainnya. Pada umumnya host cukup responsif. Jika kita terlanjur mengirim banyak request bersamaan, dan menerima banyak approval, ga enak juga kan mesti membatalkan permintaan sendiri. 
  3. Sebaiknya pilih daerah yang ga terlalu jauh dari pusat kota, biar ga susah aksesnya meskipun biasanya host nawari penjemputan.
  4. Barengan sama teman, 2 orang paling ideal
  5. Menyiapkan mental untuk kondisi terburuk, namanya juga farming, terutama untuk yang ga pernah main ke kebun sama sekali. Siap mental juga untuk culture shock.
  6. Siapkan oleh-oleh kecil dari negara kita, apapun itu pasti akan memberi kesan baik. Sekaligus perkenalan budaya.
  7. Bawa makanan lokal dari rumah, untuk jaga-jaga mungkin kita tidak bisa makan masakan di rumah host.
  8. Jadilah semacam duta yang baik untuk negara kita, menjaga sikap dan sopan santun dimanapun berada dan apapun budaya setempat.
  9. Be positif, respectful, open minded dan siap untuk petualangan seru apa aja. Tapi jangan lupa tetap waspada dan mawas diri. Namanya juga tamu, mesti tau diri
  10. Minta ijin dulu kalau mo poto-poto ya,

Seru kan? buruan deh lihat cek webnya dan ajak teman nyobain trip ini bareng,