Di Jawa, istilah “Dapur, Sumur, Kasur” untuk perempuan, masih sangat kental diterapkan. Tugas laki-laki adalah sebagai kepala keluarga, mencari nafkan dan sudah sepatutnya dilayani. Pun, melayani suami dengan baik adalah tugas dan kewajiban istri. Namun, apakah berada di dapur dan membantu istri bisa menurunkan derajat lelaki?
Please don’t take it seriously, karena ini hanya pendapatku dan tentang pengalaman tinggal dengan beberapa keluarga dengan cerita masing-masing selama menjadi WWOOFer.
Di sekitarku, bahkan di rumah masih jarang melihat laki-laki di dapur atau suka rela membantu istri ngerjain pekerjaan rumah, apalagi kalau istri tidak kerja. Ibaratnya menjunjung tinggi pembagian scope kerja suami dan istri. Suami cari uang and istri merawat rumah dan anak-anak. Tugas mencari nafkah memang sudah berat, tapi jika pekerja formal umumnya minimal seminggu sekali libur, tugas Ibu tidak begitu. 24 jam sehari 7 hari seminggu selamanya.
Namun ada juga fenomena bapak rumah tangga berkembang di desaku (sebuah desa di pegunungan pinggiran Malang) beberapa tahun terakhir. Karena keterbatasan keterampilan dan ketersediaan pekerjaan untuk pria, peran mencari penghasilan berpindah pada wanita, rata-rata dengan menjadi TKW. Menjadi tenaga kerja di luar negeri adalah pilihan yang cukup menjanjikan perbaikan ekonomi. Karena sang ibu harus merantau untuk waktu yang lama, minimal setahun, tugas merawat anak umumnya diambil alih sang bapak. Pada kasus seperti ini, secara pribadi aku kurang setuju jika peran pencari nafkah mesti “sepenuhnya” berpindah ke Istri. Wanita adalah tulang rusuk, bukan tulang pungung.
Neuchatel Lake
Aku pribadi, adalah pengagum lelaki yang pinter masak. Bagiku, lelaki yang pinter masak itu SEXY. Seriuosly!!! Ditambah lagi yang tidak enggan mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti cuci piring atau bersih bersih, berperanserta dalam momong anak juga. Bukan modus cewek males looo…, tapi beneran romantis melihat pasangan suami istri saling bantu mengerjakan pekerjaan rumah. Suami istri adalah team, sudah sepatutnya saling support.
Pengalamanku tinggal di 3 keluarga berbeda selama WWOOFing menunjukkan sebuah anomali. Di Interlaken, dimana semua penghuni rumah adalah wanita, pekerjaan rumah tangga cenderung tidak begitu diperhatikan, masak-memasak kadang kadang, beres-beres rumah kalau sempat. Namun para wanita itu sangat tangguh dan ahli bekerja pada bidang yang sebenarnya lebih cocok untuk pria.
Sementara itu, di rumah Philipp yang 80% penghuninya lelaki, seluruh sudut rumah malah selalu rapi bersih bersinar. Makanan selalu makanan beneran yang rasanya selalu enak. Di tempat lain, Vincent dan Cecile saling support satu sama lain. Ok, lets say itu bukan budaya tapi kebiasaan sebuah keluarga atau kesepakatan masing-masing pasangan.
Well, beda keluarga beda adat pastinya ya, termasuk pengaruh kulture sosial juga. Philipp mengatakan bahwa sejak 20 tahun belakangan, di Swiss lelaki mulai terbiasa bekerja di dapur, suka masak dan mengerjakan pekerjaan rumah membantu istri. Sebelumnya, pria mengerjakan pekerjaan rumah juga tidak umum. Namun saat ini, baginya, budaya yang menganggap pekerjaan rumah tangga hanya untuk wanita itu old school banget, sudah kuno.
Aku setuju, K-U-N-O. Terutama jika istri juga bekerja, tentunya akan sangat terbantu jika suami juga ikut membantu pekerjaan rumah. Bahkan, riset membuktikan bahwa peran ayah dalam mengasuh anak juga memberi efek positif bagi perkembangan mereka. Pernah baca sebuah quote, “Dad who respond to his baby crying, rock them and change diapers, are not helping Mom, they are being fathers “.
Tujuan WWOOF ku selanjutnya adalah ladang sayur organik di Bagard, Perancis.
Bagard adalah komune, semacam desa kecil di Departemen Gard, Occitanie, Prancis Selatan. Perjalanan dari Swiss lumayan panjang penuh cerita, termasuk drama ngemper dini hari di pinggiran stasiun Lyon. Kala itu aku menggunakan Flixbus dari Interlaken-Milan-Lyon-Nimes-Ales-Bagard. Perjalanan hampir 24 jam dengan 2 kali transit di Milan dan Lyon. Sekali lagi, atas nama penghematan budget.
Untuk alternatif transportasi yang lebih murah di Eropa, bus memang pilihan terbaik. Yang pernah aku coba adalah Flixbus dan Eurolines. Rute bus hampir menjangkau seluruh wilayah Eropa, antar kota, antar negara. Tiket bisa dipesan online, kita hanya perlu menunjukkan code QR untuk di-scan saat naik. Tersedia aplikasinya untuk di-download.
Bus memang lebih murah, namun kurang ramah lingkungan. Sebagai kompensasi terhadap emisi CO2 yang dihasilkan oleh penggunaan bus, Flixbus mengenakan biaya tambahan sekitar 0,57Euro yang sifatnya optional. Hanya sekitar Rp. 10.000 kok.
Bus dari Lyon, hanya sampai di Nimes, aku harus menggunakan kereta untuk menuju Ales. Ternyata, bus central Nimes dan stasiun kereta agak berjauhan, sekitar 3Km. Karena tidak ada wifii aku tidak bisa menggunakan Google Map.
Saat itu di terminal bus sangat sepi, hanya ada seorang bapak-bapak yang baru turun dari mobilnya. Aku sok akrab menyapa untuk bertanya rute jalan kaki ke stasiun. Sang Bapak kemudian membuka Google Map dan berusaha menjelaskan padaku dengan bahasa Inggris logat Prancis. Namun kemudian dia malah mengajakku naik mobil. Beliau mengantarku ke stasiun. Kesan pertama yang sangat manis di Nimes.
Aku sudah memesan tiket kereta ke Ales melalui internet. Nimes-Ales hanya 30 menit tiket seharga 5Euro. Harga tiket selalu berubah-ubah, kurang tau kenapa. Pas rute balik aku dapat tiket seharga 9Euro. Aku sudah mengirim SMS ke hostku, Vincent yang akan menjemputku di Stasiun Ales.
Sampai di Ales jam 2 siang, namun aku tak melihat seorang lelaki dengan ciri-ciri yang disampaikan Vincent. Menunggu 15 menit, 30 menit, aku mulai khawatir jika ada yang salah. Namun kemudian sebuah mobil Van kuning (Van Kuning DHL) berhenti di parkiran stasiun. Seorang lelaki usia 40an turun dan berjalan ke arahku. Kami bersalaman, ngobrol sebentar, kemudian Vincent membantuku memaruh barang bawaan di mobil.
Dari stasiun Ales ke Bagard, rumah Vincent hanya sekitar 20 menit. Bentang alam Bagard berupa bukit dengan tumbuhan perdu. Berasa kaya di Mesir atau Arab. Banyak ladang Zaitun dan Anggur. Saat itu musim gugur, namun matahari masih terik, suhu masih sekitar 30an Celcius. Panas. Wilayah ini masuk area taman nasional Cavannes.
Vincent adalah seorang petani sayuran organik. Dia awalnya adalah seorang Quality Control Staff di perusahaan Farmasi di Montpellier, dengan latar belakang pendidikan medis dan farmasi. Dia memutuskan berhenti setelah 8 tahun bekerja. Tahun 2018 kemarin adalah tahun ke-9 nya menjadi petani setelah resign. Vincent tinggal bersama Cecile, pasangannya. Vincent memperkenalkan Cecile dengan penekanan sebagai partner, bukan Istri karena mereka tidak menikah. Pas setahun lalu, putra pertama mereka lahir. Namanya Cassion.
Cecile adalah seorang wanita karir yang sangat ramah dan cerdas. Dia memiliki latar belakang pendidikan ilmu komunikasi, sastra dan bahasa Arab. Cecile bekerja di kantor komune, semacam kantor kecamatan atau kantor desa. Tugasnya mengurusi isu sosial dan mengajukan proposal untuk pembangunan komune. Karena itu dia sering bertemu pejabat pemerintah dan sangat peka terhadap isu sosial politik. Ngobrol dengan Cecile tentang apa saja adalah bagian yang paling aku nikmati saat menjadi WWOOFer disini.
Kebun organik Vincent memproduksi kentang, bit, wortel, tomat, berbagai jenis selada, bawang bombay berbagai jenis, labu, semangka, melon, paprika, terong. Hasil panen dijual di toko khusus produk organik dan juga melalui order online.
Aku tinggal di keluarga ini selama 7 hari, dengan 2 hari libur. Sabtu Minggu kebun tutup. Pekerjaan yang aku lakukan antara lain panen tomat, panen paprika, panen bit, menanam selada, memilah bawang bombay untuk dijual dan membersihkan labu panen bulan lalu yang berdebu. Jam kerja lumayan pendek, dari jam 8-12 setelah makan siang aku bebas mau ngapain aja.
Keluarga kecil itu normal seperti keluarga-keluarga kecil disini. Aku tidak merasakan culture shock yang cukup berarti. Yang unik justru tentang posisi Vincent sebagai suami yang lebih banyak mengurusi pekerjaan rumah dari pada sang istri. Memasak, laundry, beres-beres maupun momong sepertinya sudah diambil alih Vincent. Awalnya itu adalah pemandangan yang aneh bagiku, melihat suami masak sementara istri ngobrol, terus pas anak kebangun juga suami yang nyamperin duluan. Tapi bagi Vincent sendiri, itu hal biasa dan tidak ada yang aneh.
Senang melihat pasangan ini yang saling support. Vincent bilang, Cecile sangat mendukung karirnya sebagai petani organik. Di tahun pertama menjadi petani, Vincent hanya memperoleh penghasilan sekitar 1000Euro (17 juta-an, selama setahun). Namun Cecile dan keluarga Vincent terus mendukungnya baik secara moral maupun financial, hingga sekarang dia cukup sukses dengan penghasilan cukup.
Cassion adalah bayi lucu dengan mata teduh. Sadar diri tak punya pengalaman momong bayi, aku awalnya takut main dengan Cassion. Dia baru belajar berjalan saat itu. Namun ternyata, pas pertama ketemu dia langsung nyaman bersamaku. Waktu itu Cassion sedang menangis karena kepentok pintu. Ditenangkan oleh ayahnya gagal, namun pas aku coba menyapa dia langsung diam dan minta gendong.
Rutinitas keluarga kecil itu dimulai jam 7 pagi, Vincent bangun lebih dulu kemudian menyiapkan sarapan. Setelah selesai sarapan kemudian menyiapkan keperluan Cassion untuk dititipkan ke nanny. Susu, makanan bayi dan baju. Disaat Vincent menyiapkan barang-barang Cassion, aku dan Cecile masih asyik sarapan sambil ngobrol. Jam 8 pagi, Cecile membawa Cassion bersamanya untuk dititipkan, karena kantor Cecil dekat dengan rumah nanny. Sementara Vincent mulai pergi ke kebun.
Jam makan siang di Perancis adalah jam 12-2 siang. Di jam itu rata-rata toko atau kantor tutup. Biasanya Vincent menyiapakan makan siang jam 1 siang. Jam 5 sore, tugas menjemput Cassion adalah bagian Vincent. Sampai di rumah, Cassion punya waktu 2-3 jam untuk main sekaligus makan malam. Semua mainanya adalah mainan edukatif dari bahan organik
Vincent biasanya mengawasi Cassion bermain sambil menyiapkan makan malam. Berhubung nyambi momong, sering kali jam makan malam molor sampai jam 10. Krucuk krucuk.
Di keluarga ini aku lebih banyak belajar tentang ilmu rumah tangga dari pada ilmu pertanian. Ternyata tidak peduli kewarganegaraan, masalah keluarga masih sama saja. Suatu malam, aku menyaksikan mereka bertengkar. Saat itu seharusnya jam makan malam. Vincent sudah masak, makanan siap di meja. Aku sudah kelaparan tingkat akut, tapi sang tuan rumah sedang bertengkar di kamar mereka. Terjebak pada moment seperti itu rasanya sedih sekaligus konyol. Sampai jam 11 malam, pertengkaran mereka belum selesai, karena makin tidak nyaman dan ngantuk, aku memilih tidur. Sempat parno juga kalau-kalau pertengkaran itu jadi berlanjut ke KDRT saking serunya. Alhamdulillah, enggak. Keesokan harinya mereka sudah berbaikan bahkan meminta maaf padaku atas kejadian semalam. Lega,
Di hari terakhirku bersama keluarga ini Cecile mengajakku mengunjungi sebuah desa cantik bernama Anduze yang ternyata hanya 15 menit dengan mobil dari rumah. Desa ini benar-benar indah dan memang menjadi tujuan wisata yang masuk wilayah taman nasional Cevennez. Disana banyak hotel dan restoran. OK, wish list untuk honeymoon
Taken from Flickr by Mantis of Destiny
Keluarga Vincent sangat ramah dan openminded, bahkan aku juga dikenalkan pada Ayah dan Ibu tirinya, sempat diundang makan siang bareng juga. Cecile adalah teman curhat yang menyenangkan dan bijak. Yang paling bikin kangen tentu saja senyum dan kecupan Cassion.
Pernah mengkhayal jalan-jalan keliling dunia seperti di cerita buku atau tipi-tipi?
Pernah mimpi liburan dengan budget minim tapi bisa bebas dan berlama-lama? jika kamu bukan tipe turis cantik dan pingin merasakan sebuah pengalaman tinggal bersama orang lokal sambil belajar budaya sekaligus cinta alam dan tanam menanam? Cobain ini deh.
Taken from wwoof.net
Yaitu WWOOF, Worldwide Opportunity on Organic Farms. Kepanjangannya ada yang beda di negara lain. Seperti namanya “World Wide”, organisasi ini tersedia di seluruh dunia, dengan website beda-beda di setiap negara. WWOOF memberi kesempatan untuk menjadi bagian dari gerakan organic farming, yang memberi akses untuk mempromosikan budaya, pengalaman edukasi berdasarkan kepercayaan dan non monetary exchange, sehingga membantu membangun global komuniti yang berkelanjutan. Kira kira begitulah terjemahan dari deskribsi di web WWOOF. Silakan buka web nya disini kalau mau tau lebih lanjut biar lebih familiar: WWOOF
Cara daftarnya gimana?
Kita bisa mendaftar menjadi volunteer, biasa disebut WWOOFer atau juga menjadi host. Untuk jadi volunteer, buka web-nya, terus tinggal pilih negara tujuan, bayar membership fee, kemudian kita akan mendapat user name dan password untuk mengakses nama-nama host. Masing-masing negara punya website sendiri, jadi mesti bayar membership masing-masing.
Iyes, bayar! Sekitar 20-40an USD, beda-beda tiap negara, untuk membership setahun, dan bisa digunakan untuk apply WWOOFer di negara yang sama beberapa kali. Menurutku sih sangat murah, dibanding manfaat yang kita dapat. Ada diskon membership untuk 2 orang atau lebih. Yuk ajak teman atau saudara.
Aktifitas di tempat Host apa aja?
Untuk jenis pekerjaan bisa sangat beragam, ada peternakan, pertanian sayur, kebun buah, sekolah alam, penginapan, yang pasti semuanya menjalankan pola organik. Pekerjaan juga sangat tergantung musim saat kita datang, contoh kalau kita milih di perkebunan buah di Eropa, pas musim semi kan baru berbunga, jadi bisa bantuin ngrawat tanaman, nyabut rumput, dll. Kalau pas musim gugur, biasanya musim panen, bantuin petik buah. Kalau pilih ke NZ atau Ausi beda musim sama Eropa ya, jadi cari tau dulu sebelum berangkat.
Dapat gaji gak?
WWOOF bisa dibilang 100% non monetary, tidak ada upah dan tidak ada ongkos tinggal maupun makan. Namun ada juga beberapa host yang memberi uang saku, tergantung dari kebijakan masing masing host.
Jenis akomodasinya gimana?
Kondisi penginapan yang disediakan oleh tuan rumah beragam, biasanya dijelaskan di detail host. Pengalamanku sendiri, pas di Jepang bener-benar beruntung dapat kamar luas, bersih dan full wifii. Di Interlaken, Swiss tidur di sleeping bag di kolong atap, di Bern Swiss dapat kamar normal, di Ales Prancis dapat kamar tamu.
Kalau makanan?
Ada di deskripsi host. Kita bisa makan bareng host, masak sendiri dengan bahan dari mereka atau masak bareng. Biasanya host peduli diet tamu. Seperti halal, vegetarian, gluten free, etc.
Visa dan tiket?
Mengenai ongkos perjalanan menuju tempat host adalah 100% tanggungan WWOOFer. Termasuk visa, dll. Namun, ada juga host yang mau ngasih support. Coba aja kontak dulu,
Berapa lama kita boleh tinggal?
Bisa beberapa hari sampai beberapa bulan. Ada juga host yang mau menerima tamu sampai setahun.
Terus soal bahasa?
Rata-rata host bisa bahasa Inggris, tidak semua anggota keluarga sih, tapi setidaknya selalu ada. Nilai plus banget kalau kita bisa bahasa setempat. Ngobrol jadi lebih nyambung.
Masing-masing negara memiliki website yang deskribsinya beda-beda, ada yang memuat info detail banget tentang Host. Dari 3 website negara yang aku daftar yaitu Jepang, Prancis dan Swiss, Jepang adalah yang paling lengkap. Ada info binatang peliharaan, usia semua penghuni rumah, anak jika ada, binatang ternak, info tentang aturan merokok dan minum alkohol, dll. Sementara Swiss adalah yang tidak memiliki online website, jadi setelah bayar membership, kita akan menerima email file PDF nama-nama host yang aktif, deskribsi singkat dan kontak mereka. Itu saja. Jadi sedikit sulit membayangkan kondisi keluarga host. Karena itu juga sih pengalamanku jadi WWOOFer di Swiss jadi penuh cerita 😆
Jika ditanya apakah WWOOF 100% aman? Back to basic, based on trust! Yup, totally hanya modal kepercayaan dan positif thinking. Pengalamanku menjadi WWOOFer 4 kali di 3 negara berbeda mengajariku untuk percaya kepada orang asing, menerima hal-hal baru dan terbuka dengan budaya yang totally different. Kalaupun ternyata kita tidak cocok dengan situasi rumah host, kita bisa pamit lebih awal, tentunya dengan cara yang sopan. Memang sih, tak semua pengalaman jadi WWOOFer itu indah, ada ga enaknya juga, baca postingan selanjutnya ya…
Apa bedanya WWOOF dengan Couchsurfing dan sejenisnya? Kalau jadi WWOOFer, kita mesti kerja paruh waktu karena dapat makan and akomodasi gratis. Sementara saat menjadi surfer kita tidak punya kewajiban bantu-bantu host, dan ga berhak minta makan. WWOOFer otomatis mengurangi waktu kita untuk santai jalan-jalan, tapi normalnya kita mendapat libur setelah 4-5 hari kerja atau setiap Sabtu Minggu.
Berikut beberapa Tips jadi WWOOFer berdasarkan pengalamanku:
Teliti detail host yang akan kita pilih. Pilih host yang sudah punya review dari WWOOFer lain. Untuk referensi.
Sebaiknya mengirim email request sewajarnya saja, 2-3 host cukup. Jika sampai 1-2 minggu tidak ada tanggapan, cobalah untuk meng-follow up lagi. Jika tetap tidak ada respon, baru kirim email request lainnya. Pada umumnya host cukup responsif. Jika kita terlanjur mengirim banyak request bersamaan, dan menerima banyak approval, ga enak juga kan mesti membatalkan permintaan sendiri.
Sebaiknya pilih daerah yang ga terlalu jauh dari pusat kota, biar ga susah aksesnya meskipun biasanya host nawari penjemputan.
Barengan sama teman, 2 orang paling ideal
Menyiapkan mental untuk kondisi terburuk, namanya juga farming, terutama untuk yang ga pernah main ke kebun sama sekali. Siap mental juga untuk culture shock.
Siapkan oleh-oleh kecil dari negara kita, apapun itu pasti akan memberi kesan baik. Sekaligus perkenalan budaya.
Bawa makanan lokal dari rumah, untuk jaga-jaga mungkin kita tidak bisa makan masakan di rumah host.
Jadilah semacam duta yang baik untuk negara kita, menjaga sikap dan sopan santun dimanapun berada dan apapun budaya setempat.
Be positif, respectful, open minded dan siap untuk petualangan seru apa aja. Tapi jangan lupa tetap waspada dan mawas diri. Namanya juga tamu, mesti tau diri
Minta ijin dulu kalau mo poto-poto ya,
Seru kan? buruan deh lihat cek webnya dan ajak teman nyobain trip ini bareng,