WWOOF TRIP SWITZERLAND : KEBUN APEL ORGANIK DI BERN – PART 2

Mumpung belum terlanjur lupa, sekarang, saatnya melanjutkan cerita petik apel di Bern, Swiss. Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, Hostku bernama Philipp, seorang pria gaul berambut rasta. Aku tebak dia sekitar berusia 40an, berhubung anaknya yang pertama sudah berusia 18 tahun.

“Dont jugde a book from its cover” benar-benar cocok untuk Philipp. Di balik cover Bob Marley-nya, Philipp adalah pria penyayang dan seorang yang sangat berjiwa sosial. Dia adalah salah satu anggota Social Housing, sebuah program pemerintah Swiss untuk mengembalikan warga yang memiliki masalah social untuk kembali ke masyarakat. Masalah social itu antara lain kecanduan narkoba, kriminal atau masalah depresi. Philipp menerima orang-orang bermasalah itu untuk bekerja di perkebunannya, memberi konseling  dan membantu mereka memulai hidup baru di masyarakat.

Tahukah kamu, ternyata Swiss pernah mengalami krisis narkoba kelas berat. Bahkan Swiss dikenal sebagai “Europe’s biggest open drug scene”, tidak main-main karena narkoba yang dimaksud adalah  Heroin. Banyak warga meninggal karena candu. Di sebuah taman di Zurich yang bernama Zurich’s Platzspitz park, (dijuluki ‘needle park’ oleh The New York Times) pada tahun 1990an ribuan orang dengan terbuka menyuntikkan obat-obatan pada tubuh mereka hingga sekarat. Melihat kondisi yang semakin memprihatinkan, pemerintah berusaha mencari berbagai cara untuk mengatasi krisis narkoba hingga akhirnya menemukan cara efektif yang paling kontroversial. Swiss memerangi narkoba dengan narkoba. Swiss adalah negara pertama yang menjalankan Heroin on prescription untuk membantu para pecandu kembali ke kehidupan normal. Methadone legal diresepkan di Swiss untuk pengobatan pecandu heroin. Cara ini terbukti efektif mengurangi jumlah pecandu dan penyebaran HIV. Program ini ternyata sukses merubah image pecandu yang awalnya dikira keren jadi semacam penyakit. Kekhawatiran akan peningkatan pengguna karena pelegalan nyatanya tidak terjadi disini. Saat ini program tersebut telah diadaptasi oleh Canada dan Belanda. 

Nah, program lanjutan selain mengobati kecanduan tersebut adalah mengembalikan para mantan pecandu ke kehidupan social masyarakat, mengembalikan kepercayaan diri mereka. Itulah yang dilakukan oleh Philipp. Selain mantan pecandu, orang-orang dengan masa lalu criminal, masalah keluarga atau depresi personal juga diterima disini. Korban patah hati juga boleh daftar Saat aku bertanya kenapa dia mau melalukan itu? Dia bilang karena dia senang bisa menolong orang lain. Membantu orang lain membuatnya bahagia. Fortunatelly or unfortunatelly, pas aku disana, Philipp sedang libur dari pekerjaan sosialnya. Dia mengaku terkadang juga lelah. 

Aku beruntung (beneran beruntung) datang ke Matzwil di bulan October, saat apel-apel merah ranum siap panen. Tahun 2018 kemarin adalah tahun yang baik untuk apel, semua pohon apel di seluruh Swiss berbuah lebat berkat dukungan cuaca yang lebih hangat dari biasanya. Beberapa tahun sebelumnya, karena terlalu banyak hujan dan cuaca yang terlalu dingin, bunga apel banyak yang rontok. Jumlah panen turun drastis bahkan banyak petani yang memutuskan menebang pohon mereka karena merugi. Akibatnya, supply apel untuk konsumsi masyarakat menjadi jatuh. Melihat fenomena ini, pemerintah Swiss-pun memberi bantuan financial kepada petani apel agar mau mempertahankan tanaman mereka. Pemerintah Swiss baik ya..(ngiri😆)

Kebun Apel Philipp murni organik, dia hanya menggunakan pupuk kandang (dari sapi organik) untuk pupuk. Tidak ada pestisida sama-sekali. Bahagia melihat pohon apel yang penuh dengan buah berwarna merah ranum siap panen. 

Apel yang dipetik dipisahkan menjadi 3 grade dan ditaruh pada box berbeda, kualitas 1, apel dengan kondisi dan bentuk sempurna untuk konsumsi, kualitas 2 untuk buah konsumsi dengan harga lebih murah dan kualitas 3 adalah buah jatuh pohon atau dimakan ulat untuk bahan selai dan juice. Semua buah ini meskipun cacat, namun melalui proses pembersihan dan sterilisasi sebelum diolah. Jangan khawatir untuk keamanannya. Juice dari kebun apel Matzwil rasa dan aromanya…. the best i ever had.

Setiap Minggu, Philipp juga menyumbangkan beberapa box apel grade 3 untuk sebuah pabrik apel local yang mempekerjakan difficult people di daerah itu. Untuk pekerjaanku sendiri, hanya membantu Lukas and the gang (baca Post sebelumnya ) memetik apel dari jam 8 pagi sampai jam 3 sore. Senin-Jumat, Sabtu Minggu libur. Jam 10 pagi dan jam 3 sore adalah waktunya tea time. Kami istirahat 30 menit untuk minum teh dan ngemil roti.

Istirahat siang antara jam 12-1.30, makan siang dan istirahat. Philipp adalah koki yang hebat. Karena dia adalah seorang Vegan, Philipp tidak memasak daging dan telur tapi dia pandai mengkombinasikan kacang-kacangan dan biji-bijian sebagai sumber protein. Masakan Philipp adalah masakan terenak dan paling cocok dilidahku selama 6 minggu keliling Swiss Perancis. Selesai makan, kami  mencuci peralatan makan dan masak bersama-sama. 

Bagiku secara pribadi, pekerjaan ini menyenangkan namun cukup berat karena mesti angkat-angkat keranjang apel. Aku kagum pada Caroline dan Marlina yang sangat kuat dan cekatan mengangkat keranjang besar apel, naik turun tangga, nyetir traktor, dll. Padahal mereka lebih mirip barbie cantik bermata biru dari luar.

Awal October tahun lalu cuaca di Bern pas pagi bisa sangat dingin, sekitar 5 derajat celcius tapi mendadak terik perlahan saat matahari bangun. Jam 12 siang, suhu bisa mencapai 33 derajat. Nah jadinya, pakaian kamipun menyesuaikan. Pas pagi semua pakai jaket tebal, sarung tangan, masker, tapi tengah hari Marlina dan Marcela mendadak ganti kostum, hanya pakai BH dan celana pendek. Jadilah kebun apel rasa pantai.

Kebayang kalau mereka jadi buruh petik apel di Batu atau Bandung, bisa didatangi warga buat diajak selfie atau malah diprotes karena terlalu sexy 🤣. Meskipun kami tidak bisa ngobrol gegara roaming bahasa, Polish Gang memperlakukanku dengan sangat ramah.

Mampir di Lauterbrunnen : Salah satu desa tercantik di dunia

Lauterbrunnen adalah next stop-ku setelah WWOOFing pertama. Aku memilih Lauterbrunnen karena dekat dengan Interlaken, hemat ongkos. Naik kereta dari Interlaken Ost cuman 20 menit, tiket ketengan seharga 7.6 CHF (sekitar Rp 106.400 dengan rate 14.000).

Lauterbrunnen

Lauterbrunnen terkenal dengan pemandangan alam yang super kece. Diapit oleh tebing gunung dan memiliki banyak air terjun keren yang jatuh langsung dari tebing dipinggiran lembah. Kabarnya total ada 70-an air terjun. Pernah baca kalau desa ini adalah salah satu yang paling cantik di dunia. Landscape alamnya, kalau dilihat-lihat mirip Ngarai Sianok di Sumatra. Bedanya cuman Ngarai Sianok tidak punya gunung salju.

Wilayah ini berdekatan dengan Jungfrau yang merupakan primadona turis asing. Jungfrau adalah puncak tertinggi Swiss yang bisa dikunjungi. Pemandangan di atas spektakuler penuh salju (dari cover brosurnya). Ada akses cable car jadi tidak perlu cape-cape mendaki. Cuman perlu bayar tiket yang muahat banget. Lucunya, 2 orang asli Swiss yang aku kenal, belum pernah dan tidak berminat ke Jungfrau. Mahal!

Transportasi untuk menjangkau daerah lain dari Lauterbrunnen tersedia kereta, bus dan cable car. Recommended banget selain ke Jungfrau juga ke Grindelwald dan Wengen. View di Grindelwald juga keren banget.

Ini adalah sebuah lembah, desa jadi ga begitu ramai dan ga ada mall. Fasilitas cukup memadai. Restaurant, hotel, toko souvenir, minimarket gampang dijumpai. Sebagai lokasi wisata yang cukup terkenal, tarif hotel masih terbilang terjangkau. Waktu itu aku menginap di Valey Hostel yang lokasinya PW banget. Dekat stasiun, gampang dicari, super bersih dan memiliki fasilitas lengkap untuk backpacker. Tarif permalam untuk kamar dormitori sekitar Rp. 600.000.

Banyak juga hotel berbintang, camping ground dan rumah yang disewakan untuk turis. Semua rumah bergaya pedesaan Swiss, dari kayu dengan banyak bunga warna warni. Cantik.

Aku menginap 3 malam di Valey Hostel. Nah, biasanya tiap nginep di dormitori, aku selalu milih woman only. Tapi pas booking di Valey Hostel tidak tersedia kamar khusus cewek. Sempat parno juga pengalaman pertama nginep di dormitori campuran. Beruntungnya saat itu kamar yang berisi 8 bed hanya terisi 2 di malam pertama, aku dan seorang pelajar dari Singapore. Malam kedua datang 2 cewek dari Bangladesh. Yes, mayoritas cewek. Aman.

Malam terakhir, full house. 5 cowok rombongan datang, 2 dari USA 3 lainnya dari Australia, Itali dan Perancis. Cowok Singapore check out kemarin.

Ternyata semua roommate ku ramah dan sopan sekali. Kami sempat ngobrol dan berbagi cerita saat makan malam, berbagi alamat e-mail juga. Si cowok Itali malah sempat pamer keahlian masak pasta. Al dente..!!! Katanya, mitos cowok Perancis itu paling romantis adalah salah. Italians do it better!. Kalau menurutku sih bukan romantis, tapi nggombal. Yang paling aku syukuri adalah ternyata tidak ada penghuni yang ngorok. Padahal pas tidur di dormitori cewek, hampir selalu ada yang ngorok.

Valley Hostel

Di hostel ini juga aku ketemu Mba Yuni yang menghibahkan bekal makanan. Ketemu Mbak-Mbak ruame buanget dari Aceh yang sedang holiday trip. Dia lagi sekolah S2 di Belanda. Saking cintanya sama Belanda, jaket, jilbab sampe ranselnya warna orange (awalnya aku kira dia The Jak Mania).

Trakking, hiking, bersepeda, naik cable car, skydiving atau paradigling adalah beberapa pilihan aktivitas disini. Ngintip di Tripadvisor deh untuk info lengkapnya. Berhubung aku hanya menikmati wisata gratis, jadi hanya seputar jalan-jalan sampai gempor, naik turun lembah, menikmati air terjun, main di sungai, leyeh-leyeh di rumput, nggodain sapi dan itupun sudah lebih dari bahagia.

Dari buku The Geography of Bliss karya Eric Weiner, salah satu kunci kebahagiaan orang Swiss adalah alam mereka yang indah. Aku setuju!!!

WWOOF TRIP 1 : PETERNAKAN KAMBING DI INTERLAKEN

Aku ingin berbagi cerita tentang solo trip ke Swiss dan Perancis. Trip ini adalah trip WWOOF, aku akan tinggal di 3 host yang berbeda, 2 di Swiss dan 1 di Perancis. Kalau mau tau apa itu WWOOF, silakan baca postingan sebelumnya ya,

Singkat cerita, aku memutuskan break kerja sementara. Planning ngisi waktu senggang dengan ngetrip WWOOF.

Inflight Meals Thai Airways

Sekitar Maret 2018 lalu, aku dapat tiket promo ke Zurich pake Thai Airway. Sept tahun 2017 kemarin, aku juga ke Swiss naik maskapai ini. Promonya lumayan dan service cukup baik. Rutenya JKT-BKK-ZRH. 

Setelah daftar di WWOOF Perancis dan Swiss, aku mulai mengirim beberapa email request. Sekitar 2 mingguan, aku mendapat respon dari 3 host, peternakan kambing di Interlaken Swiss, kebun apel di Bern dan kebun sayur di Perancis.

3 Sept 2018 Landing di Zurich masih pagi, jam 7:30. Langit mendung kelabu, langsung terserang hawa dingin pas turun pesawat. Setelah mengambil bagasi, aku menuju toilet untuk cuci muka sama gosok gigi. 

Tujuan pertamaku adalah host di Interlaken. Mereka adalah peternak kambing dan pembuat keju tradisional yang saat ini tinggal di area Alpen. Yup, pegunungan legendaris itu. Aku menghubungi Claudia, host-ku di Interlaken untuk konfirmasi kedatanganku plus info penjemputan. Dia bilang Angela, partnernya yang akan menjemputku di Interlaken Ost. Alhamdulillah udah pernah kesana jadi tidak begitu asing and kuatir nyasar. Udah booking day saver ticket untuk trip bandara ke Interlaken ost. Yes, transportasi adalah bagian yang paling bikin nyesek saat bikin budget ke Swiss. Mahalnya tiada terkira.

Tips : Untuk Transportasi di Swiss, silakan instal apilkasi SBB Mobile. Bisa pesan tiket online juga. Jika tidak terlalu lama di Swiss, dan ingin lebih hemat, Day Saver bisa jadi pilihan. Pesan jauh-jauh hari agar dapat harga lebih murah. Biasanya, aku dapat harga 52CHF, integrated untuk bus, kereta, kapal unlimited dalam area yang tercover dengan masa berlaku dari jam 00:01 sampai jam 05:00 hari berikutnya

Interlaken Ost Station

Perjalanan dari Zurich Airport ke Interlaken Ost hanya sekitar satu sejam setengah. Sampai di Interlaken Ost masih jam 11.30, padahal aku minta dijemput jam 2 siang. Jadinya aku ngemper di Ticket office, menikmati wifii gratis. 

Jam 2 pas, sebuah mobil ford silver, seperti info dari Claudia berhenti di parkir zone pas depan tempat aku duduk, seseorang yang sekilas first sight lebih mirip pria berjalan dengan senyum di bibirnya kearahku, reflek aku berdiri menyambut uluran tangannya. Hi, i am Angela… Hello, i am Emi. Thank you for picking me up. Sedikit salah tingkah karena aku memanggilnya Mrs, padahal dia lebih mirip Mister.

Interlaken dari atas

Angela membantuku membawa 2 karung bawaanku ke mobil. Horaaa…. sempat kaget karena di jok tengah duduk manis seekor anjing shepherd hitam dengan mata berbinar. Ok… kejutan kedua.

Sepanjang jalan Angela bercerita jika saat muda dia suka travelling, bahkan pernah tinggal di Medan selama 3 bulan. Dia masih ingat durian, kopi manis, ikan mas, sambal, hingga berhitung satu dua tiga empat tujuh. Dibalik penampilan tomboi-nya, Angela sangat ramah dan bersahabat, akupun jadi cepat nyambung ngobrol dengannya.

30 menit, mobil kami mulai masuk area hutan, kemudian parkir di kaki gunung pas disebelah papan bertulis “Alps”. Akupun tercengang karena disana hanya ada jalan setapak masuk hutan untuk hiking, dan itulah jalan yang harus aku tempuh (ehem) untuk menuju tempat Claudia beserta kambing-kambingnya, mungkin semalam hujan sehingga tanah nampak basah dan becek. Akupun berusaha menutupi kekagetanku dengan wajah excited palsu. Pura-pura sudah biasa naik gunung dan siap dengan medan apapun… padahal dalam hati ingin balik kanan, trus bikin tenda aja di seberang danau Interlaken sana.

Kambing yang Anggun

Angela menawarkan untuk menyimpan 1 tasku di rumah mereka di kota agar memperingan pendakian kami, itupun Angela menawarkan untuk membawa ranselku dan aku hanya membawa tas jinjing berisi barang-barang kecil. 10 menit mendaki, aku masih waras, nafas masih wajar meski ngos-ngosan, Alhamdulillah sudah sarapan di pesawat. 15 menit baru berasa nafas mulai seret, 20 menit mau pingsan. Melihat aku kecapaian, Angela menawarkan istirahat. Dari atas sini, pemandangan Interlaken nampak cantik, dengan danau warna turquois dan rumput hijau.

Setelah perjuangan naik gunung selama 50 menit, sampailah kami di sebuah rumah kayu dengan bagian belakang rumah terbuka, rupanya itu adalah tempat untuk memerah susu sehari 2 kali, bekas jejak kaki kaki kambing masih tercetak di tanah basah, aroma srintil (kotoran kambing) segar membahana, shock kesekian kali karena dibagian depan rumah ini adalah rumah tinggal yang akan aku tempati 10 hari ke depan. Kesan pertama, tentu saja jorok karena urin kambing sangat menyengat, sehingga tercium sampai di teras depan, bau yang kemudian hari membuatku rindu. Namun rumah bagian depan yang digunakan sebagai tempat Claudia membuat keju dan tempat tinggal kami lumayan bersih.

Saat itu, kebetulan sedang ada rombongan anak-anak SMP yang sedang menginap disana. Ada 3 anak lelaki dan 3 perempuan, yang ternyata berkebutuhan khusus. Mereka hanya menginap 2 malam untuk berakhir pekan dan melihat aktifitas pembuatan keju tradisional.

Claudia sendiri memiliki 3 putri cantik, si sulung Sajjane 11 tahun, Moira 8 tahun dan Thilia 5 tahun. Mereka adalah gadis kecil periang yang luar biasa mandiri dan cerdas. Claudia hanya tinggal di rumah gunung saat musim panas, dan gadis gadis kecil itu hanya disana saat libur sekolah. Mereka memiliki rumah di lembah, pas di tepi danau Interlaken. Sementara Angela hanya sesekali ke gunung, dia bertugas merawat rumah di lembah yang sekaligus menjadi penginapan AirBnB dan bertanggung jawab merawat beberapa kambing di tempat lain.

Fakta unik tentang bahasa di Swiss. Ternyata, Swiss memiliki bahasa German yang diadaptasi dengan bahasa Perancis dan Itali, karena negara ini terletak diantara 3 negara tersebut. Bahasa German Swiss berbeda dengan German asli, bahkan tidak mudah dipahami oleh native German. Secara resmi, di sekolah dan untuk urusan resmi lain, orang Swiss rata-rata menggunakan bahasa German, sementara untuk bahasa sehari-hari, mereka menggunakan Swiss German. Bahasa Perancis digunakan di wilayah yang berbatasan dengan Perancis seperti Neuchatel. Bahasa Itali di daerah yang mepet Itali. Pada setiap kemasan produk, ada penjelasan dalam 3 bahasa di atas.

Claudia memiliki seorang asisten, gadis shepherd asal German bernama Lea. Tampilannya nyentrik dengan rambut rasta, namun matanya teduh bersahabat. Sore itu juga Lea menawari aku untuk belajar memerah susu kambing. Huwaaaa…. 150an ekor kambing saudara-saudara. Beruntungnya, September adalah akhir musim panas sekaligus akhir musim produktif bagi kambing, sehingga rata-rata hanya perlu waktu sekitar 3 jam saja. Iya, 3 jam. Bayangin coba pas musim produktif,😖.

Kambing bukanlah binatang yang asing bagiku, mereka juga termasuk peliharaan yang loveable, tapi injakan marah kambing dewasa adalah sesuatu yang tidak bisa disebut mesra. Pertama memcoba memegang payudara (atau apa sih istilahnya?) mereka horor juga, takut menyakiti mereka, meski binatang, ada rasa solidaritas juga sebagai sesama wanita (hahahaha…), kan ga nyaman ya kalau bagian sensitif itu dipegang orang asing? Meski terlihat sederhana, namun memeras susu kambing ternyata tidak mudah, perlu jemari yang kuat.

Prosesnya, pertama semua kambing dimasukkan ke kandang, kemudian per 12 ekor dikeluarkan, diikat pada tempat khusus, kambing berjajar sambil diberi makan, mereka akan diperah satu persatu. Sebelum memasangkan vacuum, tiap puting harus diambil sample susu terlebih dahulu agar bisa diketahui jika ada kelainan, seperti nanah atau darah. Bisa terjadi pada kambing yang sedang sakit atau terinfeksi karena putingnya digigit bayi mereka yang menyusu. Setelah selesai diperah, 12 kambing tadi dikeluarkan lagi dan 12 kambing baru dimasukkan, begitu sampai selesai.

Susu segar hasil perahan selanjutnya didinginkan secara natural dengan air mengalir, can susu  dimasukkan ke dalam bak besar mirip bathtub, kemudian bak diisi air yang dibiarkan terus mengalir, biasanya semalaman. Air yang kami konsumsi adalah air dari pegunungan Alpn yang aman diminum langsung tanpa dimasak. Keren banget kan? Semacam punya pabrik aqua pribadi.

Esok harinya, susu tersebut baru akan diolah, susu dipanaskan dengan api dari kayu, hingga batas hangat tertentu kemudian diberi cairan khusus untuk keju. Setelah beberapa saat, susu akan menggumpal seperti yogurt, kemudian baru disaring untuk dicetak. Keju tidak suka dingin, jadi pada saat pembuatan harus selalu memperhatikan suhu. Ada pekerjaan lifting yang cukup berat selama proses ini. Termasuk menuang susu dari can ke panci gede untuk digodok. Aku sempat dapat luka bakar di pergelangan tangan karena  nyenggol panci panas pas bantuin Lea menuang susu.

Sambel Oelek made in Swiss

Claudia memiliki sebuah rumah kecil dari kayu untuk menyimpan keju, semua alami, tanpa proses kimia sedikitpun. Oiya, keju yang masih muda harus selalu diperiksa karena sangat rentan menjadi sarang larva serangga yang menerobos masuk ke ruangan. Setiap hari keju muda juga perlu dibolak balik dan dilumuri garam khusus. Ribet ya, seperti merawat bayi. Berbicara mengenai keju dari susu kambing, rasanya lebih kuat dari keju susu sapi, karenanya harganya lebih mahal. Bisa dibilang premium. 

Bersambung part 2

WWOOF TRIP 1 : PETERNAKAN KAMBING DI INTERLAKEN – PART 2

Hari kedua di Alpn, Claudia menawariku untuk ikut naik ke puncak gunung menengok kawanan kuda peliharaan mereka dan kuda orang sekitar yang dititipkan untuk mereka rawat. Yup, Claudia dan Angela menerima penitipan kambing dan kuda penduduk desa untuk dijaga selama musim panas di gunung. Aku sangat excited untuk ikut, maklum.. karena awalnya yang terbersit cuman jalan2 dan hunting foto keren dari atas.

Namun apalah daya, baru sekitar 30 menit atau 1/4 jalan aku sudah menyerah. Medan berat menanjak plus licin. Si Thilia, anak Claudia paling kecil lincah loncat sana loncat sini memimpin di depan sambil nerocos bahasa German Swiss yang aku ga mudeng. Well, karena sungkan kebanyakan minta istirahat, akhirnya aku memilih berhenti dan menunggu mereka balik di dekat air terjun. Claudia bilang, mungkin sekitar 3 atau 4 jam, dan jika aku bosan menunggu, aku disarankan untuk pulang. Aku memilih menunggu mereka di dekat air terjun. (jadi ingat cerita Coban Rondo).

Setelah puas poto-poto dan makan beng-beng, bekal perjalanan, aku jadi penasaran ingin naik, dan inilah awal mula cerita tersasar di Apln Swiss. Detailnya aku tulis terpisah ya,

Hari ketiga, anak-anak sekolah dan guru mereka pamit pulang setelah sarapan dan mencuci semua perabot makan yang mereka pakai. Mereka juga turun gunung dengan membawa sampah selama menginep. Patut dicontoh!.

Sebenarnya aku ditawari untuk tidur di sebuah rumah kayu sekitar 10 menit dari rumah Claudia, yang awalnya ditempati rombongan anak sekolah, tapi berhubung mesti tinggal sendiri dan tidak ada toilet, maka aku memilih tetap tinggal serumah, meski di sebuah bilik kecil di kolong atap yang biasanya digunakan untuk menyimpan kayu bakar. Claudia meminjamiku sleeping bag hangat milik Angela, dan itu cukup. Namanya juga numpang, sekaligus menikmati hidup di alam. Aku mencoba menempatkan diri layaknya Paris Hilton &  Nicole Richi pas main reality show Simple Life, Googling dah kalau penasaran gimana serunya.👸

Hari ketiga normal, aku membantu Claudia dan Lea memerah susu setiap pagi, jam 6 dan sore jam 5.  Selebihnya bebas, kalau mau naik gunung silakan, cuman masih trauma, jadi aku memilih bermain dengan anak-anak atau melihat proses pembuatan keju.

Waktu kami baru memulai memerah di sore harinya, tiba-tiba Claudia dan Lea berbicara keras, kemudian Lea keluar dan ga balik balik, jadilah tinggal aku dan Claudia. Aku memilih tidak bertanya ada apa. Berhubung mereka berbicara bahasa Jerman, aku ga mudeng kalau Claudia barusan sedang memarahi Lea karena ada 15 ekor kambing yang tidak pulang dan menurut Claudia itu karena Lea tidak profesional. Setelah kami selesai memerah, Claudia membersihkan semua peralatan, dia pamit untuk mencari kambing yang ilang, sekalian mencari Lea.

Kebayang ga sih, seorang wanita, sendirian ke gunung segede pegunungan Alpn, mencari kambing yang suka-suka mau mampir atau nongkrong dimana saja. But, dia bilang, sebagai seorang penggembala profesional, mereka harus memastikan semua kambing pulang dengan aman, entah itu mereka lagi cape, entah itu sedang hujan ataupun malam hari. Luar biasa! Jadi teringat kursi empuk, komputer dan AC di kantor. Betapa aku mesti banyak bersyukur.

Claudia belum pulang hingga aku tidur jam 11 malam.  Claudia hanya mengandalkan listrik dari solar system, jadi untuk menghemat energi, jam 10 malam, setelah dinner, semua lampu mati. Iya, gelap gulita. Hanya ada suara klinting-klinting dari lonceng kalung kambing-kambing di luar sana. Kesederhanaan yang indah.

Hari ke-4 Hari ini hujan rintik, bikin udara jadi drop dingin banget. Fakta tentang kambing, mereka tidak suka hujan. Jadi saat pagi kami memerah susu, lebih sulit untuk memaksa mereka keluar. Kasihan juga ya, dingin-dingin hujan-hujanan di gunung. Apa kambing Swiss tahan masuk angin? Sepertinya begitu

Lea dan Claudia sudah berbaikan seperti tidak terjadi apa-apa pagi ini. Kami memerah susu bertiga. Seperti biasa, setelah selesai memerah susu, Lea menyiapkan bekalnya untuk naik gunung. Wajahnya agak dingin hari ini, sedingin udara di luar. Well, berangkat ke kantor pas hujan aja males kan, apalagi ke gunung coba? Jika itu bukan sebuah dedikasi atas profesi (catet tu…), atau gaji… well, anything, up to you.

Hari ini aku hanya akan melihat dan membantu Claudia membuat keju. Dia banyak bercerita tentang dirinya. Tentang ayahnya yang meninggal karena leukemia dan tentang perjuangannya hingga memulai usaha ini bersama Angela. 

Claudia, wanita kuat dengan mata yang indah. Pertama kali bertemu dengannya, aku hanya melihat sesosok wanita cantik berambut pirang yang lebih cocok jadi bintang film dari pada seorang penggembala kambing. Namun ternyata dia juga sangat cerdas. Claudia menguasai 6 bahasa asing dan bisa memainkan hampir semua alat musik. Dia mampu mengingat apapun hanya dengan sekali lihat atau sekali belajar. Claudia memilih menjadi pembuat keju karena itu adalah passion-nya. 

Cerita menarik tentang proteksi kesehatan bagi orang Swiss. Sebagai negara yang terkenal makmur kaya raya, aku tidak menyangkan kalau asuransi kesehatan juga menjadi masalah bagi mereka. Pada kasus ayah Claudia, pemerintah juga menanggung pengobatan beliau, namun untuk mendapat obat yang lebih baik, mereka harus mengeluarkan uang extra yang cukup banyak, aku tidak bertanya berapa CHF, namun bagi Claudia itu angka yang hanya mampu ditanggung oleh kalangan menengah atas, dan akhirnya pun tidak memberi kesembuhan. Sejak saat itu, Claudia mengaku kehilangan kepercayaan terhadap dokter dan rumah sakit, dia merasa mereka adalah mafia. Dia sekarang lebih memilih pengobatan alternatif, a.k.a dukun. Yess, Swiss juga punya dukun, Kakak.

Bersambung…

Design a site like this with WordPress.com
Get started