WWOOF TRIP SWITZERLAND : KEBUN APEL ORGANIK DI BERN – PART 1

Welcome Party ala Polska

Trip WWOOF ku yang terakhir adalah di kebun Apel organik di Bern. Philipp, sang tuan rumah adalah petani yang extraordinary banget. Awalnya aku mengira dia serupa Kolonel Sander KFC, Bapak-bapak tua dengan jenggot dan perut buncit. Selama ini aku menghubungi Philipp melalui WhatsApp dan email tapi tidak ada profile pic. yang bisa sedikit mengambarkan seperti apa dia sebenarnnya.

Jadilah aku kaget banget pas dijemput di terminal bis jam 7 pagi yang masih berkabut oleh pria rasta paruh baya kembaran Bob Marley. Sempat salah paham juga karena dia salah sebut namaku dan aku sama sekali tidak mengira sang Kolonel ternyata berambut gimbal. Alhamdulillah setelah dia menyebutkan password Indonesia, semua jadi terang benderang. 

Kebun Apel Philipp sekitar 30 menitan dari Bern Main Station dengan mobil. Sepanjang jalan dia bercerita tentang kondisi rumahnya. Ada 4 keluarga, 2 pasangan dari Polandia yang bekerja di kebun, 1 keluarga teman Philipp yang sedang berlibur dengan anak mereka yang masih umur 7 tahun dan satu lagi keluarga di lantai 3 dengan 2 anak kecil dan ibu hamil.

Philipp sendiri memiliki 3 anak, 1 cewek 19 tahun dan 2 anak lelaki, umur 9 dan 7 tahun. Dari ceritanya aku menyimpulkan dia tidak menikah. Saat itu hanya ada Malik yang paling kecil, sementara kakak-kakaknya sedang liburan ke Barcelona. Philipp sebenarnya tidak tinggal di rumah itu, hanya beberapa minggu sebulan dan selalu berakhir pekan di luar kota Bern. Sore ini dia bilang akan ke Zurich untuk menonton konser music DJ favoritnya.

Typical rumah Swiss di pedesan terbuat dari kayu. Lumayan besar dengan 3 lantai. Sebelah rumah utama adalah rumah besar yang dijadikan gudang penyimpanan apel sekaligus pabrik pembuatan jus. Masih ingat wangi aroma apel dari dalam gudang.

Kamar untuk WWOOFer di rumah Philipp, sederhana namun nyaman dan bersih

Sesampainya di rumah, Philipp menujukkan kamarku, di lantai 2 rumah utama. Di lantai ini ada 3 kamar, 2 untuk pasangan Polandia, kamarku dan ruang TV. Ada juga kamar mandi dan ruang laundry. Lumayan besar dan sangat rapi. Setelah menaruh tas, Philipp menawariku minum teh sambil ngobrol ringan di ruang tamu lantai 1. Rumah masih sepi, semua penghuni masih tidur, di luar masih remang.

Hello…

Sekitar sejam kemudian, pasangan Polandia di lantai 2 turun untuk sarapan. Philipp mengenalkan mereka 1 per 1 karena rupanya mereka tidak bisa Bahasa Inggris. Mereka adalah Lukas, sang Leader. Marlina istri Lukas, Filip dan istrinya Carolina, pasangan yang sepertinya lebih muda dari aku. Lukas bisa sedikit bahasa Inggris. (literally, sedikit banget). Mereka menggunakan Bahasa German untuk berbicara dengan Philipp dan menggunakan Bahasa Polandia untuk ngobrol dengan yang lain.

Hari Sabtu biasanya mereka kerja setengah hari, tapi hari itu Philipp memberi mereka hari libur. Sorenya, Lucas mengundangku makan pizza bersama mereka, dia bilang untuk menyambut kedatanganku. Welcome party. Mereka rupanya membuat home made pizza. Topingnya salami (sejenis daging asap yang biasanya terbuat dari daging Keledai) yang ternyata di Swiss mostly terbuat dari babi. Beruntung belum sempat makan karena Philipp sempat memberi tahu jika itu adalah Pork Salami. Kemudian Marlina membuatkan aku pizza dengan topping jamur dan keju. Meski topingnya sederhana tapi rasanya lumayan enak. Philipp tidak ikut pesta karena dia buru-buru ke Zurich untuk nonton konser musik.

Pernah dengar kalau Polish adalah pecinta Vodka, tapi baru itu semeja (itupun terpaksa) dan menyaksikan betapa cintanya mereka dengan Vodka. 4 botol untuk 6 orang, oh iya ada 2 orang lagi Adam dan Dominic yang bekerja di perkebunan sebelah. Music disco Poland diputar lumayan keras, meskipun ga mudeng tapi lumayan enak juga didengar. Setelah 4 botol vodka, mereka masih punya sebotol whiskey. Well, mulanya mereka mengira aku menolak minum Vodka karena tidak suka Vodka, sempat ditawari Wine, Beer ampe Whiskey. Thanks to Google translate, paham juga akhirnya mereka kalau aku tidak minum alkohol jenis apapun. Aku memilih jus apel sahaja.

Mereka ngobrol ngalur ngidul sambil sesekali bernyanyi mengikuti musik yang mereka putar. Lagunya rata-rata house music jedag-jedug. Karena kepo, aku sengaja menggunakan Google translate untuk menterjemahkan perbincangan mereka. Namun gegara 6 orang ngomongnya saling nerocos berbarengan, Google translate-pun jadi error. Setidaknya aku sedikit bisa bertanya atau menjawab bertanyaan mereka. Lumayan, jadi mengurangi roaming.

3 jam berlalu, 4 loyang pizza tinggal bersisa sepotong, tapi mereka masih juga minum. Sekarang ganti campuran whiskey, cola dan jeruk nipis. Jangan tanyakan gimana rasanya, aku juga pingin tau. Hehehehe…

Landscape sekitar rumah Philipp

Pesta pun berlanjut sampe malam, aku pamit tidur jam 9, di lantai bawah masih terdengar music keras dan tawa mereka sampai jam 11-an. Yang bikin surprise paginya mereka bangun lebih awal dari aku, dengan wajah fresh tanpa sisa pesta semalam. Konon katanya, setelah mabuk itu bisa bikin pusing keesokannya.

Penasaran aku bertanya pada Carolina (tentu saja dengan Google translate) berapa banyak dia bisa minum Vodka, dia bilang normalnya per orang bisa minum 2 botol. Dia bilang, pesta semalam cuma main-main aja, bukan pesta beneran. Holaaaaa..??? minum 2 botal air putih saja bisa mabuk mah aku. Aje gile….

Lukas and the gang bekerja di kebun Apel milik Philipp beberapa bulan dalam setahun, biasanya hanya untuk musim panen. Orang Swiss lebih memilih memperkerjakan tetangga sebelah karena gaji untuk pekerja dari negara lain lebih murah. Lebih murah itupun masih jauh lebih tinggi dari standard gaji negara lain. Lea, gadis penggembala dari Jerman yang aku temui di Interlaken bilang kalau di Swiss dia bisa mendapat gaji 20-30% lebih tinggi. 

Bersambung

WWOOF TRIP JAPAN : KEBUN JERUK DI WAKAYAMA

Ini merupakan trip WWOOF ku yang pertama.

Request WWOOF ku disambut dengan sangat cepat dan ramah oleh Hiro San di Ibe Farm, kebun jeruk organik Keluarga Ibe di Prefecture Wakayama, Kansai Jepang. Dari Bandara Kansai sekitar 1 jam dengan mobil, saat itu aku dijemput oleh Hiro san dan istrinya di bandara Kansai. Kesan pertama yang sangat manis.

Keluarga Ibe terdiri dari Hiro San, Sachi-San istrinya dan Obaa-Chan. Obaa-Chan adalah Ibu Hiro San, sekaligus pemilik Ibe farm secara turun temurun. Saat itu, usia beliau sekitar 85 tahun, namun masih sehat dan kuat melakukan pekerjaan ringan.

Akomodasi bagi WWOOF yang mereka sediakan adalah kamar di lantai 2 rumah Obaa-Chan yang baru selesai direnovasi. Rumah bergaya Jepang Modern, material didominasi kayu dengan fasilitas modern. Full Wifii, Bathtub plus kursi pijat punya Obaa-chan yang sering dipinjamkan untukku. Aku akan tinggal bersama keluarga ini selama 7 hari.

Kala itu, awal Maret 2018, sedang peralihan musim dingin ke musim semi. Jeruk-jeruk sedang ranum-ranumnya. Aku sangat beruntung, pengalaman pertama WWOOF sendiri, dapat Host yang super baik, akomodasi yang super nyaman, dan makanan enak plus halal. Pekerjaan pun sangat simple, cuman petik jeruk.

Sesaat setelah sampai rumah, aku diberi semacam jadwal oleh Hiro San, Orang Jepang memang super disiplin.

  • 07:00 pagi sarapan, self service, ada roti dan susu
  • 07:30 mulai bekerja
  • 09:30 Coffee Break
  • 10:00-12:00 Kembali bekerja
  • 12:00-13:00 Makan siang dan istirahat. Setelahnya bebas

Setelah memberi briefing tentang jadwalku, Hiro San dan Sachi San menunjukkan kamarku, dan menjelaskan secara singkat tentang isi rumah. Kemudian memberiku APD (Alat Pengaman Diri) untuk bekerja yang terdiri dari sepatu boots, jaket dan celana anti air, sarung tangan, dan topi pelindung. Orang Jepang itu memang luar biasa. Budaya safety mendarah daging diterapkan sampai ke level-level paling sederhana dalam keseharian mereka. Salut!

Pagi pertama hari itu, aku diajari cara memetik jeruk. Cukup memotong tangkainya dengan gunting, masukkan ke keranjang pelan pelan agar tidak rusak. Sesimple itu. Kebun jeruk Ibe, berdekatan dengan kebun-kebun jeruk warga lain yang sebagian besar masih menggunakan obat-obatan. Oleh karena itu, yang murni organik hanya pohon-pohon yang berada di tengah kebun. Jeruk-jeruk itu dipisahkan dengan yang kemungkinan terpapar obat-obatan dari kebun sebelah. Kejujuran Jepang memang jaminan mutu.

Yang paling berkesan dari keluarga Ibe adalah keramahan, kehangatan dan makanan masakan Sachi-San yang luar biasa. Bukan Sushi atau ramen. A lot more than that. Sebelumnya, mereka sudah mengetahui kalau aku Muslim, jadi tidak menyajikan babi. Terharu. Coba tengok menu makananku selama disana:

Di keluarga ini, aku lebih banyak membantu makan dari pada membantu metik jeruk. Seriusan, kenyang, sehat, sejahtera.

Hiro San bilang, sangat senang ada WWOOFer yang mau mengunjungi kebunnya. Selain membantu pekerjaannya, juga untuk menemani Obaa-Chan, menjalin persaudaraan dan berbagi ilmu. Masalah klasik di Jepang, banyak lansia yang kesepian.

Dapur idaman

Wakayama adalah salah satu prefektur penghasil Jeruk terbesar di Jepang. Di sini, semua rumah punya pohon jeruk, kebun, gunung-gunung juga penuh tanaman jeruk. Di Ibe Farm sendiri, selain untuk buah segar, jeruk diolah menjadi jus dan selai. Aku mendapat pelajaran membuat selai dari Sachi-san, hasilnya diberikan padaku sebagai oleh-oleh. Baik sekali kan….

Selai Jeruk buatan Sachi San

Oktober 2019 kemarin, aku mendapat kabar bahwa Obaa-Chan telah berpulang. Aku masih ingat betapa baik beliau. Meminjamiku kursi pijatnya, meminjamkan jaketnya karena kuatir aku kedinginan. Senyum dan kehangatan sikapnya akan selalu hidup dalam kenanganku. Meskipun terbatas bahasa, kami masih bisa ngobrol dan tertawa bersama.

Terima kasih keluarga Ibe, pengalaman pertama WWOOF yang sangat melekat dalam hati. Mereka bener-benar menunjukan keaslian keramah-tamahan Jepang. Omotenashi. Bagi kalian yang baru mau nyobain #WWOOFJapan aku sangat merekomendasikan keluarga ini.

WWOOF TRIP 1 : PETERNAKAN KAMBING DI INTERLAKEN – PART 2

Hari kedua di Alpn, Claudia menawariku untuk ikut naik ke puncak gunung menengok kawanan kuda peliharaan mereka dan kuda orang sekitar yang dititipkan untuk mereka rawat. Yup, Claudia dan Angela menerima penitipan kambing dan kuda penduduk desa untuk dijaga selama musim panas di gunung. Aku sangat excited untuk ikut, maklum.. karena awalnya yang terbersit cuman jalan2 dan hunting foto keren dari atas.

Namun apalah daya, baru sekitar 30 menit atau 1/4 jalan aku sudah menyerah. Medan berat menanjak plus licin. Si Thilia, anak Claudia paling kecil lincah loncat sana loncat sini memimpin di depan sambil nerocos bahasa German Swiss yang aku ga mudeng. Well, karena sungkan kebanyakan minta istirahat, akhirnya aku memilih berhenti dan menunggu mereka balik di dekat air terjun. Claudia bilang, mungkin sekitar 3 atau 4 jam, dan jika aku bosan menunggu, aku disarankan untuk pulang. Aku memilih menunggu mereka di dekat air terjun. (jadi ingat cerita Coban Rondo).

Setelah puas poto-poto dan makan beng-beng, bekal perjalanan, aku jadi penasaran ingin naik, dan inilah awal mula cerita tersasar di Apln Swiss. Detailnya aku tulis terpisah ya,

Hari ketiga, anak-anak sekolah dan guru mereka pamit pulang setelah sarapan dan mencuci semua perabot makan yang mereka pakai. Mereka juga turun gunung dengan membawa sampah selama menginep. Patut dicontoh!.

Sebenarnya aku ditawari untuk tidur di sebuah rumah kayu sekitar 10 menit dari rumah Claudia, yang awalnya ditempati rombongan anak sekolah, tapi berhubung mesti tinggal sendiri dan tidak ada toilet, maka aku memilih tetap tinggal serumah, meski di sebuah bilik kecil di kolong atap yang biasanya digunakan untuk menyimpan kayu bakar. Claudia meminjamiku sleeping bag hangat milik Angela, dan itu cukup. Namanya juga numpang, sekaligus menikmati hidup di alam. Aku mencoba menempatkan diri layaknya Paris Hilton &  Nicole Richi pas main reality show Simple Life, Googling dah kalau penasaran gimana serunya.👸

Hari ketiga normal, aku membantu Claudia dan Lea memerah susu setiap pagi, jam 6 dan sore jam 5.  Selebihnya bebas, kalau mau naik gunung silakan, cuman masih trauma, jadi aku memilih bermain dengan anak-anak atau melihat proses pembuatan keju.

Waktu kami baru memulai memerah di sore harinya, tiba-tiba Claudia dan Lea berbicara keras, kemudian Lea keluar dan ga balik balik, jadilah tinggal aku dan Claudia. Aku memilih tidak bertanya ada apa. Berhubung mereka berbicara bahasa Jerman, aku ga mudeng kalau Claudia barusan sedang memarahi Lea karena ada 15 ekor kambing yang tidak pulang dan menurut Claudia itu karena Lea tidak profesional. Setelah kami selesai memerah, Claudia membersihkan semua peralatan, dia pamit untuk mencari kambing yang ilang, sekalian mencari Lea.

Kebayang ga sih, seorang wanita, sendirian ke gunung segede pegunungan Alpn, mencari kambing yang suka-suka mau mampir atau nongkrong dimana saja. But, dia bilang, sebagai seorang penggembala profesional, mereka harus memastikan semua kambing pulang dengan aman, entah itu mereka lagi cape, entah itu sedang hujan ataupun malam hari. Luar biasa! Jadi teringat kursi empuk, komputer dan AC di kantor. Betapa aku mesti banyak bersyukur.

Claudia belum pulang hingga aku tidur jam 11 malam.  Claudia hanya mengandalkan listrik dari solar system, jadi untuk menghemat energi, jam 10 malam, setelah dinner, semua lampu mati. Iya, gelap gulita. Hanya ada suara klinting-klinting dari lonceng kalung kambing-kambing di luar sana. Kesederhanaan yang indah.

Hari ke-4 Hari ini hujan rintik, bikin udara jadi drop dingin banget. Fakta tentang kambing, mereka tidak suka hujan. Jadi saat pagi kami memerah susu, lebih sulit untuk memaksa mereka keluar. Kasihan juga ya, dingin-dingin hujan-hujanan di gunung. Apa kambing Swiss tahan masuk angin? Sepertinya begitu

Lea dan Claudia sudah berbaikan seperti tidak terjadi apa-apa pagi ini. Kami memerah susu bertiga. Seperti biasa, setelah selesai memerah susu, Lea menyiapkan bekalnya untuk naik gunung. Wajahnya agak dingin hari ini, sedingin udara di luar. Well, berangkat ke kantor pas hujan aja males kan, apalagi ke gunung coba? Jika itu bukan sebuah dedikasi atas profesi (catet tu…), atau gaji… well, anything, up to you.

Hari ini aku hanya akan melihat dan membantu Claudia membuat keju. Dia banyak bercerita tentang dirinya. Tentang ayahnya yang meninggal karena leukemia dan tentang perjuangannya hingga memulai usaha ini bersama Angela. 

Claudia, wanita kuat dengan mata yang indah. Pertama kali bertemu dengannya, aku hanya melihat sesosok wanita cantik berambut pirang yang lebih cocok jadi bintang film dari pada seorang penggembala kambing. Namun ternyata dia juga sangat cerdas. Claudia menguasai 6 bahasa asing dan bisa memainkan hampir semua alat musik. Dia mampu mengingat apapun hanya dengan sekali lihat atau sekali belajar. Claudia memilih menjadi pembuat keju karena itu adalah passion-nya. 

Cerita menarik tentang proteksi kesehatan bagi orang Swiss. Sebagai negara yang terkenal makmur kaya raya, aku tidak menyangkan kalau asuransi kesehatan juga menjadi masalah bagi mereka. Pada kasus ayah Claudia, pemerintah juga menanggung pengobatan beliau, namun untuk mendapat obat yang lebih baik, mereka harus mengeluarkan uang extra yang cukup banyak, aku tidak bertanya berapa CHF, namun bagi Claudia itu angka yang hanya mampu ditanggung oleh kalangan menengah atas, dan akhirnya pun tidak memberi kesembuhan. Sejak saat itu, Claudia mengaku kehilangan kepercayaan terhadap dokter dan rumah sakit, dia merasa mereka adalah mafia. Dia sekarang lebih memilih pengobatan alternatif, a.k.a dukun. Yess, Swiss juga punya dukun, Kakak.

Bersambung…

Alternatif Liburan Tak Biasa Dengan Budget Tipis; Cobain Jadi WWOOFer Deh,

Pernah mengkhayal jalan-jalan keliling dunia seperti di cerita buku atau tipi-tipi?

Pernah mimpi liburan dengan budget minim tapi bisa bebas dan berlama-lama? jika kamu bukan tipe turis cantik dan pingin merasakan sebuah pengalaman tinggal bersama orang lokal sambil belajar budaya sekaligus cinta alam dan tanam menanam? Cobain ini deh.

Taken from wwoof.net

Yaitu WWOOF, Worldwide Opportunity on Organic Farms. Kepanjangannya ada yang beda di negara lain. Seperti namanya “World Wide”, organisasi ini tersedia di seluruh dunia, dengan website beda-beda di setiap negara. WWOOF memberi kesempatan untuk menjadi bagian dari gerakan organic farming, yang memberi akses untuk mempromosikan budaya, pengalaman edukasi berdasarkan kepercayaan dan non monetary  exchange, sehingga membantu membangun global komuniti yang berkelanjutan. Kira kira begitulah terjemahan dari deskribsi di web WWOOF. Silakan buka web nya disini kalau mau tau lebih lanjut biar lebih familiar: WWOOF 

Cara daftarnya gimana?

Kita bisa mendaftar menjadi volunteer, biasa disebut WWOOFer atau juga menjadi host. Untuk jadi volunteer, buka web-nya, terus tinggal pilih negara tujuan, bayar membership fee, kemudian kita akan mendapat user name dan password untuk mengakses nama-nama host. Masing-masing negara punya website sendiri, jadi mesti bayar membership masing-masing. 

Iyes, bayar! Sekitar 20-40an USD, beda-beda tiap negara, untuk membership setahun, dan bisa digunakan untuk apply WWOOFer di negara yang sama beberapa kali. Menurutku sih sangat murah, dibanding manfaat yang kita dapat. Ada diskon membership untuk 2 orang atau lebih. Yuk ajak teman atau saudara.


Aktifitas di tempat Host apa aja?

Untuk jenis pekerjaan bisa sangat beragam, ada peternakan, pertanian sayur, kebun buah, sekolah alam, penginapan, yang pasti semuanya menjalankan pola organik. Pekerjaan juga sangat tergantung musim saat kita datang, contoh kalau kita milih di perkebunan buah di Eropa, pas musim semi kan baru berbunga, jadi bisa bantuin ngrawat tanaman, nyabut rumput, dll. Kalau pas musim gugur, biasanya musim panen, bantuin petik buah. Kalau pilih ke NZ atau Ausi beda musim sama Eropa ya, jadi cari tau dulu sebelum berangkat.

Dapat gaji gak?

WWOOF bisa dibilang 100% non monetary, tidak ada upah dan tidak ada ongkos tinggal maupun makan. Namun ada juga beberapa host yang memberi uang saku, tergantung dari kebijakan masing masing host. 


Jenis akomodasinya gimana?

Kondisi penginapan yang disediakan oleh tuan rumah beragam, biasanya dijelaskan di detail host. Pengalamanku sendiri, pas di Jepang bener-benar beruntung dapat kamar luas, bersih dan full wifii. Di Interlaken, Swiss tidur di sleeping bag di kolong atap, di Bern Swiss dapat kamar normal, di Ales Prancis dapat kamar tamu.

Kalau makanan?

Ada di deskripsi host Kita bisa makan bareng host, masak sendiri dengan bahan dari mereka atau masak bareng. Biasanya host peduli diet tamu. Seperti halal, vegetarian, gluten free, etc. 

Visa dan tiket?

Mengenai ongkos perjalanan menuju tempat host adalah 100% tanggungan WWOOFer. Termasuk visa, dll. Namun, ada juga host yang mau ngasih support. Coba aja kontak dulu,


Berapa lama kita boleh tinggal?

Bisa beberapa hari sampai beberapa bulan. Ada juga host yang mau menerima tamu sampai setahun.  

Terus soal bahasa?

Rata-rata host bisa bahasa Inggris, tidak semua anggota keluarga sih, tapi setidaknya selalu ada. Nilai plus banget kalau kita bisa bahasa setempat. Ngobrol jadi lebih nyambung.


Masing-masing negara memiliki website yang deskribsinya beda-beda, ada yang memuat info detail banget tentang Host. Dari 3 website negara yang aku daftar yaitu Jepang, Prancis dan Swiss, Jepang adalah yang paling lengkap. Ada info binatang peliharaan, usia semua penghuni rumah, anak jika ada, binatang ternak, info tentang aturan merokok dan minum alkohol, dll. Sementara Swiss adalah yang tidak memiliki online website, jadi setelah bayar membership, kita akan menerima email file PDF nama-nama host yang aktif, deskribsi singkat dan kontak mereka. Itu saja. Jadi sedikit sulit membayangkan kondisi keluarga host. Karena itu juga sih pengalamanku jadi WWOOFer di Swiss jadi penuh cerita 😆

Jika ditanya apakah WWOOF 100% aman? Back to basic, based on trust! Yup, totally hanya modal kepercayaan dan positif thinking. Pengalamanku menjadi WWOOFer 4 kali di 3 negara berbeda mengajariku untuk percaya kepada orang asing, menerima hal-hal baru dan terbuka dengan budaya yang totally different. Kalaupun ternyata kita tidak cocok dengan situasi rumah host, kita bisa pamit lebih awal, tentunya dengan cara yang sopan. Memang sih, tak semua pengalaman jadi WWOOFer itu indah, ada ga enaknya juga, baca postingan selanjutnya ya…

Apa bedanya WWOOF dengan Couchsurfing dan sejenisnya? Kalau jadi WWOOFer, kita mesti kerja paruh waktu karena dapat makan and akomodasi gratis. Sementara saat menjadi surfer kita tidak punya kewajiban bantu-bantu host, dan ga berhak minta makan. WWOOFer otomatis mengurangi waktu kita untuk santai jalan-jalan, tapi normalnya kita mendapat libur setelah 4-5 hari kerja atau setiap Sabtu Minggu.

Berikut beberapa Tips jadi WWOOFer berdasarkan pengalamanku:

  1. Teliti detail host yang akan kita pilih. Pilih host yang sudah punya review dari WWOOFer lain. Untuk referensi.
  2. Sebaiknya mengirim email request sewajarnya saja, 2-3 host cukup. Jika sampai 1-2 minggu tidak ada tanggapan, cobalah untuk meng-follow up lagi. Jika tetap tidak ada respon, baru kirim email request lainnya. Pada umumnya host cukup responsif. Jika kita terlanjur mengirim banyak request bersamaan, dan menerima banyak approval, ga enak juga kan mesti membatalkan permintaan sendiri. 
  3. Sebaiknya pilih daerah yang ga terlalu jauh dari pusat kota, biar ga susah aksesnya meskipun biasanya host nawari penjemputan.
  4. Barengan sama teman, 2 orang paling ideal
  5. Menyiapkan mental untuk kondisi terburuk, namanya juga farming, terutama untuk yang ga pernah main ke kebun sama sekali. Siap mental juga untuk culture shock.
  6. Siapkan oleh-oleh kecil dari negara kita, apapun itu pasti akan memberi kesan baik. Sekaligus perkenalan budaya.
  7. Bawa makanan lokal dari rumah, untuk jaga-jaga mungkin kita tidak bisa makan masakan di rumah host.
  8. Jadilah semacam duta yang baik untuk negara kita, menjaga sikap dan sopan santun dimanapun berada dan apapun budaya setempat.
  9. Be positif, respectful, open minded dan siap untuk petualangan seru apa aja. Tapi jangan lupa tetap waspada dan mawas diri. Namanya juga tamu, mesti tau diri
  10. Minta ijin dulu kalau mo poto-poto ya,

Seru kan? buruan deh lihat cek webnya dan ajak teman nyobain trip ini bareng,

Design a site like this with WordPress.com
Get started