DELIVERY SERVICE ALA SWISS : HELICOPTER

Pertama kali melihat penampilan Lea (Shepherd dari German yang dipekerjakan oleh host WWOOF ku di Interlaken) pas berangkat mengembala kambing ke gunung, aku seperti melihat seorang Rey, The Last Jedi tapi versi rambut rasta. Keren plus tangguh. Waktu punya kesempatan ngobrol sama dia, aku kepo untuk bertanya apakah dia pernah punya rasa takut naik turun gunung, siang, sore, malam setiap saat jika dia diharuskan mencari kambing yang ilang? (Sebenarnya mah takut yang aku tanyakan itu soal takut ketemu hantu).

Lea bilang, iya dia takut, apalagi ternyata tepat sebulan lalu, temannya sesama shepherd (awalnya dia berdua melakukan tugas ini) mengalami kecelakaan fatal, kejatuhan batu dari atas gunung, segede kepala pas di tengkuknya. Beruntung, gadis itu selamat karena otaknya tidak terluka. Benar-benar sebuah keajaiban, setelah 3 hari koma, seminggu kemudian dia sudah kembali beraktifitas seperti biasa. 

Ya, meskipun pegunungan Alpen adalah tempat yang sangat indah, hutannya lebih kalem jauh berbeda dengan tipikal hutan tropis yang cenderung lebat dan gelap, tetap saja alam menyimpang kekuatannya dan bahaya tersembunyi. Claudia sebagai tuan rumah selalu menasehati kami untuk hati-hati, fokus, berusaha tidak berada di bawah tebing tempat kambing merumput, karena kambing bisa saja menjatuhkan bebatuan dari tebing, mengurangi ngobrol dan bercanda karena bisa mengganggu konsentrasi.

View Interlaken dari atas gunung

Saat aku bertanya apa yang Lea rasakan saat itu? Dia bilang panik, takut karena dia hampir yakin temannya meninggal di tempat. Kejadian itu masih selalu terbayang setiap kali dia naik gunung, dan itulah sebabnya setelah kejadian itu dia lebih sering kehilangan kambing. Binatang bisa merasakan ketakutan pada diri kita, sehingga mereka jadi lebih susah dikendalikan.

Bagaimana cara membawa seseorang yang mengalami kecelakaan ke rumah sakit di tempat seperti ini? Sementara untuk mencapai jalan raya terdekat butuh waktu setidaknya 40 menit jalan kaki. Ternyata penduduk di pegunungan Alpen biasa carter helicopter. Pada case Lea, selain faktor keberuntungan, juga karena penanganan dan kesigapan tim SAR dan medis yang super cepat. Saat kejadian, Lea segera menghubungi Claudia untuk meminta bantuan, kemudian Claudia menghubungi tim SAR yang segera mengevakuasi korban. Semua proses hanya butuh waktu sekitar 10 menit hingga sampai rumah sakit dan korban mendapat pertolongan. Yeah, that’s Swiss.

Jika hal itu terjadi pada orang yang kurang tanggap (sebut saja saya), bisa saja proses panik sendiri, binggung mo ngapain, nangis, moment blank bisa memakan beberapa puluh menit bahkan jam dan bisa saja mengakibatkan korban tak tertolong. Teringat beberapa kasus pendaki yang tersesat di beberapa gunung di tanah air belakangan ini. Proses pencarian bisa memakan waktu beberapa hari dan sering menemukan korban sudah meninggal. 

Heli Base di Lauterbrunnen, Swiss

Saat kami sedang ngobrol, terdengar deru suara helikopter, ternyata selain untuk rescue, penduduk Alpen juga biasa menyewa heli untuk delivery barang-barang kebutuhan sehari-hari, material untuk membangun rumah, furniture atau pakan ternak yang tidak memungkinkan untuk dibawa manual dari bawah. Hebatnya lagi, dari base heli di Interlaken ke atas Alpen rata-rata hanya perlu waktu 2 menit sekali jalan. Iya, 120 detik doang.

Untuk menghemat ongkos carter, ternyata juga boleh sharing. Asal lokasi berdekatan dan volume mencukupi. Jadi ngebayangin suatu hari nanti go-send atau go-food ngantar pakai Heli, 😆.

Carter Heli memang bukan hal baru di negara maju, juga bukan cuman di Swiss. Tapi bagi orang udik kaya aku, pengalaman menyaksikan delivery service pakai Helikopter itu bisa bikin moment melongo sesaat. 

Btw pas aku masih kecil, moment melihat pesawat melintas di atas langit kami adalah moment berharga. Kebiasaan anak-anak di kampungku pas dengar suara pesawat adalah langsung keluar rumah, da-da-da-da ke atas sambil teriak “Kapal, njaluk duite” (Kapal minta uang…🙊). Kami melakukannya dengan tawa bahagia seakan Mas Pilot sedang melongok ke bawah melihat kami. Kangen masa itu.

Aku sempat mampir ke Swiss Helicopter Base di Interlaken. Pilotnya ramah-ramah (cakep sudah pasti). Jadi pingin punya suami Pilot.

Fly me to the moon..

Let me play among the stars..😊 

WWOOF TRIP SWITZERLAND : KEBUN APEL ORGANIK DI BERN – PART 2

Mumpung belum terlanjur lupa, sekarang, saatnya melanjutkan cerita petik apel di Bern, Swiss. Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, Hostku bernama Philipp, seorang pria gaul berambut rasta. Aku tebak dia sekitar berusia 40an, berhubung anaknya yang pertama sudah berusia 18 tahun.

“Dont jugde a book from its cover” benar-benar cocok untuk Philipp. Di balik cover Bob Marley-nya, Philipp adalah pria penyayang dan seorang yang sangat berjiwa sosial. Dia adalah salah satu anggota Social Housing, sebuah program pemerintah Swiss untuk mengembalikan warga yang memiliki masalah social untuk kembali ke masyarakat. Masalah social itu antara lain kecanduan narkoba, kriminal atau masalah depresi. Philipp menerima orang-orang bermasalah itu untuk bekerja di perkebunannya, memberi konseling  dan membantu mereka memulai hidup baru di masyarakat.

Tahukah kamu, ternyata Swiss pernah mengalami krisis narkoba kelas berat. Bahkan Swiss dikenal sebagai “Europe’s biggest open drug scene”, tidak main-main karena narkoba yang dimaksud adalah  Heroin. Banyak warga meninggal karena candu. Di sebuah taman di Zurich yang bernama Zurich’s Platzspitz park, (dijuluki ‘needle park’ oleh The New York Times) pada tahun 1990an ribuan orang dengan terbuka menyuntikkan obat-obatan pada tubuh mereka hingga sekarat. Melihat kondisi yang semakin memprihatinkan, pemerintah berusaha mencari berbagai cara untuk mengatasi krisis narkoba hingga akhirnya menemukan cara efektif yang paling kontroversial. Swiss memerangi narkoba dengan narkoba. Swiss adalah negara pertama yang menjalankan Heroin on prescription untuk membantu para pecandu kembali ke kehidupan normal. Methadone legal diresepkan di Swiss untuk pengobatan pecandu heroin. Cara ini terbukti efektif mengurangi jumlah pecandu dan penyebaran HIV. Program ini ternyata sukses merubah image pecandu yang awalnya dikira keren jadi semacam penyakit. Kekhawatiran akan peningkatan pengguna karena pelegalan nyatanya tidak terjadi disini. Saat ini program tersebut telah diadaptasi oleh Canada dan Belanda. 

Nah, program lanjutan selain mengobati kecanduan tersebut adalah mengembalikan para mantan pecandu ke kehidupan social masyarakat, mengembalikan kepercayaan diri mereka. Itulah yang dilakukan oleh Philipp. Selain mantan pecandu, orang-orang dengan masa lalu criminal, masalah keluarga atau depresi personal juga diterima disini. Korban patah hati juga boleh daftar Saat aku bertanya kenapa dia mau melalukan itu? Dia bilang karena dia senang bisa menolong orang lain. Membantu orang lain membuatnya bahagia. Fortunatelly or unfortunatelly, pas aku disana, Philipp sedang libur dari pekerjaan sosialnya. Dia mengaku terkadang juga lelah. 

Aku beruntung (beneran beruntung) datang ke Matzwil di bulan October, saat apel-apel merah ranum siap panen. Tahun 2018 kemarin adalah tahun yang baik untuk apel, semua pohon apel di seluruh Swiss berbuah lebat berkat dukungan cuaca yang lebih hangat dari biasanya. Beberapa tahun sebelumnya, karena terlalu banyak hujan dan cuaca yang terlalu dingin, bunga apel banyak yang rontok. Jumlah panen turun drastis bahkan banyak petani yang memutuskan menebang pohon mereka karena merugi. Akibatnya, supply apel untuk konsumsi masyarakat menjadi jatuh. Melihat fenomena ini, pemerintah Swiss-pun memberi bantuan financial kepada petani apel agar mau mempertahankan tanaman mereka. Pemerintah Swiss baik ya..(ngiri😆)

Kebun Apel Philipp murni organik, dia hanya menggunakan pupuk kandang (dari sapi organik) untuk pupuk. Tidak ada pestisida sama-sekali. Bahagia melihat pohon apel yang penuh dengan buah berwarna merah ranum siap panen. 

Apel yang dipetik dipisahkan menjadi 3 grade dan ditaruh pada box berbeda, kualitas 1, apel dengan kondisi dan bentuk sempurna untuk konsumsi, kualitas 2 untuk buah konsumsi dengan harga lebih murah dan kualitas 3 adalah buah jatuh pohon atau dimakan ulat untuk bahan selai dan juice. Semua buah ini meskipun cacat, namun melalui proses pembersihan dan sterilisasi sebelum diolah. Jangan khawatir untuk keamanannya. Juice dari kebun apel Matzwil rasa dan aromanya…. the best i ever had.

Setiap Minggu, Philipp juga menyumbangkan beberapa box apel grade 3 untuk sebuah pabrik apel local yang mempekerjakan difficult people di daerah itu. Untuk pekerjaanku sendiri, hanya membantu Lukas and the gang (baca Post sebelumnya ) memetik apel dari jam 8 pagi sampai jam 3 sore. Senin-Jumat, Sabtu Minggu libur. Jam 10 pagi dan jam 3 sore adalah waktunya tea time. Kami istirahat 30 menit untuk minum teh dan ngemil roti.

Istirahat siang antara jam 12-1.30, makan siang dan istirahat. Philipp adalah koki yang hebat. Karena dia adalah seorang Vegan, Philipp tidak memasak daging dan telur tapi dia pandai mengkombinasikan kacang-kacangan dan biji-bijian sebagai sumber protein. Masakan Philipp adalah masakan terenak dan paling cocok dilidahku selama 6 minggu keliling Swiss Perancis. Selesai makan, kami  mencuci peralatan makan dan masak bersama-sama. 

Bagiku secara pribadi, pekerjaan ini menyenangkan namun cukup berat karena mesti angkat-angkat keranjang apel. Aku kagum pada Caroline dan Marlina yang sangat kuat dan cekatan mengangkat keranjang besar apel, naik turun tangga, nyetir traktor, dll. Padahal mereka lebih mirip barbie cantik bermata biru dari luar.

Awal October tahun lalu cuaca di Bern pas pagi bisa sangat dingin, sekitar 5 derajat celcius tapi mendadak terik perlahan saat matahari bangun. Jam 12 siang, suhu bisa mencapai 33 derajat. Nah jadinya, pakaian kamipun menyesuaikan. Pas pagi semua pakai jaket tebal, sarung tangan, masker, tapi tengah hari Marlina dan Marcela mendadak ganti kostum, hanya pakai BH dan celana pendek. Jadilah kebun apel rasa pantai.

Kebayang kalau mereka jadi buruh petik apel di Batu atau Bandung, bisa didatangi warga buat diajak selfie atau malah diprotes karena terlalu sexy 🤣. Meskipun kami tidak bisa ngobrol gegara roaming bahasa, Polish Gang memperlakukanku dengan sangat ramah.

WWOOF TRIP SWITZERLAND : KEBUN APEL ORGANIK DI BERN – PART 1

Welcome Party ala Polska

Trip WWOOF ku yang terakhir adalah di kebun Apel organik di Bern. Philipp, sang tuan rumah adalah petani yang extraordinary banget. Awalnya aku mengira dia serupa Kolonel Sander KFC, Bapak-bapak tua dengan jenggot dan perut buncit. Selama ini aku menghubungi Philipp melalui WhatsApp dan email tapi tidak ada profile pic. yang bisa sedikit mengambarkan seperti apa dia sebenarnnya.

Jadilah aku kaget banget pas dijemput di terminal bis jam 7 pagi yang masih berkabut oleh pria rasta paruh baya kembaran Bob Marley. Sempat salah paham juga karena dia salah sebut namaku dan aku sama sekali tidak mengira sang Kolonel ternyata berambut gimbal. Alhamdulillah setelah dia menyebutkan password Indonesia, semua jadi terang benderang. 

Kebun Apel Philipp sekitar 30 menitan dari Bern Main Station dengan mobil. Sepanjang jalan dia bercerita tentang kondisi rumahnya. Ada 4 keluarga, 2 pasangan dari Polandia yang bekerja di kebun, 1 keluarga teman Philipp yang sedang berlibur dengan anak mereka yang masih umur 7 tahun dan satu lagi keluarga di lantai 3 dengan 2 anak kecil dan ibu hamil.

Philipp sendiri memiliki 3 anak, 1 cewek 19 tahun dan 2 anak lelaki, umur 9 dan 7 tahun. Dari ceritanya aku menyimpulkan dia tidak menikah. Saat itu hanya ada Malik yang paling kecil, sementara kakak-kakaknya sedang liburan ke Barcelona. Philipp sebenarnya tidak tinggal di rumah itu, hanya beberapa minggu sebulan dan selalu berakhir pekan di luar kota Bern. Sore ini dia bilang akan ke Zurich untuk menonton konser music DJ favoritnya.

Typical rumah Swiss di pedesan terbuat dari kayu. Lumayan besar dengan 3 lantai. Sebelah rumah utama adalah rumah besar yang dijadikan gudang penyimpanan apel sekaligus pabrik pembuatan jus. Masih ingat wangi aroma apel dari dalam gudang.

Kamar untuk WWOOFer di rumah Philipp, sederhana namun nyaman dan bersih

Sesampainya di rumah, Philipp menujukkan kamarku, di lantai 2 rumah utama. Di lantai ini ada 3 kamar, 2 untuk pasangan Polandia, kamarku dan ruang TV. Ada juga kamar mandi dan ruang laundry. Lumayan besar dan sangat rapi. Setelah menaruh tas, Philipp menawariku minum teh sambil ngobrol ringan di ruang tamu lantai 1. Rumah masih sepi, semua penghuni masih tidur, di luar masih remang.

Hello…

Sekitar sejam kemudian, pasangan Polandia di lantai 2 turun untuk sarapan. Philipp mengenalkan mereka 1 per 1 karena rupanya mereka tidak bisa Bahasa Inggris. Mereka adalah Lukas, sang Leader. Marlina istri Lukas, Filip dan istrinya Carolina, pasangan yang sepertinya lebih muda dari aku. Lukas bisa sedikit bahasa Inggris. (literally, sedikit banget). Mereka menggunakan Bahasa German untuk berbicara dengan Philipp dan menggunakan Bahasa Polandia untuk ngobrol dengan yang lain.

Hari Sabtu biasanya mereka kerja setengah hari, tapi hari itu Philipp memberi mereka hari libur. Sorenya, Lucas mengundangku makan pizza bersama mereka, dia bilang untuk menyambut kedatanganku. Welcome party. Mereka rupanya membuat home made pizza. Topingnya salami (sejenis daging asap yang biasanya terbuat dari daging Keledai) yang ternyata di Swiss mostly terbuat dari babi. Beruntung belum sempat makan karena Philipp sempat memberi tahu jika itu adalah Pork Salami. Kemudian Marlina membuatkan aku pizza dengan topping jamur dan keju. Meski topingnya sederhana tapi rasanya lumayan enak. Philipp tidak ikut pesta karena dia buru-buru ke Zurich untuk nonton konser musik.

Pernah dengar kalau Polish adalah pecinta Vodka, tapi baru itu semeja (itupun terpaksa) dan menyaksikan betapa cintanya mereka dengan Vodka. 4 botol untuk 6 orang, oh iya ada 2 orang lagi Adam dan Dominic yang bekerja di perkebunan sebelah. Music disco Poland diputar lumayan keras, meskipun ga mudeng tapi lumayan enak juga didengar. Setelah 4 botol vodka, mereka masih punya sebotol whiskey. Well, mulanya mereka mengira aku menolak minum Vodka karena tidak suka Vodka, sempat ditawari Wine, Beer ampe Whiskey. Thanks to Google translate, paham juga akhirnya mereka kalau aku tidak minum alkohol jenis apapun. Aku memilih jus apel sahaja.

Mereka ngobrol ngalur ngidul sambil sesekali bernyanyi mengikuti musik yang mereka putar. Lagunya rata-rata house music jedag-jedug. Karena kepo, aku sengaja menggunakan Google translate untuk menterjemahkan perbincangan mereka. Namun gegara 6 orang ngomongnya saling nerocos berbarengan, Google translate-pun jadi error. Setidaknya aku sedikit bisa bertanya atau menjawab bertanyaan mereka. Lumayan, jadi mengurangi roaming.

3 jam berlalu, 4 loyang pizza tinggal bersisa sepotong, tapi mereka masih juga minum. Sekarang ganti campuran whiskey, cola dan jeruk nipis. Jangan tanyakan gimana rasanya, aku juga pingin tau. Hehehehe…

Landscape sekitar rumah Philipp

Pesta pun berlanjut sampe malam, aku pamit tidur jam 9, di lantai bawah masih terdengar music keras dan tawa mereka sampai jam 11-an. Yang bikin surprise paginya mereka bangun lebih awal dari aku, dengan wajah fresh tanpa sisa pesta semalam. Konon katanya, setelah mabuk itu bisa bikin pusing keesokannya.

Penasaran aku bertanya pada Carolina (tentu saja dengan Google translate) berapa banyak dia bisa minum Vodka, dia bilang normalnya per orang bisa minum 2 botol. Dia bilang, pesta semalam cuma main-main aja, bukan pesta beneran. Holaaaaa..??? minum 2 botal air putih saja bisa mabuk mah aku. Aje gile….

Lukas and the gang bekerja di kebun Apel milik Philipp beberapa bulan dalam setahun, biasanya hanya untuk musim panen. Orang Swiss lebih memilih memperkerjakan tetangga sebelah karena gaji untuk pekerja dari negara lain lebih murah. Lebih murah itupun masih jauh lebih tinggi dari standard gaji negara lain. Lea, gadis penggembala dari Jerman yang aku temui di Interlaken bilang kalau di Swiss dia bisa mendapat gaji 20-30% lebih tinggi. 

Bersambung

WWOOF TRIP FRANCE : LADANG SAYUR ORGANIK DI BAGARD

Tujuan WWOOF ku selanjutnya adalah ladang sayur organik di Bagard, Perancis. 

Bagard adalah komune, semacam desa kecil di Departemen Gard, Occitanie, Prancis Selatan. Perjalanan dari Swiss lumayan panjang penuh cerita, termasuk drama ngemper dini hari di pinggiran stasiun Lyon. Kala itu aku menggunakan Flixbus dari Interlaken-Milan-Lyon-Nimes-Ales-Bagard. Perjalanan hampir 24 jam dengan 2 kali transit di Milan dan Lyon. Sekali lagi, atas nama penghematan budget.

Untuk alternatif transportasi yang lebih murah di Eropa, bus memang pilihan terbaik. Yang pernah aku coba adalah Flixbus dan Eurolines. Rute bus hampir menjangkau seluruh wilayah Eropa, antar kota, antar negara. Tiket bisa dipesan online, kita hanya perlu menunjukkan code QR untuk di-scan saat naik. Tersedia aplikasinya untuk di-download. 

Bus memang lebih murah, namun kurang ramah lingkungan. Sebagai kompensasi terhadap emisi CO2 yang dihasilkan oleh penggunaan bus, Flixbus mengenakan biaya tambahan sekitar 0,57Euro yang sifatnya optional. Hanya sekitar Rp. 10.000 kok.

Bus dari Lyon, hanya sampai di Nimes, aku harus menggunakan kereta untuk menuju Ales. Ternyata, bus central Nimes dan stasiun kereta agak berjauhan, sekitar 3Km. Karena tidak ada wifii aku tidak bisa menggunakan Google Map. 

Saat itu di terminal bus sangat sepi, hanya ada seorang bapak-bapak yang baru turun dari mobilnya. Aku sok akrab menyapa untuk bertanya rute jalan kaki ke stasiun. Sang Bapak kemudian membuka Google Map dan berusaha menjelaskan padaku dengan bahasa Inggris logat Prancis. Namun kemudian dia malah mengajakku naik mobil. Beliau mengantarku ke stasiun. Kesan pertama yang sangat manis di Nimes.

Aku sudah memesan tiket kereta ke Ales melalui internet. Nimes-Ales hanya 30 menit tiket seharga 5Euro. Harga tiket selalu berubah-ubah, kurang tau kenapa. Pas rute balik aku dapat tiket seharga 9Euro. Aku sudah mengirim SMS ke hostku, Vincent yang akan menjemputku di Stasiun Ales. 

Sampai di Ales jam 2 siang, namun aku tak melihat seorang lelaki dengan ciri-ciri yang disampaikan Vincent. Menunggu 15 menit, 30 menit, aku mulai khawatir jika ada yang salah. Namun kemudian sebuah mobil Van kuning (Van Kuning DHL) berhenti di parkiran stasiun. Seorang lelaki usia 40an turun dan berjalan ke arahku. Kami bersalaman, ngobrol sebentar, kemudian Vincent membantuku memaruh barang bawaan di mobil.

Dari stasiun Ales ke Bagard, rumah Vincent hanya sekitar 20 menit. Bentang alam Bagard berupa bukit dengan tumbuhan perdu. Berasa kaya di Mesir atau Arab. Banyak ladang Zaitun dan Anggur. Saat itu musim gugur, namun matahari masih terik, suhu masih sekitar 30an Celcius. Panas. Wilayah ini masuk area taman nasional Cavannes.

Vincent adalah seorang petani sayuran organik. Dia awalnya adalah seorang Quality Control Staff di perusahaan Farmasi di Montpellier, dengan latar belakang pendidikan medis dan farmasi. Dia memutuskan berhenti setelah 8 tahun bekerja. Tahun 2018 kemarin adalah tahun ke-9 nya menjadi petani setelah resign. Vincent tinggal bersama Cecile, pasangannya. Vincent memperkenalkan Cecile dengan penekanan sebagai partner, bukan Istri karena mereka tidak menikah. Pas setahun lalu, putra pertama mereka lahir. Namanya Cassion.

Cecile adalah seorang wanita karir yang sangat ramah dan cerdas. Dia memiliki latar belakang pendidikan ilmu komunikasi, sastra dan bahasa Arab. Cecile bekerja di kantor komune, semacam kantor kecamatan atau kantor desa. Tugasnya mengurusi isu sosial dan mengajukan proposal untuk pembangunan komune. Karena itu dia sering bertemu pejabat pemerintah dan sangat peka terhadap isu sosial politik. Ngobrol dengan Cecile tentang apa saja adalah bagian yang paling aku nikmati saat menjadi WWOOFer disini. 

Kebun organik Vincent memproduksi kentang, bit, wortel, tomat, berbagai jenis selada, bawang bombay berbagai jenis, labu, semangka, melon, paprika, terong. Hasil panen dijual di toko khusus produk organik dan juga melalui order online.

Aku tinggal di keluarga ini selama 7 hari, dengan 2 hari libur. Sabtu Minggu kebun tutup. Pekerjaan yang aku lakukan antara lain panen tomat, panen paprika, panen bit, menanam selada, memilah bawang bombay untuk dijual dan membersihkan labu panen bulan lalu yang berdebu. Jam kerja lumayan pendek, dari jam 8-12 setelah makan siang aku bebas mau ngapain aja. 

Keluarga kecil itu normal seperti keluarga-keluarga kecil disini. Aku tidak merasakan culture shock yang cukup berarti. Yang unik justru tentang posisi Vincent sebagai suami yang lebih banyak mengurusi pekerjaan rumah dari pada sang istri. Memasak, laundry, beres-beres maupun momong sepertinya sudah diambil alih Vincent. Awalnya itu adalah pemandangan yang aneh bagiku, melihat suami masak sementara istri ngobrol, terus pas anak kebangun juga suami yang nyamperin duluan. Tapi bagi Vincent sendiri, itu hal biasa dan tidak ada yang aneh.

Senang melihat pasangan ini yang saling support. Vincent bilang, Cecile sangat mendukung karirnya sebagai petani organik. Di tahun pertama menjadi petani, Vincent hanya memperoleh penghasilan sekitar 1000Euro (17 juta-an, selama setahun). Namun Cecile dan keluarga Vincent terus mendukungnya baik secara moral maupun financial, hingga sekarang dia cukup sukses dengan penghasilan cukup. 

Cassion adalah bayi lucu dengan mata teduh. Sadar diri tak punya pengalaman momong bayi, aku awalnya takut main dengan Cassion. Dia baru belajar berjalan saat itu. Namun ternyata, pas pertama ketemu dia langsung nyaman bersamaku. Waktu itu Cassion sedang menangis karena kepentok pintu. Ditenangkan oleh ayahnya gagal, namun pas aku coba menyapa dia langsung diam dan minta gendong. 

Rutinitas keluarga kecil itu dimulai jam 7 pagi, Vincent bangun lebih dulu kemudian menyiapkan sarapan. Setelah selesai sarapan kemudian menyiapkan keperluan Cassion untuk dititipkan ke nanny. Susu, makanan bayi dan baju. Disaat Vincent menyiapkan barang-barang Cassion, aku dan Cecile masih asyik sarapan sambil ngobrol. Jam 8 pagi, Cecile membawa Cassion bersamanya untuk dititipkan, karena kantor Cecil dekat dengan rumah nanny. Sementara Vincent mulai pergi ke kebun. 

Jam makan siang di Perancis adalah jam 12-2 siang. Di jam itu rata-rata toko atau kantor tutup. Biasanya Vincent menyiapakan makan siang jam 1 siang. Jam 5 sore, tugas menjemput Cassion adalah bagian Vincent. Sampai di rumah, Cassion punya waktu 2-3 jam untuk main sekaligus makan malam. Semua mainanya adalah mainan edukatif dari bahan organik

Vincent biasanya mengawasi Cassion bermain sambil menyiapkan makan malam. Berhubung nyambi momong, sering kali jam makan malam molor sampai jam 10. Krucuk krucuk.

Di keluarga ini aku lebih banyak belajar tentang ilmu rumah tangga dari pada ilmu pertanian. Ternyata tidak peduli kewarganegaraan, masalah keluarga masih sama saja. Suatu malam, aku menyaksikan mereka bertengkar. Saat itu seharusnya jam makan malam. Vincent sudah masak, makanan siap di meja. Aku sudah kelaparan tingkat akut, tapi sang tuan rumah sedang bertengkar di kamar mereka. Terjebak pada moment seperti itu rasanya sedih sekaligus konyol. Sampai jam 11 malam, pertengkaran mereka belum selesai, karena makin tidak nyaman dan ngantuk, aku memilih tidur. Sempat parno juga kalau-kalau pertengkaran itu jadi berlanjut ke KDRT saking serunya. Alhamdulillah, enggak. Keesokan harinya mereka sudah berbaikan bahkan meminta maaf padaku atas kejadian semalam. Lega,  

Di hari terakhirku bersama keluarga ini Cecile mengajakku mengunjungi sebuah desa cantik bernama Anduze yang ternyata hanya 15 menit dengan mobil dari rumah. Desa ini benar-benar indah dan memang menjadi tujuan wisata yang masuk wilayah taman nasional Cevennez. Disana banyak hotel dan restoran. OK, wish list untuk honeymoon

Taken from Flickr by Mantis of Destiny

Keluarga Vincent sangat ramah dan openminded, bahkan aku juga dikenalkan pada Ayah dan Ibu tirinya, sempat diundang makan siang bareng juga. Cecile adalah teman curhat yang menyenangkan dan bijak. Yang paling bikin kangen tentu saja senyum dan kecupan Cassion.

WWOOF TRIP 1 : PETERNAKAN KAMBING DI INTERLAKEN – PART 2

Hari kedua di Alpn, Claudia menawariku untuk ikut naik ke puncak gunung menengok kawanan kuda peliharaan mereka dan kuda orang sekitar yang dititipkan untuk mereka rawat. Yup, Claudia dan Angela menerima penitipan kambing dan kuda penduduk desa untuk dijaga selama musim panas di gunung. Aku sangat excited untuk ikut, maklum.. karena awalnya yang terbersit cuman jalan2 dan hunting foto keren dari atas.

Namun apalah daya, baru sekitar 30 menit atau 1/4 jalan aku sudah menyerah. Medan berat menanjak plus licin. Si Thilia, anak Claudia paling kecil lincah loncat sana loncat sini memimpin di depan sambil nerocos bahasa German Swiss yang aku ga mudeng. Well, karena sungkan kebanyakan minta istirahat, akhirnya aku memilih berhenti dan menunggu mereka balik di dekat air terjun. Claudia bilang, mungkin sekitar 3 atau 4 jam, dan jika aku bosan menunggu, aku disarankan untuk pulang. Aku memilih menunggu mereka di dekat air terjun. (jadi ingat cerita Coban Rondo).

Setelah puas poto-poto dan makan beng-beng, bekal perjalanan, aku jadi penasaran ingin naik, dan inilah awal mula cerita tersasar di Apln Swiss. Detailnya aku tulis terpisah ya,

Hari ketiga, anak-anak sekolah dan guru mereka pamit pulang setelah sarapan dan mencuci semua perabot makan yang mereka pakai. Mereka juga turun gunung dengan membawa sampah selama menginep. Patut dicontoh!.

Sebenarnya aku ditawari untuk tidur di sebuah rumah kayu sekitar 10 menit dari rumah Claudia, yang awalnya ditempati rombongan anak sekolah, tapi berhubung mesti tinggal sendiri dan tidak ada toilet, maka aku memilih tetap tinggal serumah, meski di sebuah bilik kecil di kolong atap yang biasanya digunakan untuk menyimpan kayu bakar. Claudia meminjamiku sleeping bag hangat milik Angela, dan itu cukup. Namanya juga numpang, sekaligus menikmati hidup di alam. Aku mencoba menempatkan diri layaknya Paris Hilton &  Nicole Richi pas main reality show Simple Life, Googling dah kalau penasaran gimana serunya.👸

Hari ketiga normal, aku membantu Claudia dan Lea memerah susu setiap pagi, jam 6 dan sore jam 5.  Selebihnya bebas, kalau mau naik gunung silakan, cuman masih trauma, jadi aku memilih bermain dengan anak-anak atau melihat proses pembuatan keju.

Waktu kami baru memulai memerah di sore harinya, tiba-tiba Claudia dan Lea berbicara keras, kemudian Lea keluar dan ga balik balik, jadilah tinggal aku dan Claudia. Aku memilih tidak bertanya ada apa. Berhubung mereka berbicara bahasa Jerman, aku ga mudeng kalau Claudia barusan sedang memarahi Lea karena ada 15 ekor kambing yang tidak pulang dan menurut Claudia itu karena Lea tidak profesional. Setelah kami selesai memerah, Claudia membersihkan semua peralatan, dia pamit untuk mencari kambing yang ilang, sekalian mencari Lea.

Kebayang ga sih, seorang wanita, sendirian ke gunung segede pegunungan Alpn, mencari kambing yang suka-suka mau mampir atau nongkrong dimana saja. But, dia bilang, sebagai seorang penggembala profesional, mereka harus memastikan semua kambing pulang dengan aman, entah itu mereka lagi cape, entah itu sedang hujan ataupun malam hari. Luar biasa! Jadi teringat kursi empuk, komputer dan AC di kantor. Betapa aku mesti banyak bersyukur.

Claudia belum pulang hingga aku tidur jam 11 malam.  Claudia hanya mengandalkan listrik dari solar system, jadi untuk menghemat energi, jam 10 malam, setelah dinner, semua lampu mati. Iya, gelap gulita. Hanya ada suara klinting-klinting dari lonceng kalung kambing-kambing di luar sana. Kesederhanaan yang indah.

Hari ke-4 Hari ini hujan rintik, bikin udara jadi drop dingin banget. Fakta tentang kambing, mereka tidak suka hujan. Jadi saat pagi kami memerah susu, lebih sulit untuk memaksa mereka keluar. Kasihan juga ya, dingin-dingin hujan-hujanan di gunung. Apa kambing Swiss tahan masuk angin? Sepertinya begitu

Lea dan Claudia sudah berbaikan seperti tidak terjadi apa-apa pagi ini. Kami memerah susu bertiga. Seperti biasa, setelah selesai memerah susu, Lea menyiapkan bekalnya untuk naik gunung. Wajahnya agak dingin hari ini, sedingin udara di luar. Well, berangkat ke kantor pas hujan aja males kan, apalagi ke gunung coba? Jika itu bukan sebuah dedikasi atas profesi (catet tu…), atau gaji… well, anything, up to you.

Hari ini aku hanya akan melihat dan membantu Claudia membuat keju. Dia banyak bercerita tentang dirinya. Tentang ayahnya yang meninggal karena leukemia dan tentang perjuangannya hingga memulai usaha ini bersama Angela. 

Claudia, wanita kuat dengan mata yang indah. Pertama kali bertemu dengannya, aku hanya melihat sesosok wanita cantik berambut pirang yang lebih cocok jadi bintang film dari pada seorang penggembala kambing. Namun ternyata dia juga sangat cerdas. Claudia menguasai 6 bahasa asing dan bisa memainkan hampir semua alat musik. Dia mampu mengingat apapun hanya dengan sekali lihat atau sekali belajar. Claudia memilih menjadi pembuat keju karena itu adalah passion-nya. 

Cerita menarik tentang proteksi kesehatan bagi orang Swiss. Sebagai negara yang terkenal makmur kaya raya, aku tidak menyangkan kalau asuransi kesehatan juga menjadi masalah bagi mereka. Pada kasus ayah Claudia, pemerintah juga menanggung pengobatan beliau, namun untuk mendapat obat yang lebih baik, mereka harus mengeluarkan uang extra yang cukup banyak, aku tidak bertanya berapa CHF, namun bagi Claudia itu angka yang hanya mampu ditanggung oleh kalangan menengah atas, dan akhirnya pun tidak memberi kesembuhan. Sejak saat itu, Claudia mengaku kehilangan kepercayaan terhadap dokter dan rumah sakit, dia merasa mereka adalah mafia. Dia sekarang lebih memilih pengobatan alternatif, a.k.a dukun. Yess, Swiss juga punya dukun, Kakak.

Bersambung…

Design a site like this with WordPress.com
Get started