DELIVERY SERVICE ALA SWISS : HELICOPTER

Pertama kali melihat penampilan Lea (Shepherd dari German yang dipekerjakan oleh host WWOOF ku di Interlaken) pas berangkat mengembala kambing ke gunung, aku seperti melihat seorang Rey, The Last Jedi tapi versi rambut rasta. Keren plus tangguh. Waktu punya kesempatan ngobrol sama dia, aku kepo untuk bertanya apakah dia pernah punya rasa takut naik turun gunung, siang, sore, malam setiap saat jika dia diharuskan mencari kambing yang ilang? (Sebenarnya mah takut yang aku tanyakan itu soal takut ketemu hantu).

Lea bilang, iya dia takut, apalagi ternyata tepat sebulan lalu, temannya sesama shepherd (awalnya dia berdua melakukan tugas ini) mengalami kecelakaan fatal, kejatuhan batu dari atas gunung, segede kepala pas di tengkuknya. Beruntung, gadis itu selamat karena otaknya tidak terluka. Benar-benar sebuah keajaiban, setelah 3 hari koma, seminggu kemudian dia sudah kembali beraktifitas seperti biasa. 

Ya, meskipun pegunungan Alpen adalah tempat yang sangat indah, hutannya lebih kalem jauh berbeda dengan tipikal hutan tropis yang cenderung lebat dan gelap, tetap saja alam menyimpang kekuatannya dan bahaya tersembunyi. Claudia sebagai tuan rumah selalu menasehati kami untuk hati-hati, fokus, berusaha tidak berada di bawah tebing tempat kambing merumput, karena kambing bisa saja menjatuhkan bebatuan dari tebing, mengurangi ngobrol dan bercanda karena bisa mengganggu konsentrasi.

View Interlaken dari atas gunung

Saat aku bertanya apa yang Lea rasakan saat itu? Dia bilang panik, takut karena dia hampir yakin temannya meninggal di tempat. Kejadian itu masih selalu terbayang setiap kali dia naik gunung, dan itulah sebabnya setelah kejadian itu dia lebih sering kehilangan kambing. Binatang bisa merasakan ketakutan pada diri kita, sehingga mereka jadi lebih susah dikendalikan.

Bagaimana cara membawa seseorang yang mengalami kecelakaan ke rumah sakit di tempat seperti ini? Sementara untuk mencapai jalan raya terdekat butuh waktu setidaknya 40 menit jalan kaki. Ternyata penduduk di pegunungan Alpen biasa carter helicopter. Pada case Lea, selain faktor keberuntungan, juga karena penanganan dan kesigapan tim SAR dan medis yang super cepat. Saat kejadian, Lea segera menghubungi Claudia untuk meminta bantuan, kemudian Claudia menghubungi tim SAR yang segera mengevakuasi korban. Semua proses hanya butuh waktu sekitar 10 menit hingga sampai rumah sakit dan korban mendapat pertolongan. Yeah, that’s Swiss.

Jika hal itu terjadi pada orang yang kurang tanggap (sebut saja saya), bisa saja proses panik sendiri, binggung mo ngapain, nangis, moment blank bisa memakan beberapa puluh menit bahkan jam dan bisa saja mengakibatkan korban tak tertolong. Teringat beberapa kasus pendaki yang tersesat di beberapa gunung di tanah air belakangan ini. Proses pencarian bisa memakan waktu beberapa hari dan sering menemukan korban sudah meninggal. 

Heli Base di Lauterbrunnen, Swiss

Saat kami sedang ngobrol, terdengar deru suara helikopter, ternyata selain untuk rescue, penduduk Alpen juga biasa menyewa heli untuk delivery barang-barang kebutuhan sehari-hari, material untuk membangun rumah, furniture atau pakan ternak yang tidak memungkinkan untuk dibawa manual dari bawah. Hebatnya lagi, dari base heli di Interlaken ke atas Alpen rata-rata hanya perlu waktu 2 menit sekali jalan. Iya, 120 detik doang.

Untuk menghemat ongkos carter, ternyata juga boleh sharing. Asal lokasi berdekatan dan volume mencukupi. Jadi ngebayangin suatu hari nanti go-send atau go-food ngantar pakai Heli, 😆.

Carter Heli memang bukan hal baru di negara maju, juga bukan cuman di Swiss. Tapi bagi orang udik kaya aku, pengalaman menyaksikan delivery service pakai Helikopter itu bisa bikin moment melongo sesaat. 

Btw pas aku masih kecil, moment melihat pesawat melintas di atas langit kami adalah moment berharga. Kebiasaan anak-anak di kampungku pas dengar suara pesawat adalah langsung keluar rumah, da-da-da-da ke atas sambil teriak “Kapal, njaluk duite” (Kapal minta uang…🙊). Kami melakukannya dengan tawa bahagia seakan Mas Pilot sedang melongok ke bawah melihat kami. Kangen masa itu.

Aku sempat mampir ke Swiss Helicopter Base di Interlaken. Pilotnya ramah-ramah (cakep sudah pasti). Jadi pingin punya suami Pilot.

Fly me to the moon..

Let me play among the stars..😊 

Me vs Macaroon

Baking adalah hobi baruku sejak punya oven mini setahun lalu. Oven itu dibeli khusus untuk misi membuat macaroon.

Pencapaian terbaik so far…

Misi ini sudah aku uji coba berkali-kali, dan belum menunjukkan hasil mendekati berhasil. (mendekat aja belum lo… )

Aku bukan tipe pantang menyerah, kalau sudah bosan ya sudah aja.. beberapa kali mencoba resep cake lain dan sering gagal, aku tidak terlalu memaksakan diri. Wong takarannya juga pake naluri. Iya, aku tidak pernah menggunakan timbangan. Antara sayang uang mau beli dan masih menikmati metode kira-kira. Seru aja gitu

Namun, obsesiku terhadap macaroon ternyata lumayan awet. setidaknya masih bertahan hingga kini.

Entah apa yang salah (selain kalibrasi instinct kira kira) segala metode dan resep belum juga berhasil. Bahkan yang bertittle anti gagal sekalipun.

Macaroon itu simple tapi sulit. Itulah letak daya tariknya.

Hingga postingan ini publish, aku masih belum bisa membuat macaroon yang mendekati berhasil. Masih belum minat juga beli timbangan (ntar kl udah ditimbang sesuai resep n masih gagal apa dung yg mau disalahin lagi?)

Perjuanganku VS Macaroon masih akan berlanjut. Jika ada yang punya tips n trik, please help me…

Open Air Museum – The Historical Village of Hokkaido

Located pretty near from Shin Sapporo Station, this open air museum was pretty awesome when i visited it on winter, last year. There were almost no other visitor made this place like my own play ground.

After visiting other tourism spot which mostly crowded in Sapporo on February, i was so lucky to enjoy the this place calmness.

Snow was covering all the area, turned it into white magical land. There were around 52 building of historical village around Meiji and Taisho Periods. Inside the building, we can find illustration of the real house.

There were horse and snow cart riding services, cafe, toilet and souvenir store.

How to go there :
Take JR Bus新22(№22) from JR Shin Sapporo Sta.(Shin-SapporoBus Terminal track No.10) (travel time:approx.18 min.) or JR Bus新22(№22) from JR Shinrin koen Sta.(travel time:approx.10 min.) and get off at the last stop “Kaitaku-no-mura.”

Open from 9 AM to 5PM, entrance fee 800Yen for adult and 600Yen for student.

Taken from http://www.kaitaku.or.jp/en/en.htm

JANGAN BENCI PASANGAN MANTANMU..

Iya, benar. Jangan benci pasangan mantanmu. Maksudku disini, jangan membenci pacar baru atau istri yang dipilih mantan kita.

Jika ada di antara kamu yang juga pernah mengalami rasa ini,

Aku pernah patah hati, oleh cinta pertama yang pernah sangat aku yakini jodohku. Bersama beberapa tahun, suatu hari aku mengetahui dia memilih wanita lain. Aku pernah merasa kecewa, marah, benci dan tidak terima. Namun anehnya, kemarahan itu lebih kepada wanita pilihannya. Kenapa mesti ada wanita itu, kenapa mesti dia yang dipilih, kenapa dan kenapa lain.

Pernah mengalami masa suram yang panjang, saking panjangnya sampai tak yakin akan berakhir. Membanding-bandingkan diri sendiri dengan wanita itu, mendoakan yang buruk tentang mereka, stalking, dsb yang pada dasarnya menyakiti diri sendiri. Sementara kenal saja, tidak. Kami hanya mencintai lelaki yang sama, dan lelaki itu tidak memilih aku.

Kemarahan yang suatu hari kemudian aku tertawakan karena memang wanita itulah yang lebih pas mendampingi dia. Mereka cocok dari segi umur, agama, budaya, dan banyak hal lain. Aku yakin, tidak akan mudah bagiku jika akulah yang dia pilih. Belum tentu juga aku akan bahagia bersamanya dan dia bahagia bersamaku. Jika aku adalah dia, aku juga akan memilih wanita itu. Memilih yang terbaik dan paling cocok untuk pasangan hidup adalah hak semua orang, hak dia, hak kita.

Memang tidak mudah sampai pada level “menerima”. Apalagi saat cinta berubah menjadi ego. Perasaan tidak terima ditinggalkan, merasa lebih baik daripada wanita pilihannya, merasa kalah, merasa dikhianati… Berdamailah dengan segala rasa itu, puas-puaskan dan sudahi segera.

Tuhan tidak pernah salah, terutama soal jodoh. Jika dia memilih yang lain, itu karena dia bukan jodoh kita. Suatu hari nanti, bisa jadi kita berterima kasih kepada wanita pilihannya karena telah menyelamatkan kita dari lelaki yang salah.

Kita juga berhak bahagia, dan melepaskan yang tidak lagi mau digengam itu meringankan langkah, melapangkan dada, menerangi hati, menyembuhkan jerawat, mendekatkan jodoh dan mengurangi insomnia. Berhenti membenci, mulailah bahagia.

WWOOF TRIP SWITZERLAND : KEBUN APEL ORGANIK DI BERN – PART 2

Mumpung belum terlanjur lupa, sekarang, saatnya melanjutkan cerita petik apel di Bern, Swiss. Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, Hostku bernama Philipp, seorang pria gaul berambut rasta. Aku tebak dia sekitar berusia 40an, berhubung anaknya yang pertama sudah berusia 18 tahun.

“Dont jugde a book from its cover” benar-benar cocok untuk Philipp. Di balik cover Bob Marley-nya, Philipp adalah pria penyayang dan seorang yang sangat berjiwa sosial. Dia adalah salah satu anggota Social Housing, sebuah program pemerintah Swiss untuk mengembalikan warga yang memiliki masalah social untuk kembali ke masyarakat. Masalah social itu antara lain kecanduan narkoba, kriminal atau masalah depresi. Philipp menerima orang-orang bermasalah itu untuk bekerja di perkebunannya, memberi konseling  dan membantu mereka memulai hidup baru di masyarakat.

Tahukah kamu, ternyata Swiss pernah mengalami krisis narkoba kelas berat. Bahkan Swiss dikenal sebagai “Europe’s biggest open drug scene”, tidak main-main karena narkoba yang dimaksud adalah  Heroin. Banyak warga meninggal karena candu. Di sebuah taman di Zurich yang bernama Zurich’s Platzspitz park, (dijuluki ‘needle park’ oleh The New York Times) pada tahun 1990an ribuan orang dengan terbuka menyuntikkan obat-obatan pada tubuh mereka hingga sekarat. Melihat kondisi yang semakin memprihatinkan, pemerintah berusaha mencari berbagai cara untuk mengatasi krisis narkoba hingga akhirnya menemukan cara efektif yang paling kontroversial. Swiss memerangi narkoba dengan narkoba. Swiss adalah negara pertama yang menjalankan Heroin on prescription untuk membantu para pecandu kembali ke kehidupan normal. Methadone legal diresepkan di Swiss untuk pengobatan pecandu heroin. Cara ini terbukti efektif mengurangi jumlah pecandu dan penyebaran HIV. Program ini ternyata sukses merubah image pecandu yang awalnya dikira keren jadi semacam penyakit. Kekhawatiran akan peningkatan pengguna karena pelegalan nyatanya tidak terjadi disini. Saat ini program tersebut telah diadaptasi oleh Canada dan Belanda. 

Nah, program lanjutan selain mengobati kecanduan tersebut adalah mengembalikan para mantan pecandu ke kehidupan social masyarakat, mengembalikan kepercayaan diri mereka. Itulah yang dilakukan oleh Philipp. Selain mantan pecandu, orang-orang dengan masa lalu criminal, masalah keluarga atau depresi personal juga diterima disini. Korban patah hati juga boleh daftar Saat aku bertanya kenapa dia mau melalukan itu? Dia bilang karena dia senang bisa menolong orang lain. Membantu orang lain membuatnya bahagia. Fortunatelly or unfortunatelly, pas aku disana, Philipp sedang libur dari pekerjaan sosialnya. Dia mengaku terkadang juga lelah. 

Aku beruntung (beneran beruntung) datang ke Matzwil di bulan October, saat apel-apel merah ranum siap panen. Tahun 2018 kemarin adalah tahun yang baik untuk apel, semua pohon apel di seluruh Swiss berbuah lebat berkat dukungan cuaca yang lebih hangat dari biasanya. Beberapa tahun sebelumnya, karena terlalu banyak hujan dan cuaca yang terlalu dingin, bunga apel banyak yang rontok. Jumlah panen turun drastis bahkan banyak petani yang memutuskan menebang pohon mereka karena merugi. Akibatnya, supply apel untuk konsumsi masyarakat menjadi jatuh. Melihat fenomena ini, pemerintah Swiss-pun memberi bantuan financial kepada petani apel agar mau mempertahankan tanaman mereka. Pemerintah Swiss baik ya..(ngiri😆)

Kebun Apel Philipp murni organik, dia hanya menggunakan pupuk kandang (dari sapi organik) untuk pupuk. Tidak ada pestisida sama-sekali. Bahagia melihat pohon apel yang penuh dengan buah berwarna merah ranum siap panen. 

Apel yang dipetik dipisahkan menjadi 3 grade dan ditaruh pada box berbeda, kualitas 1, apel dengan kondisi dan bentuk sempurna untuk konsumsi, kualitas 2 untuk buah konsumsi dengan harga lebih murah dan kualitas 3 adalah buah jatuh pohon atau dimakan ulat untuk bahan selai dan juice. Semua buah ini meskipun cacat, namun melalui proses pembersihan dan sterilisasi sebelum diolah. Jangan khawatir untuk keamanannya. Juice dari kebun apel Matzwil rasa dan aromanya…. the best i ever had.

Setiap Minggu, Philipp juga menyumbangkan beberapa box apel grade 3 untuk sebuah pabrik apel local yang mempekerjakan difficult people di daerah itu. Untuk pekerjaanku sendiri, hanya membantu Lukas and the gang (baca Post sebelumnya ) memetik apel dari jam 8 pagi sampai jam 3 sore. Senin-Jumat, Sabtu Minggu libur. Jam 10 pagi dan jam 3 sore adalah waktunya tea time. Kami istirahat 30 menit untuk minum teh dan ngemil roti.

Istirahat siang antara jam 12-1.30, makan siang dan istirahat. Philipp adalah koki yang hebat. Karena dia adalah seorang Vegan, Philipp tidak memasak daging dan telur tapi dia pandai mengkombinasikan kacang-kacangan dan biji-bijian sebagai sumber protein. Masakan Philipp adalah masakan terenak dan paling cocok dilidahku selama 6 minggu keliling Swiss Perancis. Selesai makan, kami  mencuci peralatan makan dan masak bersama-sama. 

Bagiku secara pribadi, pekerjaan ini menyenangkan namun cukup berat karena mesti angkat-angkat keranjang apel. Aku kagum pada Caroline dan Marlina yang sangat kuat dan cekatan mengangkat keranjang besar apel, naik turun tangga, nyetir traktor, dll. Padahal mereka lebih mirip barbie cantik bermata biru dari luar.

Awal October tahun lalu cuaca di Bern pas pagi bisa sangat dingin, sekitar 5 derajat celcius tapi mendadak terik perlahan saat matahari bangun. Jam 12 siang, suhu bisa mencapai 33 derajat. Nah jadinya, pakaian kamipun menyesuaikan. Pas pagi semua pakai jaket tebal, sarung tangan, masker, tapi tengah hari Marlina dan Marcela mendadak ganti kostum, hanya pakai BH dan celana pendek. Jadilah kebun apel rasa pantai.

Kebayang kalau mereka jadi buruh petik apel di Batu atau Bandung, bisa didatangi warga buat diajak selfie atau malah diprotes karena terlalu sexy 🤣. Meskipun kami tidak bisa ngobrol gegara roaming bahasa, Polish Gang memperlakukanku dengan sangat ramah.

SENSASI NGEMPER DI EROPA

Pertanyaan paling populer soal solo traveling selain kesepian adalah keamanan. Ini adalah pertanyaan tak terjawab, karena aku percaya tidak ada tempat di bumi ini yang totally safe. Jangankan pas jalan-jalan ke tempat asing, di rumah kita sendiri saja selalu ada kemungkinan bahaya. Jadi, selalu berhati-hati adalah kuncinya. 

Membahas tentang situasi-situasi yang agak berbahaya selama solo traveling, aku punya beberapa pengalaman ngemper di beberapa tempat. Istilah ngemper ini mengacu pada upaya penghematan dengan tidak menginap di hostel tetapi dengan menghabiskan malam di tempat umum. 

Pengalaman pertama ngemper international adalah di Changi. Waktu itu bareng teman, bertiga jadi aman-aman saja. Ngemper ke dua di Narita, waktu itu pas dari Sapporo balik ke Tokyo dengan flight malam. Beruntung ada teman mahasiswa Malaysia jadi ga sendirian. Waktu itu pas musim dingin. Aku dapat kursi di depan pintu masuk. Jadilah pas pintu terbuka langsung diserang dingin. Brrrrr….

Berbekal 2 pengalaman ngemper international di atas, aku sudah meniatkan acara ngemper di trip Swiss-Perancis kali ini.


Pertama, ngemper dini hari di jalanan Lyon

Yes, literally jalanan. Ceritanya aku dalam perjalanan ke Ales (Perancis) dari Interlaken (Swiss) menggunakan Flix Bus. Perjalanan itu lumayan panjang dengan 2 kali transit. Milan (Itali)- Lyon baru Nimes, stasiun terdekat dengan Ales. Interlaken-Milan hanya sekitar 5 jam, aku sampai di Milan sekitar jam 2 siang, perjalanan selanjutnya Milan-Lyon, sekitar 7 jam. Transit di Milan sekitar 4 jam.

Berangkat jam 6 sore dari Milan, prediksi sampai di Lyon jam 1 an dini hari. Karena trip selanjutnya Lyon ke Nimes jam 8 pagi, jadi aku sengaja tidak booking hotel, for the sake of penghematan aku niatkan bermalam di stasiun, dengan prasangka positif di Eropa pasti stasiun buka 24 jam, ataupun kalau tidak pasti ada halte yang layak untuk ngemper.

Perjalanan kami delay 1 jam karena pada saat pemeriksaan document di perbatasan Itali ke Perancis, ada seorang penumpang, cowok muda yang pas duduk depan bangkuku, tak memiliki document lengkap sehingga Polisi perbatasan Itali menahan bus kami. Setelah sejam dia dibawa ke kantor polisi dan tidak juga kembali, perjalananpun dilanjutkan. Sang cowokpun tertahan di perbatasan. Semoga dia baik baik saja.

Jam 2 malam, driver menyampaikan lewat pengeras suara kalau kami telah sampai di Lyon. Oh no, ternyata station Lyon hanya dibuka sampai jam 12 malam, sehingga bus hanya menurunkan penumpang di jalanan depan stasiun. Disana, tidak ada bangku, tidak ada halte bus, hanya ada seperator jalan dengan trotoar. Angin sepoi-sepoi menambah dingin udara, Alhamdulillah tidak hujan meski langit mendung. 

Aku dengan menenteng 2 backpack dan sebuah tas tangan, ndoprok di pinggiran jalan sendirian. Hmm, enggak sendirian juga sih, ada beberapa pria, yang juga sepertinya turun berbarengan denganku dan beberapa orang yang sepertinya menunggu bus, berdiri di pinggir jalan, ada yang ngobrol ada yang sedang merokok.

Udara makin dingin, beberapa orang telah naik bus yang mereka tunggu, menyisakan aku dan makin sedikit orang di jalanan itu. Tengok kanan kiri, di belakangku ternyata adalah sebuah restaurant dengan beberapa bangku di teras. Aku terpikir untuk berpindah duduk disana, namun enggan jika ternyata ada security dan kemudian aku diusir. Pengalaman diusir dari teras di resto Lyon bukan pengalaman indah yang bisa diceritakan pas pulang nanti, kan?

Beberapa saat kemudian ada 2 orang lelaki duduk disana. Akupun latah mengikuti mereka. Ternyata sudah ada beberapa orang yang tiduran di bangku pojok. Semua laki-laki. Horor, iyess.

Temanku yang asli Prancis sudah wanti-wanti agar aku hati-hati karena di setiap pinggiran stasiun adalah lokasi lokalisasi, tempat anak jalanan suka minum-minum dan sering kali jadi tempat transaksi narkoba. Iya, pas sebelah restoran ini adalah sebuah warung sex toys. Uhlalaaaaa… warna catnya pink dengan lampu neon kelap-kelip ungu. 

Masih jam 3, aku mencoba tidur di kursi, sambil memeluk harta bendaku, berselimut jaket dan berdzikir dalam hati. Aku terbangun saat seseorang menepuk punggungku, dia bilang stasiun sudah buka.

Station Lyon ternyata cukup gede, saat itu sudah ada beberapa bus yang mulai beroperasi tapi kereta pertama baru akan mulai jalan jam 5:30. Aku menemukan bangku di sebelah vanding machine depan pintu utama, ah ada sinyal wifi. Senangnya,

Sayang sekali, mampir di Lyon hanya untuk numpang tidur beberapa jam, di jalanan pula. Lain kali aku ingin balik ke sini, booking hotel minimal bintang 3 lah ya (Balas dendam). Bersyukur melewatkan malam dengan aman meski ga nyaman di pinggir jalan station Lyon. Cukup sekali saja. 


Next, Ngemper di Bus Central Strasbourg

Ternyata pengalaman ngemper di Lyon ga bikin aku jera, malah makin berani. 

Kali ini adalah perjalanan pendek, masih dengan Flix Bus, dari Strasbourg ke Bern untuk WWOOFing ke 3. Perjalanan cuman 3 jam, tapi dimulai jam 3 pagi. Sudah aku niatkan untuk jalan kaki dari hotel ke terminal, toh cuman 30 menit, sekalian mampir masjid gede Strasbourg untuk sholat Magrib dan Isya. Akupun berjalan kaki sambil mengeret-geret koper dan menggendong ransel.

Karena ga pingin jalan dalam kegelapan nan sepi, aku memilih berangkat lebih awal, tepatnya sampe stasiun masih jam 9an, jadilah ngemper hampir 6 jam. Padahal naik trem cuman 2 Euro lo, tapi aku milih jalan kaki😝

Terminal Bus Strasbourg cukup nyaman, ada bangku dan penerangan cukup, relatif ramai. Hampir tiap 15 menit ada saja bus datang yang sharing wifi sebentar-sebentar. Lumayanlah, cukup buat chating ngusir bosan.

Saat itu aku duduk di bangku depan sebuah pusat informasi yang seatap dengan toilet umum, yang baru aku sadari sebenarnya adalah Smoking Area. Aku baru ngeh pas kali ke tiga ditanyai soal korek api. Sempat heran, kenapa mau pinjam korek ke aku? Pas noleh belakang baru ngeh tulisan Smoking Area.

Karena tidak mau disapa orang buat minjam korek lagi, aku pindah duduk di area bangku taman. Berhubung area terbuka… werrrrrrrr…. saat angin semriwing datang, dinginnya sampai ke tulang. Bersyukur malam itu cerah, bintang kelap kelip di langit dan busku pun datang on-time. Ngemper di Strasbourg bukanlah cerita horor.

Kali ini di Stasiun Central Zurich, Zurich HB

Masih ada cerita ngemper selanjutnya. Kali ini di Stasiun Central Zurich, Zurich HB, sehari sebelum balik ke Jakarta. Apalagi kalau bukan untuk alasan penghematan. Berhubung sudah kenal stasiun ini, maka aku relatif PD (apalagi berpengalaman di 2 lokasi ngemper sebelumnya).

Setelah puas keliling kota Bern, jam 8 sore aku naik bus menuju Zurich, cuman sejam. Awalnya mo nyari tumpangan di Couchsurfing, udah dapat 2 host, tapi akhirnya aku memutuskan ngemper di stasiun saja. Dari jam 9 malam aku mulai nongkrong di Zurich HB, baca buku, chatting, update instastory sampai kelaparan akhirnya ngantuk juga. Sekitar jam 1 malam aku rebahan di bangku panjang depan tempat ibadah. Bangku itu cukup panjang untuk 2 orang. Di bangku itu sudah ada seorang ibu-ibu yang yang rebahan juga. Beliau tersenyum ramah, tapi kami tak sempat ngobrol.

Aku terbangun tiba-tiba karena mimpi aneh, lupa mimpi apa, tapi pas aku membuka mata, aku melihat sebuah tangan mencoba membuka resleting tas kecilku yang aku taruh diantara dinding dan tubuhku (seingatku semalam aku memeluk tas itu). Reflek aku mendongak dan ternyata ada 2 orang pria sedang duduk di sebelahku, reflek aku senyum ke arah mereka. Sang Ibu ternyata sudah bangun. Aku masih setengah sadar atau mengigau, saat melihat jam tangan masih jam 4 pagi. Aku menutup kembali resleting tasku, terus balik tidur lagi. Tak lama kemudian, aku terbangun lagi, dan masih sama, aku melihat sebuah tangan berusaha membuka resleting tasku. Kali ini aku baru sadar ada bahaya. Duh… Lola banget. Masih 2 orang tadi, namun mereka lekas beranjak pas aku benar-benar bangun.

Lagi-lagi bersyukur, tak ada barang hilang, isinya memang bukan uang sih, tapi barang-barang kecil, souvenir dan PASPOR!!!! Hadew, tinggal di Swiss memang menyenangkan. Tapi kalau berlama-lamaan disini gara-gara paspor ilang??? Amit-amit…. jangan sampai kejadian ya Allah….

Eh, masih ada lagi cerita ngemper…. well ini beneran yang terakhir !!!

Hari ini adalah hari terakhirku di Swiss, besok jadwal balik ke Jakarta. Rencana hari ini adalah numpang gosok gigi di toilet yang bayar 1,8Euro, nitipin tas di loker selama 10 jam, keliling kota Zurich kemudian ngemper di Bandara. Karena agak parno ngemper di stasiun lagi, aku memilih ngemper di bandara malam ini. Pertimbangan pertama adalah karena bandara pastinya lebih rame, 24 jam, lebih aman dan lebih mudah nyari toilet (gratis).

Jam 10 malam aku naik kereta ke bandara, cuman sekitar  20 menitan. Saat itu situasi ramai seperti bandara sewajarnya.

Akupun hunting posisi PW untuk tidur. Sempat tertidur sejam, aku terbangun sekitar jam 12 malam and bengong karena saat itu tidak ada lagi orang di sekitarku yang awalnya lumayan rame. Hanya ada sekitar 3-4 orang di bangku seberang. Well, dan keadaanpun semakin malam semakin sepi. Karena penasaran, aku mencoba keliling, mengharap situasi berbeda di sudut lain, but… di bandara segede itu beneran hampir tidak ada orang. Semua counter Duty Free, toko tutup. Entah jika ada area yang buka 24 jam di sebuah sudut yang tak terjamah. 

Setelah muter-muter ga jelas dengan rasa khawatir ketemu satpam terus diusir, aku menemukan 2 orang sedang tertidur di bangku dekat counter check in. Aku pun ikut ikutan buka lapak disana. Kelelahan, akhirnya tertidur pulas, baru terbangun jam 6 pagi.  Saat itu, bandara Zurich-pun normal lagi. Penting banget untuk cari tau dulu jam operasional tempat-tempat umum macam bandara atau stasiun. Ok, catet. Lesson to learn!! Merasakan bandara Zurich serasa milik sendiri semalaman adalah pengalaman yang tidak ingin aku ulangi.

Well, jujur, ngemper di tempat umum bukan pengalaman yang menyenangkan. Meski selalu ada sensasi puas pas melewati saat-saat genting (plus menyelamatkan budget), namun sebaiknya keamanan tetep jadi prioritas utama dimanapun berada. Kalaupun pingin nyobain pengalaman ngemper di tempat umum, sebaiknya survey tempatnya dulu, siapin bekal makan minum cukup, download film secukupnya atau bawa buku bacaan. Biar jadi ngemper rasa piknik.

Sering banget dapat komen, “Jalan-jalan ga ngajak-ngajak sih?”, “lain kali ajakin aku jalan bareng ya,..”. Setelah baca cerita ini, masih mau ikutan??

MAN IN THE KITCHEN

Di Jawa, istilah “Dapur, Sumur, Kasur” untuk perempuan, masih sangat kental diterapkan. Tugas laki-laki adalah sebagai kepala keluarga, mencari nafkan dan sudah sepatutnya dilayani. Pun, melayani suami dengan baik adalah tugas dan kewajiban istri. Namun, apakah berada di dapur dan membantu istri bisa menurunkan derajat lelaki?

Please don’t take it seriously, karena ini hanya pendapatku dan tentang pengalaman tinggal dengan beberapa keluarga dengan cerita masing-masing selama menjadi WWOOFer.

Di sekitarku, bahkan di rumah masih jarang melihat laki-laki di dapur atau suka rela membantu istri ngerjain pekerjaan rumah, apalagi kalau istri tidak kerja. Ibaratnya menjunjung tinggi pembagian scope kerja suami dan istri. Suami cari uang and istri merawat rumah dan anak-anak. Tugas mencari nafkah memang sudah berat, tapi jika pekerja formal umumnya minimal seminggu sekali libur, tugas Ibu tidak begitu. 24 jam sehari 7 hari seminggu selamanya.

Namun ada juga fenomena bapak rumah tangga berkembang di desaku (sebuah desa di pegunungan pinggiran Malang) beberapa tahun terakhir. Karena keterbatasan keterampilan dan ketersediaan pekerjaan untuk pria, peran mencari penghasilan berpindah pada wanita, rata-rata dengan menjadi TKW. Menjadi tenaga kerja di luar negeri adalah pilihan yang cukup menjanjikan perbaikan ekonomi. Karena sang ibu harus merantau untuk waktu yang lama, minimal setahun, tugas merawat anak umumnya diambil alih sang bapak. Pada kasus seperti ini, secara pribadi aku kurang setuju jika peran pencari nafkah mesti “sepenuhnya” berpindah ke Istri. Wanita adalah tulang rusuk, bukan tulang pungung.

Neuchatel Lake

Aku pribadi, adalah pengagum lelaki yang pinter masak. Bagiku, lelaki yang pinter masak itu SEXY. Seriuosly!!! Ditambah lagi yang tidak enggan mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti cuci piring atau bersih bersih, berperanserta dalam momong anak juga. Bukan modus cewek males looo…, tapi beneran romantis melihat pasangan suami istri saling bantu mengerjakan pekerjaan rumah. Suami istri adalah team, sudah sepatutnya saling support.

Pengalamanku tinggal di 3 keluarga berbeda selama WWOOFing menunjukkan sebuah anomali. Di Interlaken, dimana semua penghuni rumah adalah wanita, pekerjaan rumah tangga cenderung tidak begitu diperhatikan, masak-memasak kadang kadang, beres-beres rumah kalau sempat. Namun para wanita itu sangat tangguh dan ahli bekerja pada bidang yang sebenarnya lebih cocok untuk pria.  

Sementara itu, di rumah Philipp yang 80% penghuninya lelaki, seluruh sudut rumah malah selalu rapi bersih bersinar. Makanan selalu makanan beneran yang rasanya selalu enak. Di tempat lain, Vincent dan Cecile saling support satu sama lain. Ok, lets say itu bukan budaya tapi kebiasaan sebuah keluarga atau kesepakatan masing-masing pasangan.

Well, beda keluarga beda adat pastinya ya, termasuk pengaruh kulture sosial juga. Philipp mengatakan bahwa sejak 20 tahun belakangan, di Swiss lelaki mulai terbiasa bekerja di dapur, suka masak dan mengerjakan pekerjaan rumah membantu istri. Sebelumnya, pria mengerjakan pekerjaan rumah juga tidak umum. Namun saat ini, baginya, budaya yang menganggap pekerjaan rumah tangga hanya untuk wanita itu old school banget, sudah kuno.

Aku setuju, K-U-N-O. Terutama jika istri juga bekerja, tentunya akan sangat terbantu jika suami juga ikut membantu pekerjaan rumah. Bahkan, riset membuktikan bahwa peran ayah dalam mengasuh anak juga memberi efek positif bagi perkembangan mereka. Pernah baca sebuah quote, “Dad who respond to his baby crying, rock them and change diapers, are not helping Mom, they are being fathers “.

WWOOF TRIP SWITZERLAND : KEBUN APEL ORGANIK DI BERN – PART 1

Welcome Party ala Polska

Trip WWOOF ku yang terakhir adalah di kebun Apel organik di Bern. Philipp, sang tuan rumah adalah petani yang extraordinary banget. Awalnya aku mengira dia serupa Kolonel Sander KFC, Bapak-bapak tua dengan jenggot dan perut buncit. Selama ini aku menghubungi Philipp melalui WhatsApp dan email tapi tidak ada profile pic. yang bisa sedikit mengambarkan seperti apa dia sebenarnnya.

Jadilah aku kaget banget pas dijemput di terminal bis jam 7 pagi yang masih berkabut oleh pria rasta paruh baya kembaran Bob Marley. Sempat salah paham juga karena dia salah sebut namaku dan aku sama sekali tidak mengira sang Kolonel ternyata berambut gimbal. Alhamdulillah setelah dia menyebutkan password Indonesia, semua jadi terang benderang. 

Kebun Apel Philipp sekitar 30 menitan dari Bern Main Station dengan mobil. Sepanjang jalan dia bercerita tentang kondisi rumahnya. Ada 4 keluarga, 2 pasangan dari Polandia yang bekerja di kebun, 1 keluarga teman Philipp yang sedang berlibur dengan anak mereka yang masih umur 7 tahun dan satu lagi keluarga di lantai 3 dengan 2 anak kecil dan ibu hamil.

Philipp sendiri memiliki 3 anak, 1 cewek 19 tahun dan 2 anak lelaki, umur 9 dan 7 tahun. Dari ceritanya aku menyimpulkan dia tidak menikah. Saat itu hanya ada Malik yang paling kecil, sementara kakak-kakaknya sedang liburan ke Barcelona. Philipp sebenarnya tidak tinggal di rumah itu, hanya beberapa minggu sebulan dan selalu berakhir pekan di luar kota Bern. Sore ini dia bilang akan ke Zurich untuk menonton konser music DJ favoritnya.

Typical rumah Swiss di pedesan terbuat dari kayu. Lumayan besar dengan 3 lantai. Sebelah rumah utama adalah rumah besar yang dijadikan gudang penyimpanan apel sekaligus pabrik pembuatan jus. Masih ingat wangi aroma apel dari dalam gudang.

Kamar untuk WWOOFer di rumah Philipp, sederhana namun nyaman dan bersih

Sesampainya di rumah, Philipp menujukkan kamarku, di lantai 2 rumah utama. Di lantai ini ada 3 kamar, 2 untuk pasangan Polandia, kamarku dan ruang TV. Ada juga kamar mandi dan ruang laundry. Lumayan besar dan sangat rapi. Setelah menaruh tas, Philipp menawariku minum teh sambil ngobrol ringan di ruang tamu lantai 1. Rumah masih sepi, semua penghuni masih tidur, di luar masih remang.

Hello…

Sekitar sejam kemudian, pasangan Polandia di lantai 2 turun untuk sarapan. Philipp mengenalkan mereka 1 per 1 karena rupanya mereka tidak bisa Bahasa Inggris. Mereka adalah Lukas, sang Leader. Marlina istri Lukas, Filip dan istrinya Carolina, pasangan yang sepertinya lebih muda dari aku. Lukas bisa sedikit bahasa Inggris. (literally, sedikit banget). Mereka menggunakan Bahasa German untuk berbicara dengan Philipp dan menggunakan Bahasa Polandia untuk ngobrol dengan yang lain.

Hari Sabtu biasanya mereka kerja setengah hari, tapi hari itu Philipp memberi mereka hari libur. Sorenya, Lucas mengundangku makan pizza bersama mereka, dia bilang untuk menyambut kedatanganku. Welcome party. Mereka rupanya membuat home made pizza. Topingnya salami (sejenis daging asap yang biasanya terbuat dari daging Keledai) yang ternyata di Swiss mostly terbuat dari babi. Beruntung belum sempat makan karena Philipp sempat memberi tahu jika itu adalah Pork Salami. Kemudian Marlina membuatkan aku pizza dengan topping jamur dan keju. Meski topingnya sederhana tapi rasanya lumayan enak. Philipp tidak ikut pesta karena dia buru-buru ke Zurich untuk nonton konser musik.

Pernah dengar kalau Polish adalah pecinta Vodka, tapi baru itu semeja (itupun terpaksa) dan menyaksikan betapa cintanya mereka dengan Vodka. 4 botol untuk 6 orang, oh iya ada 2 orang lagi Adam dan Dominic yang bekerja di perkebunan sebelah. Music disco Poland diputar lumayan keras, meskipun ga mudeng tapi lumayan enak juga didengar. Setelah 4 botol vodka, mereka masih punya sebotol whiskey. Well, mulanya mereka mengira aku menolak minum Vodka karena tidak suka Vodka, sempat ditawari Wine, Beer ampe Whiskey. Thanks to Google translate, paham juga akhirnya mereka kalau aku tidak minum alkohol jenis apapun. Aku memilih jus apel sahaja.

Mereka ngobrol ngalur ngidul sambil sesekali bernyanyi mengikuti musik yang mereka putar. Lagunya rata-rata house music jedag-jedug. Karena kepo, aku sengaja menggunakan Google translate untuk menterjemahkan perbincangan mereka. Namun gegara 6 orang ngomongnya saling nerocos berbarengan, Google translate-pun jadi error. Setidaknya aku sedikit bisa bertanya atau menjawab bertanyaan mereka. Lumayan, jadi mengurangi roaming.

3 jam berlalu, 4 loyang pizza tinggal bersisa sepotong, tapi mereka masih juga minum. Sekarang ganti campuran whiskey, cola dan jeruk nipis. Jangan tanyakan gimana rasanya, aku juga pingin tau. Hehehehe…

Landscape sekitar rumah Philipp

Pesta pun berlanjut sampe malam, aku pamit tidur jam 9, di lantai bawah masih terdengar music keras dan tawa mereka sampai jam 11-an. Yang bikin surprise paginya mereka bangun lebih awal dari aku, dengan wajah fresh tanpa sisa pesta semalam. Konon katanya, setelah mabuk itu bisa bikin pusing keesokannya.

Penasaran aku bertanya pada Carolina (tentu saja dengan Google translate) berapa banyak dia bisa minum Vodka, dia bilang normalnya per orang bisa minum 2 botol. Dia bilang, pesta semalam cuma main-main aja, bukan pesta beneran. Holaaaaa..??? minum 2 botal air putih saja bisa mabuk mah aku. Aje gile….

Lukas and the gang bekerja di kebun Apel milik Philipp beberapa bulan dalam setahun, biasanya hanya untuk musim panen. Orang Swiss lebih memilih memperkerjakan tetangga sebelah karena gaji untuk pekerja dari negara lain lebih murah. Lebih murah itupun masih jauh lebih tinggi dari standard gaji negara lain. Lea, gadis penggembala dari Jerman yang aku temui di Interlaken bilang kalau di Swiss dia bisa mendapat gaji 20-30% lebih tinggi. 

Bersambung

FRENCH DAILY TABLE MANNER : TEORI VS FAKTA

21 September 2018 adalah ulang tahun Cassion, putra pertama Host WWOOF ku di Perancis. Waktu itu adalah hari ke-3 ku di keluarga ini. Vincent dan Cecile sendiri tidak mengadakan acara apa-apa. Tidak ada acara tiup lilin juga. Kami hanya pergi ke taman kota untuk mengajak Cassion bermain.

taken from wikimedia.org

Keesokan harinya, Vincent bilang ayahnya mengadakan acara makan siang bersama untuk merayakan ulang tahun Cassion. Akupun diundang. 

Ayah Vincent tinggal bersama istrinya (Ibu tiri Vincent) di sebuah apartemen tepat di pusat kota Ales. Bangunan apartment berlantai 5 itu biasa saja dari luar namun ternyata di dalamnya keren banget. Lebih karena pemilik rumah berselera tinggi. Perabot serba putih bersih bersinar seperti di iklan obat pel. Jadi sungkan menginjak lantainya. Berbeda 180 derajat dengan kondisi rumah Vincent. Pantas saja Cecile pernah cerita kalau mertuanya berkunjung, dia mesti bersiap membereskan rumah minimal seminggu sebelumnya. Itupun kadang masih juga dikomentari kalau ada benih selada jatuh ke lantai, bisa tumbuh subur. Ternyata, “semonan”semacam itu ada juga di sono .😝Pada bae!!!

Makan siang itu dihadiri 6 orang, seorang saudara perempuan tiri Vincent yang juga hadir. Meskipun mereka tidak bisa berbahasa Inggris dengan lancar, kami bisa juga ngobrol lumayan seru. Seru-seru lucu karena sering salah paham. Mereka sangat ramah.

Acara makan itu dimulai dengan makanan pembuka yang berupa semacam bunga rebus. Ternyata namanya adalah Artichoke. Artichoke termasuk golongan sayuran yang merupakan tunas bunga Thistle. Bunga ini dipanen sebelum mekar jadi masih berupa kuncup bunga dengan kelopak berlapis-lapis. Cara makannya dengan mengambil bagian kelopak terluar. Bisa langsung dimakan atau dengan saus cuka. Rasanya, seperti daun. 😆. Bagian yang agak berlemak berasa seperti kentang atau ubi. Artichoke ternyata memiliki banyak khasiat, diantaranya untuk pencernaan, hati dan empedu.

Taken from wikipedia.org

Makanan utama yang dimasak hari itu sebenarnya berbahan babi, tapi dengan baik hati mereka menyiapkan makanan khusus untukku yaitu steak daging sapi muda yang juicy banget. Simple hanya dimasak dengan butter dan dibumbui garam merica. (Pingin moto, tapi sungkan).

Setelah makanan utama, menu selanjutnya adalah pencuci mulut berupa manisan buah peach yang rasanya asam agak pahit. Ternyata, masih juga ada makanan penutup lain berupa roti dan keju. Iya, mereka makan keju sebagai dessert. Keju nya jenis keju kambing yang cukup keras. Jadi, aku memilih tidak mencicipi.

Awalnya aku tidak PD ikut jamuan makan itu. Mitosnya table manner ala Prancis itu rempong. Penuh tata krama, sopan santun, kaku etc. Ternyata, pada praktek keseharian, tidak sama sekali. Mungkin iya, jika dilakukan di hotel mewah dalam acara formal. Acara makan siang itu biasa saja, akrab dan tidak cantik sama sekali. Normal seperti acara makan keluarga disini dengan cukup berantakan.

Setelah makan siang, semua ngobrol yang sepertinya membahas Cassion. Menurut Cecile, peraturan no.1 di meja makan keluarga Prancis adalah dilarang membahas politik. Topik yang paling aman adalah membahas makanan. Rupanya, Cecile sedang ada meeting, karena kantornya hanya beberapa puluh meter dari apartement ini, setelah selesai meeting dia menyusul.

Mereka ngobrol yang tak aku pahami 15 menitan, kemudian keluarlah blueberry cheese cake buatan ibu tiri Vincent dan beberapa jenis minuman beralkohol. Mereka bersulang untuk Cassion. Aku minum sirup kayu manis. Lucunya, pas setelah kue habis, Vincent langsung pamit. Tidak ada acara bantu cuci piring atau ngelap meja. Sungkan juga rasanya cuman datang, makan terus langsung pulang. Namun kata Cecile memang begitulah kebiasaan mereka.

Oiya, tentang mengucapkan kata “Bon Appetit”. Kalau di Perancis, bukanlah sebuah kebiasaan yang harus. Mereka mengucapkannya sebelum makan tetapi tidak selalu. Sementara di Swiss, mengucapkan “Bon Appetit” adalah sebuah sopan-santun. Ucapan ini lebih semacam menghormati orang yang sedang makan. Bahkan saat aku membuka bekalku di bangku taman, orang yang lewat di depanku mengucapkan “Bon Appetit”. 

Cutest Station Master in The World : Tama, Kishi Station Master – Wakayama

Saat menjadi WWOOF di Ibe Farm, aku mendapat 2 hari libur. Tentu saja untuk jalan-jalan. Wakayama memang bukan favorite turis, namun ada satu wisata unik dan satu-satunya di Jepang, atau mungkin di dunia.

Jepang memang identik dengan budaya “kawai” (cute). Dari urusan serius sampai yang memang unyu-unyu, Jepang selalu memiliki sisi “kawai”. Nah, cerita yang satu ini unyu banget. Yaitu tentang kepala stasiun yang berbulu dan mengeong. Iya, kepala stasiun itu seekor kucing.

Kishigawa Line, yang melayani stasiun-stasiun kecil di Wakayama, pernah hampir ditutup karena sepi penumpang. Hingga suatu hari, seekor kucing lucu gemuk rajin berkunjung dan menyapa penumpang di stasiun Kishi, Kinokawa, Wakayama. Kucing itu bernama Tama. Kelucuan dan keramahan Tama telah menarik minat ribuan pengunjung dan menghidupkan kembali jalur kereta Kishigawa Line. Karena jasanya itu, Tama diangkat menjadi Super Master Station.

Yokoso Japan Association. Tribunjatim.com 

Station Master Tama telah meninggal di tahun 2015, saat usianya 10 tahun. Jadi saat aku kesana, aku tidak bisa berjabat tangan dengan beliau. Setelah kepergian Tama, ternyata ada penerusnya, dia adalah Nitama. Mereka hampir kembar. Sama imutnya. Sayangnya, aku juga tidak berjodoh dengan Nitama. Hari itu Kamis, beliau sedang libur. Iya, Kucing-pun dapat hak libur kerja.

Sebagai penghargaan, station Kishi di jadikan sebagai Museum Tama. Disana ada berbagai foto dan souvenir bertema Tama.

Selain Museum, Tama juga dijadikan tema untuk kereta Kishigawa Line. Namanya, Tama Densha. Interior kereta ini super kawai serba Tama. Ada juga kereta bertema Strawberry (Ichigo Densha) dan Plum (Umeboshi Densha). Sayangnya (lagi-lagi), saat aku kesana, hanya Umeboshi Densha yang beroperasi. Check schedule itu wajib!

taken from https://matcha-jp.com/en/2989

Tersedia 1 day free passport untuk jalan-jalan menggunakan kereta-kereta imut itu, yang bisa dibeli di stasiun Wakayama, seharga 780yen, unlimited ride. Mau bolak-balik-bolak-balik sampai puas bayar sekali saja.

Interior kereta seperti gambar di atas, asli se-imut-imut itu. Bersih kincong dan relatif sepi. Sayangnya (sayang kesekian) aku lebih banyak mengambil video daripada photo.

Daerah ini memiliki banyak perkebunan strawberry and buah plum. Jika musim panen, tersedia juga wisata petik strawberry.

Bunga Sakura di depan Stasiun
Design a site like this with WordPress.com
Get started