WWOOF TRIP SWITZERLAND : KEBUN APEL ORGANIK DI BERN – PART 1

Welcome Party ala Polska

Trip WWOOF ku yang terakhir adalah di kebun Apel organik di Bern. Philipp, sang tuan rumah adalah petani yang extraordinary banget. Awalnya aku mengira dia serupa Kolonel Sander KFC, Bapak-bapak tua dengan jenggot dan perut buncit. Selama ini aku menghubungi Philipp melalui WhatsApp dan email tapi tidak ada profile pic. yang bisa sedikit mengambarkan seperti apa dia sebenarnnya.

Jadilah aku kaget banget pas dijemput di terminal bis jam 7 pagi yang masih berkabut oleh pria rasta paruh baya kembaran Bob Marley. Sempat salah paham juga karena dia salah sebut namaku dan aku sama sekali tidak mengira sang Kolonel ternyata berambut gimbal. Alhamdulillah setelah dia menyebutkan password Indonesia, semua jadi terang benderang. 

Kebun Apel Philipp sekitar 30 menitan dari Bern Main Station dengan mobil. Sepanjang jalan dia bercerita tentang kondisi rumahnya. Ada 4 keluarga, 2 pasangan dari Polandia yang bekerja di kebun, 1 keluarga teman Philipp yang sedang berlibur dengan anak mereka yang masih umur 7 tahun dan satu lagi keluarga di lantai 3 dengan 2 anak kecil dan ibu hamil.

Philipp sendiri memiliki 3 anak, 1 cewek 19 tahun dan 2 anak lelaki, umur 9 dan 7 tahun. Dari ceritanya aku menyimpulkan dia tidak menikah. Saat itu hanya ada Malik yang paling kecil, sementara kakak-kakaknya sedang liburan ke Barcelona. Philipp sebenarnya tidak tinggal di rumah itu, hanya beberapa minggu sebulan dan selalu berakhir pekan di luar kota Bern. Sore ini dia bilang akan ke Zurich untuk menonton konser music DJ favoritnya.

Typical rumah Swiss di pedesan terbuat dari kayu. Lumayan besar dengan 3 lantai. Sebelah rumah utama adalah rumah besar yang dijadikan gudang penyimpanan apel sekaligus pabrik pembuatan jus. Masih ingat wangi aroma apel dari dalam gudang.

Kamar untuk WWOOFer di rumah Philipp, sederhana namun nyaman dan bersih

Sesampainya di rumah, Philipp menujukkan kamarku, di lantai 2 rumah utama. Di lantai ini ada 3 kamar, 2 untuk pasangan Polandia, kamarku dan ruang TV. Ada juga kamar mandi dan ruang laundry. Lumayan besar dan sangat rapi. Setelah menaruh tas, Philipp menawariku minum teh sambil ngobrol ringan di ruang tamu lantai 1. Rumah masih sepi, semua penghuni masih tidur, di luar masih remang.

Hello…

Sekitar sejam kemudian, pasangan Polandia di lantai 2 turun untuk sarapan. Philipp mengenalkan mereka 1 per 1 karena rupanya mereka tidak bisa Bahasa Inggris. Mereka adalah Lukas, sang Leader. Marlina istri Lukas, Filip dan istrinya Carolina, pasangan yang sepertinya lebih muda dari aku. Lukas bisa sedikit bahasa Inggris. (literally, sedikit banget). Mereka menggunakan Bahasa German untuk berbicara dengan Philipp dan menggunakan Bahasa Polandia untuk ngobrol dengan yang lain.

Hari Sabtu biasanya mereka kerja setengah hari, tapi hari itu Philipp memberi mereka hari libur. Sorenya, Lucas mengundangku makan pizza bersama mereka, dia bilang untuk menyambut kedatanganku. Welcome party. Mereka rupanya membuat home made pizza. Topingnya salami (sejenis daging asap yang biasanya terbuat dari daging Keledai) yang ternyata di Swiss mostly terbuat dari babi. Beruntung belum sempat makan karena Philipp sempat memberi tahu jika itu adalah Pork Salami. Kemudian Marlina membuatkan aku pizza dengan topping jamur dan keju. Meski topingnya sederhana tapi rasanya lumayan enak. Philipp tidak ikut pesta karena dia buru-buru ke Zurich untuk nonton konser musik.

Pernah dengar kalau Polish adalah pecinta Vodka, tapi baru itu semeja (itupun terpaksa) dan menyaksikan betapa cintanya mereka dengan Vodka. 4 botol untuk 6 orang, oh iya ada 2 orang lagi Adam dan Dominic yang bekerja di perkebunan sebelah. Music disco Poland diputar lumayan keras, meskipun ga mudeng tapi lumayan enak juga didengar. Setelah 4 botol vodka, mereka masih punya sebotol whiskey. Well, mulanya mereka mengira aku menolak minum Vodka karena tidak suka Vodka, sempat ditawari Wine, Beer ampe Whiskey. Thanks to Google translate, paham juga akhirnya mereka kalau aku tidak minum alkohol jenis apapun. Aku memilih jus apel sahaja.

Mereka ngobrol ngalur ngidul sambil sesekali bernyanyi mengikuti musik yang mereka putar. Lagunya rata-rata house music jedag-jedug. Karena kepo, aku sengaja menggunakan Google translate untuk menterjemahkan perbincangan mereka. Namun gegara 6 orang ngomongnya saling nerocos berbarengan, Google translate-pun jadi error. Setidaknya aku sedikit bisa bertanya atau menjawab bertanyaan mereka. Lumayan, jadi mengurangi roaming.

3 jam berlalu, 4 loyang pizza tinggal bersisa sepotong, tapi mereka masih juga minum. Sekarang ganti campuran whiskey, cola dan jeruk nipis. Jangan tanyakan gimana rasanya, aku juga pingin tau. Hehehehe…

Landscape sekitar rumah Philipp

Pesta pun berlanjut sampe malam, aku pamit tidur jam 9, di lantai bawah masih terdengar music keras dan tawa mereka sampai jam 11-an. Yang bikin surprise paginya mereka bangun lebih awal dari aku, dengan wajah fresh tanpa sisa pesta semalam. Konon katanya, setelah mabuk itu bisa bikin pusing keesokannya.

Penasaran aku bertanya pada Carolina (tentu saja dengan Google translate) berapa banyak dia bisa minum Vodka, dia bilang normalnya per orang bisa minum 2 botol. Dia bilang, pesta semalam cuma main-main aja, bukan pesta beneran. Holaaaaa..??? minum 2 botal air putih saja bisa mabuk mah aku. Aje gile….

Lukas and the gang bekerja di kebun Apel milik Philipp beberapa bulan dalam setahun, biasanya hanya untuk musim panen. Orang Swiss lebih memilih memperkerjakan tetangga sebelah karena gaji untuk pekerja dari negara lain lebih murah. Lebih murah itupun masih jauh lebih tinggi dari standard gaji negara lain. Lea, gadis penggembala dari Jerman yang aku temui di Interlaken bilang kalau di Swiss dia bisa mendapat gaji 20-30% lebih tinggi. 

Bersambung

FRENCH DAILY TABLE MANNER : TEORI VS FAKTA

21 September 2018 adalah ulang tahun Cassion, putra pertama Host WWOOF ku di Perancis. Waktu itu adalah hari ke-3 ku di keluarga ini. Vincent dan Cecile sendiri tidak mengadakan acara apa-apa. Tidak ada acara tiup lilin juga. Kami hanya pergi ke taman kota untuk mengajak Cassion bermain.

taken from wikimedia.org

Keesokan harinya, Vincent bilang ayahnya mengadakan acara makan siang bersama untuk merayakan ulang tahun Cassion. Akupun diundang. 

Ayah Vincent tinggal bersama istrinya (Ibu tiri Vincent) di sebuah apartemen tepat di pusat kota Ales. Bangunan apartment berlantai 5 itu biasa saja dari luar namun ternyata di dalamnya keren banget. Lebih karena pemilik rumah berselera tinggi. Perabot serba putih bersih bersinar seperti di iklan obat pel. Jadi sungkan menginjak lantainya. Berbeda 180 derajat dengan kondisi rumah Vincent. Pantas saja Cecile pernah cerita kalau mertuanya berkunjung, dia mesti bersiap membereskan rumah minimal seminggu sebelumnya. Itupun kadang masih juga dikomentari kalau ada benih selada jatuh ke lantai, bisa tumbuh subur. Ternyata, “semonan”semacam itu ada juga di sono .😝Pada bae!!!

Makan siang itu dihadiri 6 orang, seorang saudara perempuan tiri Vincent yang juga hadir. Meskipun mereka tidak bisa berbahasa Inggris dengan lancar, kami bisa juga ngobrol lumayan seru. Seru-seru lucu karena sering salah paham. Mereka sangat ramah.

Acara makan itu dimulai dengan makanan pembuka yang berupa semacam bunga rebus. Ternyata namanya adalah Artichoke. Artichoke termasuk golongan sayuran yang merupakan tunas bunga Thistle. Bunga ini dipanen sebelum mekar jadi masih berupa kuncup bunga dengan kelopak berlapis-lapis. Cara makannya dengan mengambil bagian kelopak terluar. Bisa langsung dimakan atau dengan saus cuka. Rasanya, seperti daun. 😆. Bagian yang agak berlemak berasa seperti kentang atau ubi. Artichoke ternyata memiliki banyak khasiat, diantaranya untuk pencernaan, hati dan empedu.

Taken from wikipedia.org

Makanan utama yang dimasak hari itu sebenarnya berbahan babi, tapi dengan baik hati mereka menyiapkan makanan khusus untukku yaitu steak daging sapi muda yang juicy banget. Simple hanya dimasak dengan butter dan dibumbui garam merica. (Pingin moto, tapi sungkan).

Setelah makanan utama, menu selanjutnya adalah pencuci mulut berupa manisan buah peach yang rasanya asam agak pahit. Ternyata, masih juga ada makanan penutup lain berupa roti dan keju. Iya, mereka makan keju sebagai dessert. Keju nya jenis keju kambing yang cukup keras. Jadi, aku memilih tidak mencicipi.

Awalnya aku tidak PD ikut jamuan makan itu. Mitosnya table manner ala Prancis itu rempong. Penuh tata krama, sopan santun, kaku etc. Ternyata, pada praktek keseharian, tidak sama sekali. Mungkin iya, jika dilakukan di hotel mewah dalam acara formal. Acara makan siang itu biasa saja, akrab dan tidak cantik sama sekali. Normal seperti acara makan keluarga disini dengan cukup berantakan.

Setelah makan siang, semua ngobrol yang sepertinya membahas Cassion. Menurut Cecile, peraturan no.1 di meja makan keluarga Prancis adalah dilarang membahas politik. Topik yang paling aman adalah membahas makanan. Rupanya, Cecile sedang ada meeting, karena kantornya hanya beberapa puluh meter dari apartement ini, setelah selesai meeting dia menyusul.

Mereka ngobrol yang tak aku pahami 15 menitan, kemudian keluarlah blueberry cheese cake buatan ibu tiri Vincent dan beberapa jenis minuman beralkohol. Mereka bersulang untuk Cassion. Aku minum sirup kayu manis. Lucunya, pas setelah kue habis, Vincent langsung pamit. Tidak ada acara bantu cuci piring atau ngelap meja. Sungkan juga rasanya cuman datang, makan terus langsung pulang. Namun kata Cecile memang begitulah kebiasaan mereka.

Oiya, tentang mengucapkan kata “Bon Appetit”. Kalau di Perancis, bukanlah sebuah kebiasaan yang harus. Mereka mengucapkannya sebelum makan tetapi tidak selalu. Sementara di Swiss, mengucapkan “Bon Appetit” adalah sebuah sopan-santun. Ucapan ini lebih semacam menghormati orang yang sedang makan. Bahkan saat aku membuka bekalku di bangku taman, orang yang lewat di depanku mengucapkan “Bon Appetit”. 

Cutest Station Master in The World : Tama, Kishi Station Master – Wakayama

Saat menjadi WWOOF di Ibe Farm, aku mendapat 2 hari libur. Tentu saja untuk jalan-jalan. Wakayama memang bukan favorite turis, namun ada satu wisata unik dan satu-satunya di Jepang, atau mungkin di dunia.

Jepang memang identik dengan budaya “kawai” (cute). Dari urusan serius sampai yang memang unyu-unyu, Jepang selalu memiliki sisi “kawai”. Nah, cerita yang satu ini unyu banget. Yaitu tentang kepala stasiun yang berbulu dan mengeong. Iya, kepala stasiun itu seekor kucing.

Kishigawa Line, yang melayani stasiun-stasiun kecil di Wakayama, pernah hampir ditutup karena sepi penumpang. Hingga suatu hari, seekor kucing lucu gemuk rajin berkunjung dan menyapa penumpang di stasiun Kishi, Kinokawa, Wakayama. Kucing itu bernama Tama. Kelucuan dan keramahan Tama telah menarik minat ribuan pengunjung dan menghidupkan kembali jalur kereta Kishigawa Line. Karena jasanya itu, Tama diangkat menjadi Super Master Station.

Yokoso Japan Association. Tribunjatim.com 

Station Master Tama telah meninggal di tahun 2015, saat usianya 10 tahun. Jadi saat aku kesana, aku tidak bisa berjabat tangan dengan beliau. Setelah kepergian Tama, ternyata ada penerusnya, dia adalah Nitama. Mereka hampir kembar. Sama imutnya. Sayangnya, aku juga tidak berjodoh dengan Nitama. Hari itu Kamis, beliau sedang libur. Iya, Kucing-pun dapat hak libur kerja.

Sebagai penghargaan, station Kishi di jadikan sebagai Museum Tama. Disana ada berbagai foto dan souvenir bertema Tama.

Selain Museum, Tama juga dijadikan tema untuk kereta Kishigawa Line. Namanya, Tama Densha. Interior kereta ini super kawai serba Tama. Ada juga kereta bertema Strawberry (Ichigo Densha) dan Plum (Umeboshi Densha). Sayangnya (lagi-lagi), saat aku kesana, hanya Umeboshi Densha yang beroperasi. Check schedule itu wajib!

taken from https://matcha-jp.com/en/2989

Tersedia 1 day free passport untuk jalan-jalan menggunakan kereta-kereta imut itu, yang bisa dibeli di stasiun Wakayama, seharga 780yen, unlimited ride. Mau bolak-balik-bolak-balik sampai puas bayar sekali saja.

Interior kereta seperti gambar di atas, asli se-imut-imut itu. Bersih kincong dan relatif sepi. Sayangnya (sayang kesekian) aku lebih banyak mengambil video daripada photo.

Daerah ini memiliki banyak perkebunan strawberry and buah plum. Jika musim panen, tersedia juga wisata petik strawberry.

Bunga Sakura di depan Stasiun

WWOOF TRIP FRANCE : LADANG SAYUR ORGANIK DI BAGARD

Tujuan WWOOF ku selanjutnya adalah ladang sayur organik di Bagard, Perancis. 

Bagard adalah komune, semacam desa kecil di Departemen Gard, Occitanie, Prancis Selatan. Perjalanan dari Swiss lumayan panjang penuh cerita, termasuk drama ngemper dini hari di pinggiran stasiun Lyon. Kala itu aku menggunakan Flixbus dari Interlaken-Milan-Lyon-Nimes-Ales-Bagard. Perjalanan hampir 24 jam dengan 2 kali transit di Milan dan Lyon. Sekali lagi, atas nama penghematan budget.

Untuk alternatif transportasi yang lebih murah di Eropa, bus memang pilihan terbaik. Yang pernah aku coba adalah Flixbus dan Eurolines. Rute bus hampir menjangkau seluruh wilayah Eropa, antar kota, antar negara. Tiket bisa dipesan online, kita hanya perlu menunjukkan code QR untuk di-scan saat naik. Tersedia aplikasinya untuk di-download. 

Bus memang lebih murah, namun kurang ramah lingkungan. Sebagai kompensasi terhadap emisi CO2 yang dihasilkan oleh penggunaan bus, Flixbus mengenakan biaya tambahan sekitar 0,57Euro yang sifatnya optional. Hanya sekitar Rp. 10.000 kok.

Bus dari Lyon, hanya sampai di Nimes, aku harus menggunakan kereta untuk menuju Ales. Ternyata, bus central Nimes dan stasiun kereta agak berjauhan, sekitar 3Km. Karena tidak ada wifii aku tidak bisa menggunakan Google Map. 

Saat itu di terminal bus sangat sepi, hanya ada seorang bapak-bapak yang baru turun dari mobilnya. Aku sok akrab menyapa untuk bertanya rute jalan kaki ke stasiun. Sang Bapak kemudian membuka Google Map dan berusaha menjelaskan padaku dengan bahasa Inggris logat Prancis. Namun kemudian dia malah mengajakku naik mobil. Beliau mengantarku ke stasiun. Kesan pertama yang sangat manis di Nimes.

Aku sudah memesan tiket kereta ke Ales melalui internet. Nimes-Ales hanya 30 menit tiket seharga 5Euro. Harga tiket selalu berubah-ubah, kurang tau kenapa. Pas rute balik aku dapat tiket seharga 9Euro. Aku sudah mengirim SMS ke hostku, Vincent yang akan menjemputku di Stasiun Ales. 

Sampai di Ales jam 2 siang, namun aku tak melihat seorang lelaki dengan ciri-ciri yang disampaikan Vincent. Menunggu 15 menit, 30 menit, aku mulai khawatir jika ada yang salah. Namun kemudian sebuah mobil Van kuning (Van Kuning DHL) berhenti di parkiran stasiun. Seorang lelaki usia 40an turun dan berjalan ke arahku. Kami bersalaman, ngobrol sebentar, kemudian Vincent membantuku memaruh barang bawaan di mobil.

Dari stasiun Ales ke Bagard, rumah Vincent hanya sekitar 20 menit. Bentang alam Bagard berupa bukit dengan tumbuhan perdu. Berasa kaya di Mesir atau Arab. Banyak ladang Zaitun dan Anggur. Saat itu musim gugur, namun matahari masih terik, suhu masih sekitar 30an Celcius. Panas. Wilayah ini masuk area taman nasional Cavannes.

Vincent adalah seorang petani sayuran organik. Dia awalnya adalah seorang Quality Control Staff di perusahaan Farmasi di Montpellier, dengan latar belakang pendidikan medis dan farmasi. Dia memutuskan berhenti setelah 8 tahun bekerja. Tahun 2018 kemarin adalah tahun ke-9 nya menjadi petani setelah resign. Vincent tinggal bersama Cecile, pasangannya. Vincent memperkenalkan Cecile dengan penekanan sebagai partner, bukan Istri karena mereka tidak menikah. Pas setahun lalu, putra pertama mereka lahir. Namanya Cassion.

Cecile adalah seorang wanita karir yang sangat ramah dan cerdas. Dia memiliki latar belakang pendidikan ilmu komunikasi, sastra dan bahasa Arab. Cecile bekerja di kantor komune, semacam kantor kecamatan atau kantor desa. Tugasnya mengurusi isu sosial dan mengajukan proposal untuk pembangunan komune. Karena itu dia sering bertemu pejabat pemerintah dan sangat peka terhadap isu sosial politik. Ngobrol dengan Cecile tentang apa saja adalah bagian yang paling aku nikmati saat menjadi WWOOFer disini. 

Kebun organik Vincent memproduksi kentang, bit, wortel, tomat, berbagai jenis selada, bawang bombay berbagai jenis, labu, semangka, melon, paprika, terong. Hasil panen dijual di toko khusus produk organik dan juga melalui order online.

Aku tinggal di keluarga ini selama 7 hari, dengan 2 hari libur. Sabtu Minggu kebun tutup. Pekerjaan yang aku lakukan antara lain panen tomat, panen paprika, panen bit, menanam selada, memilah bawang bombay untuk dijual dan membersihkan labu panen bulan lalu yang berdebu. Jam kerja lumayan pendek, dari jam 8-12 setelah makan siang aku bebas mau ngapain aja. 

Keluarga kecil itu normal seperti keluarga-keluarga kecil disini. Aku tidak merasakan culture shock yang cukup berarti. Yang unik justru tentang posisi Vincent sebagai suami yang lebih banyak mengurusi pekerjaan rumah dari pada sang istri. Memasak, laundry, beres-beres maupun momong sepertinya sudah diambil alih Vincent. Awalnya itu adalah pemandangan yang aneh bagiku, melihat suami masak sementara istri ngobrol, terus pas anak kebangun juga suami yang nyamperin duluan. Tapi bagi Vincent sendiri, itu hal biasa dan tidak ada yang aneh.

Senang melihat pasangan ini yang saling support. Vincent bilang, Cecile sangat mendukung karirnya sebagai petani organik. Di tahun pertama menjadi petani, Vincent hanya memperoleh penghasilan sekitar 1000Euro (17 juta-an, selama setahun). Namun Cecile dan keluarga Vincent terus mendukungnya baik secara moral maupun financial, hingga sekarang dia cukup sukses dengan penghasilan cukup. 

Cassion adalah bayi lucu dengan mata teduh. Sadar diri tak punya pengalaman momong bayi, aku awalnya takut main dengan Cassion. Dia baru belajar berjalan saat itu. Namun ternyata, pas pertama ketemu dia langsung nyaman bersamaku. Waktu itu Cassion sedang menangis karena kepentok pintu. Ditenangkan oleh ayahnya gagal, namun pas aku coba menyapa dia langsung diam dan minta gendong. 

Rutinitas keluarga kecil itu dimulai jam 7 pagi, Vincent bangun lebih dulu kemudian menyiapkan sarapan. Setelah selesai sarapan kemudian menyiapkan keperluan Cassion untuk dititipkan ke nanny. Susu, makanan bayi dan baju. Disaat Vincent menyiapkan barang-barang Cassion, aku dan Cecile masih asyik sarapan sambil ngobrol. Jam 8 pagi, Cecile membawa Cassion bersamanya untuk dititipkan, karena kantor Cecil dekat dengan rumah nanny. Sementara Vincent mulai pergi ke kebun. 

Jam makan siang di Perancis adalah jam 12-2 siang. Di jam itu rata-rata toko atau kantor tutup. Biasanya Vincent menyiapakan makan siang jam 1 siang. Jam 5 sore, tugas menjemput Cassion adalah bagian Vincent. Sampai di rumah, Cassion punya waktu 2-3 jam untuk main sekaligus makan malam. Semua mainanya adalah mainan edukatif dari bahan organik

Vincent biasanya mengawasi Cassion bermain sambil menyiapkan makan malam. Berhubung nyambi momong, sering kali jam makan malam molor sampai jam 10. Krucuk krucuk.

Di keluarga ini aku lebih banyak belajar tentang ilmu rumah tangga dari pada ilmu pertanian. Ternyata tidak peduli kewarganegaraan, masalah keluarga masih sama saja. Suatu malam, aku menyaksikan mereka bertengkar. Saat itu seharusnya jam makan malam. Vincent sudah masak, makanan siap di meja. Aku sudah kelaparan tingkat akut, tapi sang tuan rumah sedang bertengkar di kamar mereka. Terjebak pada moment seperti itu rasanya sedih sekaligus konyol. Sampai jam 11 malam, pertengkaran mereka belum selesai, karena makin tidak nyaman dan ngantuk, aku memilih tidur. Sempat parno juga kalau-kalau pertengkaran itu jadi berlanjut ke KDRT saking serunya. Alhamdulillah, enggak. Keesokan harinya mereka sudah berbaikan bahkan meminta maaf padaku atas kejadian semalam. Lega,  

Di hari terakhirku bersama keluarga ini Cecile mengajakku mengunjungi sebuah desa cantik bernama Anduze yang ternyata hanya 15 menit dengan mobil dari rumah. Desa ini benar-benar indah dan memang menjadi tujuan wisata yang masuk wilayah taman nasional Cevennez. Disana banyak hotel dan restoran. OK, wish list untuk honeymoon

Taken from Flickr by Mantis of Destiny

Keluarga Vincent sangat ramah dan openminded, bahkan aku juga dikenalkan pada Ayah dan Ibu tirinya, sempat diundang makan siang bareng juga. Cecile adalah teman curhat yang menyenangkan dan bijak. Yang paling bikin kangen tentu saja senyum dan kecupan Cassion.

WWOOF TRIP JAPAN : KEBUN JERUK DI WAKAYAMA

Ini merupakan trip WWOOF ku yang pertama.

Request WWOOF ku disambut dengan sangat cepat dan ramah oleh Hiro San di Ibe Farm, kebun jeruk organik Keluarga Ibe di Prefecture Wakayama, Kansai Jepang. Dari Bandara Kansai sekitar 1 jam dengan mobil, saat itu aku dijemput oleh Hiro san dan istrinya di bandara Kansai. Kesan pertama yang sangat manis.

Keluarga Ibe terdiri dari Hiro San, Sachi-San istrinya dan Obaa-Chan. Obaa-Chan adalah Ibu Hiro San, sekaligus pemilik Ibe farm secara turun temurun. Saat itu, usia beliau sekitar 85 tahun, namun masih sehat dan kuat melakukan pekerjaan ringan.

Akomodasi bagi WWOOF yang mereka sediakan adalah kamar di lantai 2 rumah Obaa-Chan yang baru selesai direnovasi. Rumah bergaya Jepang Modern, material didominasi kayu dengan fasilitas modern. Full Wifii, Bathtub plus kursi pijat punya Obaa-chan yang sering dipinjamkan untukku. Aku akan tinggal bersama keluarga ini selama 7 hari.

Kala itu, awal Maret 2018, sedang peralihan musim dingin ke musim semi. Jeruk-jeruk sedang ranum-ranumnya. Aku sangat beruntung, pengalaman pertama WWOOF sendiri, dapat Host yang super baik, akomodasi yang super nyaman, dan makanan enak plus halal. Pekerjaan pun sangat simple, cuman petik jeruk.

Sesaat setelah sampai rumah, aku diberi semacam jadwal oleh Hiro San, Orang Jepang memang super disiplin.

  • 07:00 pagi sarapan, self service, ada roti dan susu
  • 07:30 mulai bekerja
  • 09:30 Coffee Break
  • 10:00-12:00 Kembali bekerja
  • 12:00-13:00 Makan siang dan istirahat. Setelahnya bebas

Setelah memberi briefing tentang jadwalku, Hiro San dan Sachi San menunjukkan kamarku, dan menjelaskan secara singkat tentang isi rumah. Kemudian memberiku APD (Alat Pengaman Diri) untuk bekerja yang terdiri dari sepatu boots, jaket dan celana anti air, sarung tangan, dan topi pelindung. Orang Jepang itu memang luar biasa. Budaya safety mendarah daging diterapkan sampai ke level-level paling sederhana dalam keseharian mereka. Salut!

Pagi pertama hari itu, aku diajari cara memetik jeruk. Cukup memotong tangkainya dengan gunting, masukkan ke keranjang pelan pelan agar tidak rusak. Sesimple itu. Kebun jeruk Ibe, berdekatan dengan kebun-kebun jeruk warga lain yang sebagian besar masih menggunakan obat-obatan. Oleh karena itu, yang murni organik hanya pohon-pohon yang berada di tengah kebun. Jeruk-jeruk itu dipisahkan dengan yang kemungkinan terpapar obat-obatan dari kebun sebelah. Kejujuran Jepang memang jaminan mutu.

Yang paling berkesan dari keluarga Ibe adalah keramahan, kehangatan dan makanan masakan Sachi-San yang luar biasa. Bukan Sushi atau ramen. A lot more than that. Sebelumnya, mereka sudah mengetahui kalau aku Muslim, jadi tidak menyajikan babi. Terharu. Coba tengok menu makananku selama disana:

Di keluarga ini, aku lebih banyak membantu makan dari pada membantu metik jeruk. Seriusan, kenyang, sehat, sejahtera.

Hiro San bilang, sangat senang ada WWOOFer yang mau mengunjungi kebunnya. Selain membantu pekerjaannya, juga untuk menemani Obaa-Chan, menjalin persaudaraan dan berbagi ilmu. Masalah klasik di Jepang, banyak lansia yang kesepian.

Dapur idaman

Wakayama adalah salah satu prefektur penghasil Jeruk terbesar di Jepang. Di sini, semua rumah punya pohon jeruk, kebun, gunung-gunung juga penuh tanaman jeruk. Di Ibe Farm sendiri, selain untuk buah segar, jeruk diolah menjadi jus dan selai. Aku mendapat pelajaran membuat selai dari Sachi-san, hasilnya diberikan padaku sebagai oleh-oleh. Baik sekali kan….

Selai Jeruk buatan Sachi San

Oktober 2019 kemarin, aku mendapat kabar bahwa Obaa-Chan telah berpulang. Aku masih ingat betapa baik beliau. Meminjamiku kursi pijatnya, meminjamkan jaketnya karena kuatir aku kedinginan. Senyum dan kehangatan sikapnya akan selalu hidup dalam kenanganku. Meskipun terbatas bahasa, kami masih bisa ngobrol dan tertawa bersama.

Terima kasih keluarga Ibe, pengalaman pertama WWOOF yang sangat melekat dalam hati. Mereka bener-benar menunjukan keaslian keramah-tamahan Jepang. Omotenashi. Bagi kalian yang baru mau nyobain #WWOOFJapan aku sangat merekomendasikan keluarga ini.

Strasbourg : Kota tua yang awet cantik

La Petite France

Strasbourg adalah kota kecil di wilayah Timur Perancis, dulunya di sebut Alsace. Letaknya berdekatan dengan negara Swiss, Luxembourg dan Jerman. Aku memilih kota ini sekedar untuk transit sebelum menuju Bern. Letaknya strategis, jika menuju negara-negara sebelahnya, relatif dekat. Dari sini menuju Bern, hanya sekitar 4 jam dengan bus. Saat itu, aku menuju Strasbourg dari Paris dengan Flixbus. Waktu tempuh sekita 6 jam, tiket seharga 12 Euro. Berangkat dari Paris, Bercy Seine Terminal jam 11 malam, sampai di terminal Flixbus Strasbourg jam 5 pagi.

Tujuan utamaku mampir sini adalah kota tuanya yang di sebut “La Petite France”. Wilayah Alsace, selain Strasbourg juga ada Colmar sangat dikenal dengan ciri khas bangunan dan rumah-rumah berbingkai kayu yang masih terjaga baik. Gaya bangunan ini dipengaruhi oleh arsitektur Jerman, yang memang berdekatan secara geografis. 

Kecantikan bangunan di daerah Alsace, bahkan menginspirasi setting film Disney Beauty and The Beast. Pada December, kota ini terkenal dengan pasar Natalnya yang meriah. Mungkin ada yang pernah ingat, pada tahun 2018 kemarin, ada tragedi penembakan oleh teroris yang menewaskan beberapa orang di kota ini. Sedih ya, padahal kota ini kota yang damai. Aku menyaksikan beragaman masyarakatnya yang indah.

Pic. taken from internet

Kesan pertama saat sampai di kota ini, tenang dan bersih. Rasanya jetleg dengan keriuhan Paris.  Jalanan sepi, rapi dan banyak pepohonan. Hotel yang aku booking melalui booking.com terletak di dekat stasiun central Strasbourg yang bisa ditempuh dengan jalan kaki. 4km, ok lah..

Kota ini dilalui sungai besar, yang bersumber dari Swiss, sungai Reine. Aku memilih mengikuti alur sungai. Aliran sungai cukup deras, air jernihnya memantulkan cahaya matahari pagi yang baru bangun. What a calm city. Post Paris Syndrome, setelah mengunjungi Paris semua kota serasa kecil dan sepi, saking ramenya disana. Baru setengah jalan, mataku menangkap sesuatu yang sangat familiar. Sebuah kubah Masjid gede berwarna hijau. Iya, benar itu sebuah masjid. Terletak di perempatan jalan besar, bangunan masjid ini megah dengan area parkir luas. Aku terkagum… bukan tipikal masjid di negara Non Muslim yang biasanya bangunan kecil atau nyempil. Masjid ini sebesar masjid Agung di Jakarta. 

Cukup impressed dengan fakta bahwa ternyata di Strasbourg cukup banyak Muslim. Wilayah sekitar Masjid adalah semacam kampung Arab, banyak sekali resto Halal berjajar sepanjang jalan yang kulalui menuju hotel.

Aku cukup puas dengan kamar hotel, dengan harga 400rb semalam, dapat kamar single itu lumayan banget di Eropa. Biasanya mah cuman dapat dormitori. Kamar mandi sharing perlantai, ada 1 kamar mandi dan 2 toilet. Yang aku sayangkan hanya tidak ada fasilitas dapur umum, bahkan tidak ada kattle untuk sekedar merebus air. Huwaaa…… lesson to learn. Penting banget untuk teliti mengenai fasilitas hotel. Bagi budget traveler, dapur itu penting banget. 

Strasbourg Central Station, hanya 10 menit jalan kaki dari hotel. Stasiun ini bergaya megah, futuristic. Keren dah pokoknya. Petite France ternyata tidak begitu jauh dari central station, 15 menitan lah. Seluruh wilayah wisata kota ini bisa dan memungkinkan untuk ditempuh dengan jalan kaki. Kalau ga pelit2 banget kaya aku, bisa naik tram yang beroperasi hingga jam 12 malam. Kota ini sangat simple and convenient.

Benar, bangunan-bangunan tua disini benar-benar cantik. Nuansa negeri dongeng banget. Sayang, kamera HP ku tak cukup cangih untuk membidik kecantikan kota ini. Sungai jernih dan bersih membelah kota, bunga-bunga dan cafe-cafe dimana-mana. Tersedia wisata cruising sepanjang sungai dengan speedboat dan kapal. Kebayang gimana romantisnya malam-malam pegangan tangan dengan suami menyusuri tiap sudut kota ini.

Strasbourg Cathedral adalah landmark yang wajib ditengok juga. Arsitekturnya mirip Notre Dome.  

Setelah itu, jalan-jalan menyusuri pinggiran sungai yang asri aku menemukan banyak spot2 menarik sampai di gedung Perlemen Uni Eropa. Ya, ternyata (atau hanya aku yang baru tau), Strasbourg adalah ibu kota Uni Eropa. Disini berdiri megah kompleks gedung parlemen yang super keren dan futuristik. Sekitar gedung ini penuh taman luas dan rindang, Parc de Orange namanya. Ada juga taman yang cukup terkenal, Le Jardin des Deux Rives. Ada Jembatan super cantik disana. Sayang aku tak punya cukup waktu untuk kesana karena letaknya berada di luar area pusat kota.

Segala macam makanan ada disini. Ada resto Arab, Afrika, China juga. Resto Halal tak sulit ditemui. Jika ada waktu panjang di Strasbourg  bisa sekalian mampir Colmar yang sama cantiknya, hanya sekitar 30an menit dengan kereta dari Central Station. 

Bagi yang suka belanja, banyak sekali toko souvenir. Butik merk-merk baju terkenal bisa juga ditemui disini. Aku sempat tertarik untuk masuk sebuah toko buku, dan menemukan novel Pramoedya “Bumi Manusia” edisi Perancis disini. Bangga.

Strasbourg melebihi ekspektasiku. 2 hari yang berkesan di Strasbourg. Aku akan kembali bersama suamiku. Aamiin…

Mampir di Lauterbrunnen : Salah satu desa tercantik di dunia

Lauterbrunnen adalah next stop-ku setelah WWOOFing pertama. Aku memilih Lauterbrunnen karena dekat dengan Interlaken, hemat ongkos. Naik kereta dari Interlaken Ost cuman 20 menit, tiket ketengan seharga 7.6 CHF (sekitar Rp 106.400 dengan rate 14.000).

Lauterbrunnen

Lauterbrunnen terkenal dengan pemandangan alam yang super kece. Diapit oleh tebing gunung dan memiliki banyak air terjun keren yang jatuh langsung dari tebing dipinggiran lembah. Kabarnya total ada 70-an air terjun. Pernah baca kalau desa ini adalah salah satu yang paling cantik di dunia. Landscape alamnya, kalau dilihat-lihat mirip Ngarai Sianok di Sumatra. Bedanya cuman Ngarai Sianok tidak punya gunung salju.

Wilayah ini berdekatan dengan Jungfrau yang merupakan primadona turis asing. Jungfrau adalah puncak tertinggi Swiss yang bisa dikunjungi. Pemandangan di atas spektakuler penuh salju (dari cover brosurnya). Ada akses cable car jadi tidak perlu cape-cape mendaki. Cuman perlu bayar tiket yang muahat banget. Lucunya, 2 orang asli Swiss yang aku kenal, belum pernah dan tidak berminat ke Jungfrau. Mahal!

Transportasi untuk menjangkau daerah lain dari Lauterbrunnen tersedia kereta, bus dan cable car. Recommended banget selain ke Jungfrau juga ke Grindelwald dan Wengen. View di Grindelwald juga keren banget.

Ini adalah sebuah lembah, desa jadi ga begitu ramai dan ga ada mall. Fasilitas cukup memadai. Restaurant, hotel, toko souvenir, minimarket gampang dijumpai. Sebagai lokasi wisata yang cukup terkenal, tarif hotel masih terbilang terjangkau. Waktu itu aku menginap di Valey Hostel yang lokasinya PW banget. Dekat stasiun, gampang dicari, super bersih dan memiliki fasilitas lengkap untuk backpacker. Tarif permalam untuk kamar dormitori sekitar Rp. 600.000.

Banyak juga hotel berbintang, camping ground dan rumah yang disewakan untuk turis. Semua rumah bergaya pedesaan Swiss, dari kayu dengan banyak bunga warna warni. Cantik.

Aku menginap 3 malam di Valey Hostel. Nah, biasanya tiap nginep di dormitori, aku selalu milih woman only. Tapi pas booking di Valey Hostel tidak tersedia kamar khusus cewek. Sempat parno juga pengalaman pertama nginep di dormitori campuran. Beruntungnya saat itu kamar yang berisi 8 bed hanya terisi 2 di malam pertama, aku dan seorang pelajar dari Singapore. Malam kedua datang 2 cewek dari Bangladesh. Yes, mayoritas cewek. Aman.

Malam terakhir, full house. 5 cowok rombongan datang, 2 dari USA 3 lainnya dari Australia, Itali dan Perancis. Cowok Singapore check out kemarin.

Ternyata semua roommate ku ramah dan sopan sekali. Kami sempat ngobrol dan berbagi cerita saat makan malam, berbagi alamat e-mail juga. Si cowok Itali malah sempat pamer keahlian masak pasta. Al dente..!!! Katanya, mitos cowok Perancis itu paling romantis adalah salah. Italians do it better!. Kalau menurutku sih bukan romantis, tapi nggombal. Yang paling aku syukuri adalah ternyata tidak ada penghuni yang ngorok. Padahal pas tidur di dormitori cewek, hampir selalu ada yang ngorok.

Valley Hostel

Di hostel ini juga aku ketemu Mba Yuni yang menghibahkan bekal makanan. Ketemu Mbak-Mbak ruame buanget dari Aceh yang sedang holiday trip. Dia lagi sekolah S2 di Belanda. Saking cintanya sama Belanda, jaket, jilbab sampe ranselnya warna orange (awalnya aku kira dia The Jak Mania).

Trakking, hiking, bersepeda, naik cable car, skydiving atau paradigling adalah beberapa pilihan aktivitas disini. Ngintip di Tripadvisor deh untuk info lengkapnya. Berhubung aku hanya menikmati wisata gratis, jadi hanya seputar jalan-jalan sampai gempor, naik turun lembah, menikmati air terjun, main di sungai, leyeh-leyeh di rumput, nggodain sapi dan itupun sudah lebih dari bahagia.

Dari buku The Geography of Bliss karya Eric Weiner, salah satu kunci kebahagiaan orang Swiss adalah alam mereka yang indah. Aku setuju!!!

Ketemu orang-orang baik

Jalan-jalan sendiri apa nggak kesepian? Kadang iya. 

Salah satu siasatku biar tidak kesepian adalah memilih menginap di dormitori. Sekamar rame-rame, selalu saja nemu teman senasib yang sering kali bisa jadi teman jalan.

Nah satu yang paling aku nikmati selama solo traveling adalah ketemu orang-orang baik, orang asing yang tulus ngasih tangan mereka saat aku perlu bantuan, bahkan ada yang awet jadi teman baik.  Jadi merasa bahwa keluarga itu tak selalu yang setanah air.

Dari trip ke Perancis-Swiss kemarin, aku punya 2 moment yang paling berkesan. Pertama, Pengalaman paling tak terlupakan waktu di Swiss adalah pas mendadak ketiban kering tempe. Beneran berasa turun dari langit di saat yang bener-bener pas. Ceritanya aku lagi makan siang di pantry hostel setelah cape muterin Lauterbrunnen (iyes, jalan kaki). 

Nah, siang itu aku masak pasta bumbu garam (serius, cuman berasa asin) sama telor ceplok yang asin juga. Masih punya sedikit rendang suwir yang lebih berasa abon. Abon cabe ketinggalan di Interlaken, lebih tepatnya aku tinggal karena temanku ternyata suka.

Di meja sebelah ada anak perempuan umur 5 tahunan senyum-senyum sedang makan roti cane, wajahnya manis khas Asia, pas aku sapa dia ramah membalas. Tidak lama kemudian, Mamanya muncul, dengan akrab langsung menyapa dengan bahasa Melayu. (salah paham…), berhubung kagak mudeng aku reflek membalas dengan bahasa Indonesia.

Kering Tempe Ajaib

Namanya Mba Yuni, sebenarnya orang tuanya asli Indonesia, malahan kita berasal dari kota yang sama, lucu ya jodoh… tapi sejak lahir Mba Yuni sudah pindah dan jadi WN Malaysia. Bagian paling mengharukan adalah saat mendadak Mba Yuni nawarin kering tempe, pake teri and kacang tanah. Subhanallah….. bener-bener Allah itu dekat. Ga hanya dikasih kering tempe, tapi juga beras, nasi goreng instant, kari ayam instant, minyak goreng sama kecap ABC. Yes, kecap ABC made in Indonesia. Mbak Yuni bilang dia mo ngurangi bawaannya karena bentar lagi udah mo balik ke Malaysia. Kita sempat poto sekali dan tukar nomer HP. Udah janjian mo ngetrip bareng.

Pengalaman kedua, tentang kebaikan Parisian. Sudah jadi mitos international kalau Parisian itu tidak suka turis apalagi kalau turisnya tidak bisa bahasa Perancis. Pengalaman 2 kali ke Paris mementahkan mitos itu (ciyee… pro Parisian). Ceritanya (lagi) ngotong-ngotong (bahasa Jawa untuk menjinjing) koper ukuran 24” naik turun tangga di Metro station Paris itu sesuatu banget. Bahagianya setiap menginjakkan kaki di tangga pertama dengan penuh putus asa, ada aja cowok kece, mas-mas keren, bapak -bapakcakep sampai ibu-ibu berhijap yang dengan suka rela menawarkan bantuan. Sungguh touching my heart gently… makin cinta sama Paris. 

Begitu juga dengan Polisi-Polisi Paris. Sejak pengalaman pertama kesini, aku sudah teropsesi sama Polisi Perancis. Pesonanya….. ❤(klepek-klepek). And menurutku, Polisi selalu jadi pilihan paling aman dalam kasus tersasar. Suka usil pura-pura nyasar hanya untuk modus ngobrol sama mereka (mohon jangan ditiru maupun disebarluaskan ya… ini rahasia). Respon tiap polisi yang aku temui selalu positif, hangat, welcome, friendly, bikin ngrasa aman and sweet (udah deh, memenuhi requirement suami idaman pokok e). Entah aku yang beruntung atau memang lagi kebetulan, karena menurut cerita beberapa turis yang lain (terutama cowok), mereka tidak mendapat respon yang sama.

Menilik (apaan sih ni istilah) mitos mengenai Parisian yang arogan dan tidak ramah kepada turis, sedikit analisa sederhana selama 3 hari di Paris. Seandainya aku juga tinggal atau bekerja di pusat kota Paris, bisa jadi punya sikap yang sama. 

Well, Paris adalah kota yang paling banyak dikunjungi turis setiap tahunnya. Hampir setiap hari ramai, di jalanan, di tempat belanjaan, di restoran. Yang paling menyebalkan menurutku adalah perilaku turis saat di jalan, menyeberang misalnya, suka suka-suka meski sign merah untuk penyeberang jalan. Iya, bener, pejalan kaki adalah prioritas, namun, peraturan adalah untuk ditaati oleh semua pengguna jalan. Jadi, sekedar saran, dimanapun kita berada, sebagai turis, meski tamu adalah raja, kita harus selalu mentaati peraturan dan menghormati tuan rumah. Jadilah tamu yang baik,bukan hanya kita yang ingin menikmati Paris, tuan rumah juga punya urusan dan kesibukan mereka kan, 🙂

WWOOF TRIP 1 : PETERNAKAN KAMBING DI INTERLAKEN

Aku ingin berbagi cerita tentang solo trip ke Swiss dan Perancis. Trip ini adalah trip WWOOF, aku akan tinggal di 3 host yang berbeda, 2 di Swiss dan 1 di Perancis. Kalau mau tau apa itu WWOOF, silakan baca postingan sebelumnya ya,

Singkat cerita, aku memutuskan break kerja sementara. Planning ngisi waktu senggang dengan ngetrip WWOOF.

Inflight Meals Thai Airways

Sekitar Maret 2018 lalu, aku dapat tiket promo ke Zurich pake Thai Airway. Sept tahun 2017 kemarin, aku juga ke Swiss naik maskapai ini. Promonya lumayan dan service cukup baik. Rutenya JKT-BKK-ZRH. 

Setelah daftar di WWOOF Perancis dan Swiss, aku mulai mengirim beberapa email request. Sekitar 2 mingguan, aku mendapat respon dari 3 host, peternakan kambing di Interlaken Swiss, kebun apel di Bern dan kebun sayur di Perancis.

3 Sept 2018 Landing di Zurich masih pagi, jam 7:30. Langit mendung kelabu, langsung terserang hawa dingin pas turun pesawat. Setelah mengambil bagasi, aku menuju toilet untuk cuci muka sama gosok gigi. 

Tujuan pertamaku adalah host di Interlaken. Mereka adalah peternak kambing dan pembuat keju tradisional yang saat ini tinggal di area Alpen. Yup, pegunungan legendaris itu. Aku menghubungi Claudia, host-ku di Interlaken untuk konfirmasi kedatanganku plus info penjemputan. Dia bilang Angela, partnernya yang akan menjemputku di Interlaken Ost. Alhamdulillah udah pernah kesana jadi tidak begitu asing and kuatir nyasar. Udah booking day saver ticket untuk trip bandara ke Interlaken ost. Yes, transportasi adalah bagian yang paling bikin nyesek saat bikin budget ke Swiss. Mahalnya tiada terkira.

Tips : Untuk Transportasi di Swiss, silakan instal apilkasi SBB Mobile. Bisa pesan tiket online juga. Jika tidak terlalu lama di Swiss, dan ingin lebih hemat, Day Saver bisa jadi pilihan. Pesan jauh-jauh hari agar dapat harga lebih murah. Biasanya, aku dapat harga 52CHF, integrated untuk bus, kereta, kapal unlimited dalam area yang tercover dengan masa berlaku dari jam 00:01 sampai jam 05:00 hari berikutnya

Interlaken Ost Station

Perjalanan dari Zurich Airport ke Interlaken Ost hanya sekitar satu sejam setengah. Sampai di Interlaken Ost masih jam 11.30, padahal aku minta dijemput jam 2 siang. Jadinya aku ngemper di Ticket office, menikmati wifii gratis. 

Jam 2 pas, sebuah mobil ford silver, seperti info dari Claudia berhenti di parkir zone pas depan tempat aku duduk, seseorang yang sekilas first sight lebih mirip pria berjalan dengan senyum di bibirnya kearahku, reflek aku berdiri menyambut uluran tangannya. Hi, i am Angela… Hello, i am Emi. Thank you for picking me up. Sedikit salah tingkah karena aku memanggilnya Mrs, padahal dia lebih mirip Mister.

Interlaken dari atas

Angela membantuku membawa 2 karung bawaanku ke mobil. Horaaa…. sempat kaget karena di jok tengah duduk manis seekor anjing shepherd hitam dengan mata berbinar. Ok… kejutan kedua.

Sepanjang jalan Angela bercerita jika saat muda dia suka travelling, bahkan pernah tinggal di Medan selama 3 bulan. Dia masih ingat durian, kopi manis, ikan mas, sambal, hingga berhitung satu dua tiga empat tujuh. Dibalik penampilan tomboi-nya, Angela sangat ramah dan bersahabat, akupun jadi cepat nyambung ngobrol dengannya.

30 menit, mobil kami mulai masuk area hutan, kemudian parkir di kaki gunung pas disebelah papan bertulis “Alps”. Akupun tercengang karena disana hanya ada jalan setapak masuk hutan untuk hiking, dan itulah jalan yang harus aku tempuh (ehem) untuk menuju tempat Claudia beserta kambing-kambingnya, mungkin semalam hujan sehingga tanah nampak basah dan becek. Akupun berusaha menutupi kekagetanku dengan wajah excited palsu. Pura-pura sudah biasa naik gunung dan siap dengan medan apapun… padahal dalam hati ingin balik kanan, trus bikin tenda aja di seberang danau Interlaken sana.

Kambing yang Anggun

Angela menawarkan untuk menyimpan 1 tasku di rumah mereka di kota agar memperingan pendakian kami, itupun Angela menawarkan untuk membawa ranselku dan aku hanya membawa tas jinjing berisi barang-barang kecil. 10 menit mendaki, aku masih waras, nafas masih wajar meski ngos-ngosan, Alhamdulillah sudah sarapan di pesawat. 15 menit baru berasa nafas mulai seret, 20 menit mau pingsan. Melihat aku kecapaian, Angela menawarkan istirahat. Dari atas sini, pemandangan Interlaken nampak cantik, dengan danau warna turquois dan rumput hijau.

Setelah perjuangan naik gunung selama 50 menit, sampailah kami di sebuah rumah kayu dengan bagian belakang rumah terbuka, rupanya itu adalah tempat untuk memerah susu sehari 2 kali, bekas jejak kaki kaki kambing masih tercetak di tanah basah, aroma srintil (kotoran kambing) segar membahana, shock kesekian kali karena dibagian depan rumah ini adalah rumah tinggal yang akan aku tempati 10 hari ke depan. Kesan pertama, tentu saja jorok karena urin kambing sangat menyengat, sehingga tercium sampai di teras depan, bau yang kemudian hari membuatku rindu. Namun rumah bagian depan yang digunakan sebagai tempat Claudia membuat keju dan tempat tinggal kami lumayan bersih.

Saat itu, kebetulan sedang ada rombongan anak-anak SMP yang sedang menginap disana. Ada 3 anak lelaki dan 3 perempuan, yang ternyata berkebutuhan khusus. Mereka hanya menginap 2 malam untuk berakhir pekan dan melihat aktifitas pembuatan keju tradisional.

Claudia sendiri memiliki 3 putri cantik, si sulung Sajjane 11 tahun, Moira 8 tahun dan Thilia 5 tahun. Mereka adalah gadis kecil periang yang luar biasa mandiri dan cerdas. Claudia hanya tinggal di rumah gunung saat musim panas, dan gadis gadis kecil itu hanya disana saat libur sekolah. Mereka memiliki rumah di lembah, pas di tepi danau Interlaken. Sementara Angela hanya sesekali ke gunung, dia bertugas merawat rumah di lembah yang sekaligus menjadi penginapan AirBnB dan bertanggung jawab merawat beberapa kambing di tempat lain.

Fakta unik tentang bahasa di Swiss. Ternyata, Swiss memiliki bahasa German yang diadaptasi dengan bahasa Perancis dan Itali, karena negara ini terletak diantara 3 negara tersebut. Bahasa German Swiss berbeda dengan German asli, bahkan tidak mudah dipahami oleh native German. Secara resmi, di sekolah dan untuk urusan resmi lain, orang Swiss rata-rata menggunakan bahasa German, sementara untuk bahasa sehari-hari, mereka menggunakan Swiss German. Bahasa Perancis digunakan di wilayah yang berbatasan dengan Perancis seperti Neuchatel. Bahasa Itali di daerah yang mepet Itali. Pada setiap kemasan produk, ada penjelasan dalam 3 bahasa di atas.

Claudia memiliki seorang asisten, gadis shepherd asal German bernama Lea. Tampilannya nyentrik dengan rambut rasta, namun matanya teduh bersahabat. Sore itu juga Lea menawari aku untuk belajar memerah susu kambing. Huwaaaa…. 150an ekor kambing saudara-saudara. Beruntungnya, September adalah akhir musim panas sekaligus akhir musim produktif bagi kambing, sehingga rata-rata hanya perlu waktu sekitar 3 jam saja. Iya, 3 jam. Bayangin coba pas musim produktif,😖.

Kambing bukanlah binatang yang asing bagiku, mereka juga termasuk peliharaan yang loveable, tapi injakan marah kambing dewasa adalah sesuatu yang tidak bisa disebut mesra. Pertama memcoba memegang payudara (atau apa sih istilahnya?) mereka horor juga, takut menyakiti mereka, meski binatang, ada rasa solidaritas juga sebagai sesama wanita (hahahaha…), kan ga nyaman ya kalau bagian sensitif itu dipegang orang asing? Meski terlihat sederhana, namun memeras susu kambing ternyata tidak mudah, perlu jemari yang kuat.

Prosesnya, pertama semua kambing dimasukkan ke kandang, kemudian per 12 ekor dikeluarkan, diikat pada tempat khusus, kambing berjajar sambil diberi makan, mereka akan diperah satu persatu. Sebelum memasangkan vacuum, tiap puting harus diambil sample susu terlebih dahulu agar bisa diketahui jika ada kelainan, seperti nanah atau darah. Bisa terjadi pada kambing yang sedang sakit atau terinfeksi karena putingnya digigit bayi mereka yang menyusu. Setelah selesai diperah, 12 kambing tadi dikeluarkan lagi dan 12 kambing baru dimasukkan, begitu sampai selesai.

Susu segar hasil perahan selanjutnya didinginkan secara natural dengan air mengalir, can susu  dimasukkan ke dalam bak besar mirip bathtub, kemudian bak diisi air yang dibiarkan terus mengalir, biasanya semalaman. Air yang kami konsumsi adalah air dari pegunungan Alpn yang aman diminum langsung tanpa dimasak. Keren banget kan? Semacam punya pabrik aqua pribadi.

Esok harinya, susu tersebut baru akan diolah, susu dipanaskan dengan api dari kayu, hingga batas hangat tertentu kemudian diberi cairan khusus untuk keju. Setelah beberapa saat, susu akan menggumpal seperti yogurt, kemudian baru disaring untuk dicetak. Keju tidak suka dingin, jadi pada saat pembuatan harus selalu memperhatikan suhu. Ada pekerjaan lifting yang cukup berat selama proses ini. Termasuk menuang susu dari can ke panci gede untuk digodok. Aku sempat dapat luka bakar di pergelangan tangan karena  nyenggol panci panas pas bantuin Lea menuang susu.

Sambel Oelek made in Swiss

Claudia memiliki sebuah rumah kecil dari kayu untuk menyimpan keju, semua alami, tanpa proses kimia sedikitpun. Oiya, keju yang masih muda harus selalu diperiksa karena sangat rentan menjadi sarang larva serangga yang menerobos masuk ke ruangan. Setiap hari keju muda juga perlu dibolak balik dan dilumuri garam khusus. Ribet ya, seperti merawat bayi. Berbicara mengenai keju dari susu kambing, rasanya lebih kuat dari keju susu sapi, karenanya harganya lebih mahal. Bisa dibilang premium. 

Bersambung part 2

Learning by Travelling

Travelling bukan hobi alamiku. Aku dulu bukan hanya tidak suka jalan-jalan, tapi juga enggan bertemu orang baru. Aku menyukai duniaku yang itu-itu saja, disitu-situ saja. 

Somewhere in Sapporo, Japan 2017

Seseorang yang tak begitu mengenalku suatu hari menyampaikan fakta tentang diriku yang sudah aku tau. Bahwa aku orang yang terlalu introvert. Well, apa salahnya? 

Dia menyarankan aku untuk belajar membuka diri. Entah mengapa, kata-kata itu seperti ‘wake up call’ yang ku tanggapi dengan serius. Aku sadar bahwa aku memang ingin membuka diri pada pengalaman baru, pada orang-orang baru dan sudut pandang baru.

Menantang dan melakukan sesuatu yang kita takuti itu menyenangkan. Hingga akhirnya malah menjadi kecanduan. Begitulah perkenalanku dengan travelling. Berawal dari takut, memulai dengan memaksakan diri dan akhirnya jadi ketagihan.

Aku kagum bagaimana travelling mengubahku. Mengajariku banyak hal, yang lebih banyak tanpa aku sadari. Bagaimana tiba-tiba aku merasa akrab semeja dengan orang yang baru aku kenal, berbagi kamar bersama orang asing dalam dormitori tanpa merasa khawatir, perasaan nyaman berada di sebuah tempat jauh dari rumah, tanpa mengenal siapapun. Sejak kapan aku bisa begitu? Sejak solo tripku yang pertama.

Aku lebih menyukai solo travelling. Tentu saja karena aku seorang introvert. Selain itu, aku menikmati kebebasan. Bebas menentukan budget, tujuan, jadwal, dan bebas dari berkompromi yang tak perlu.

Apa aku tak merasa kesepian, atau merasa seperti orang hilang? Sesekali, sangat jarang. Aku yang biasanya enggan menyapa orang asing, jadi lebih ringan mengatakan “Hi… “, membuka percakapan dengan basa basi yang bermuara pada pertemanan, bahkan cinta.

Bagi sebagian orang, travelling itu semacam pemborosan. Namun, ada banyak cara untuk menghemat, jika motivasi utama bukan sekedar foya-foya atau belanja. Travelling tidak selalu tentang hotel mewah, makan di resto mahal atau belanja branded. Traveler is not just a tourist. Traveler lebih menikmati mengexplore pengalaman baru, menikmati sesuatu yang berbeda dari 1 tempat ke tempat lain, mengenal orang-orang asing.

Setiap perjalanan, selalu menyimpan cerita berbeda, bahkan meski kita melakukannya bersama-sama. Aku dan kamu tidak akan bisa melukis sebuah memory yang persis. Itulah yang membuat setiap perjalanan itu unik dan menantang. Ada kalanya di luar rencana, ada kalanya melebihi expektasi. Menikmati dan menerima apapun yang kita temui di jalan, mengajari kita bersyukur.

Travelling is not just a hobby for me, its a need. 

Design a site like this with WordPress.com
Get started